Long Road
It's been about a week now... Belom telat untuk ngucapin selamat hari raya Idul Fitri 1428 H bagi semua pembaca blog saya. Mohon m...
https://www.helmantaofani.com/2007/10/long-road.html
It's been about a week now...
Belom telat untuk ngucapin selamat hari raya Idul Fitri 1428 H bagi semua pembaca blog saya. Mohon maaf jika ada postings, contents atau comments yang kurang berkenan.
Jika terjadi vakum beberapa saat, tak lain dan tak bukan adalah seretan arus bernama mudik yang turut menggerakkan saya dan istri saya mengelilingi pulau Jawa (6 propinsi di Jawa sudah kami singgahi) dengan bermacam moda transportasi berbeda.
Keberangkatan tentu saja dimulai dari ibukota propinsi Jawa Timur, Surabaya, tempat saya mengumpulkan keping demi keping modal untuk mudik tahun ini. Saya memastikan cuti dan merencanakan libur sekitar awal puasa (lebih dari 3 minggu sebelum lebaran). Hebatnya, meski dalam kurun waktu yang tergolong lama, tiket-tiket perjalanan sudah terborong ludes. Destinasi pertama untuk mudik tahun ini adalah menuju kota Bandung, ibukota propinsi Jawa Barat. Mulai tahun ini, saya resmi mudik sebagai keluarga, jadi rumah mertua adalah prioritas yang sejajar dengan rumah orang tua.
Dari Surabaya, untuk ke Bandung bisa ditempuh dengan menggunakan tiga moda transportasi umum. Alternatif menggunakan bus kita coret karena kendala waktu tempuh yang normally harus dijalani selama lebih kurang 18 jam. Belum jika nanti terkena macet seperti yang banyak dilansir media-media di jalur-jalur mudik. Biasanya, kereta adalah opsi utama untuk ke Bandung karena jadwal penerbangan (direct flight ke Bandung) kurang "worker-friendly", alias boarding pada jam kerja (14.30). Selain itu, penerbangan ke Bandung sangat terbatas, sehingga tarif selalu berada di kisaran tinggi. Apalagi jelang mudik seperti kemarin, di mana airfare sekitar hari H meroket tinggi di range 700ribuan. Kita masih berpikir keras menghabiskan 1,4 juta hanya untuk transportasi sekali jalan. Tetapi, opsi untuk menggunakan kereta juga terpaksa kita coret akibat harga kereta yang juga melambung tak kalah gila PLUS tiket reguler sudah ludes. Artinya, jika kekeuh memakai angkutan yang menempuh durasi sekitar 14 jam di hari normal ini kita harus rela menunggu dalam ketidakpastian diturunkannya kereta cadangan. Pasti ada opsi lain daripada mengeluarkan 700ribu untuk perjalanan 14 jam.
Akhirnya, opsi lain menjadi pilihan, yaitu dengan penerbangan ke Jakarta dan disambung perjalanan darat ke Bandung. Berkat tol Purbaleunyi, kita ngga lagi wajib antri via Puncak untuk menuju Bandung. So, tiket flight menggunakan Mandala berada di tangan setelah kurang lebih menghabiskan ongkos sekitar 600ribu untuk dua tiket. Yang menjadi masalah, jadwal mendarat di Cengkareng (yang notabene berada di yurisdiksi wilayah propinsi Banten) adalah pada tengah malam. Sedangkan bus Prima Jasa atau jasa travel semacam Cipaganti yang mengantar dari Bandara ke Bandung available hanya sampai jam 9 malem. Tapi itu masalah yang kita pikirkan later on. Bukan mudik kalo ngga nekat. Toh jika memang tidak ada terusan ke Bandung, kita mempunyai banyak opsi untuk stay sementara di ibukota yang familiar bagi saya dan istri saya (it's our melting pot back then).
Setelah menempuh perjalanan udara yang terkendala delay sekitar sejam, tepat tengah malam kita mendarat di Cengkareng. Sekuriti airport memberi tahu bahwa ada jasa pengangkutan malam ke Bandung, yang beroperasi 24 jam. Meski bertiket, saya sedikit yakin jika mereka adalah operasi "travel gelap", mungkin dari oknum travel resmi. Tetapi kehadiran mereka memang sangat membantu orang-orang yang terdampar di airport tengah malam. Buktinya, jatah 4 penumpang langsung ludes, walau kompensasinya sedikit lebih mahal daripada menggunakan jasa angkutan resmi (tarif Prima Jasa dari Bandara ke BSM Bandung adalah 60ribu pada hari normal, Cipaganti 80ribu dan travel gelap tersebut "hanya" 135 ribu).
Meski sedikit terkendala macet di jalur tol Cikampek, overall perjalanan ke Bandung berlangsung normal. Kita tiba di depan rumah (yeah, hitung saja jika kita insist make jasa travel resmi yang harus nambah ongkos taksi ke rumah) pada waktu imsak. Saya memutuskan untuk absen puasa pada hari Jumat (thanks to Muhammadiyah yang entah kenapa stubborn berat berlebaran di hari itu...but it helps), sehingga bisa segera tidur sampai siang hari.
Libur lebaran untuk tahun ini hanya mengambil rentang 6 hari. Sebagai pekerja media, saya tidak banyak mendapatkan privilese seperti halnya PNS yang menikmati "cuti bersama". Saya diharapkan untuk tiba di kantor tanggal 18 Oktober. So, kita split masing-masing tiga hari di dua kota yang menjadi tujuan mudik tahun ini. Dari Jumat sampai Minggu, kita berada di Bandung bersama dengan ribuan wisatawan Jakarta yang membanjiri kota Kembang tersebut. Belum puas menjelajahi Bandung, perjalanan harus segera berlanjut menuju rumah orangtua saya di Temanggung (sekitar 40km baratlaut Magelang/Borobudur), Jawa Tengah.
Perjalanan ditempuh menggunakan moda transportasi bus. Itu artinya kita akan melewati jalur tengah di mana titik Nagrek (di wilayah Cicalengka) acap menjadi headline pemberitaan arus mudik dengan kemacetan parah di tanjakan tersebut. Sialnya, berita tersebut memang benar adanya ketika durasi 20-30 menit yang biasa ditempuh dari Rancaekek sampai Nagrek memakan waktu lebih dari 4 jam! Itu akan menambah sekitar 12 jam selebihnya melintasi batas propinsi sampai ke Temanggung. Bus berangkat dari Bandung pukul 18.00 dan kita tiba di Temanggung pukul 08.30 keesokan harinya. Fiuhh...
Pun waktu istirahat tidak bisa maksimal karena hari Rabu sore kita sudah harus meninggalkan Temanggung menuju Surabaya. Kali ini, moda beralih ke kereta api dari Jogjakarta (ibukota propinsi DIY). Karena tidak mungkin mengejar kereta sore, maka perjalanan dilanjutkan esok harinya, alias Kamis 18 Oktober, dengan dispensasi dari atasan saya untuk tiba sekitar tengah hari di Surabaya (sesuai jadwal kereta). Tetapi, meski sudah naik secara gila-gilaan (tiket DOUBLED, dari yang tadinya 80ribu menjadi 150ribu), pelayanan tetap standar seperti hari biasa termasuk servis telat 2 jam. Ini akibatnya jika monopoli dari birokrasi yang kurang sehat mengontrol pelayanan publik. Saya baru bisa tiba di kantor pukul 15.00, untuk menyelesaikan pekerjaan harian sampai pukul 18.00.
Dan dengan berakhirnya rutinitas harian di tempat tidur pada 18 Oktober malam, maka berakhir pula ritual mudik tahun ini yang melalui 6 propinsi dan bermacam moda transportasi. Dan "perjalanan panjang" itu rasanya yang menjadi intisari dari mudik tahun ini. Merasakan dan membaur bersama arus kultural yang terjadi setahun sekali bersama-sama jutaan orang lainnya membuat saya teringat sebuah penggalan lirik yang ditulis oleh band Pearl Jam:
All the friends and family / All the memories going round
How I wished for so long / Will I walk the long road?
How I wished for so long / Will I walk the long road?
Jika menyangkut urusan kerabat, perjalanan seperti apapun menjadi ritual wajib yang harus ditempuh apapun cara dan resikonya. Mudik adalah salah satu agenda yang dinanti jutaan manusia di bumi pertiwi ini untuk kembali menyadarkan mereka tentang ikatan sosial yang membuat mereka berada di posisi saat ini. Segala penat, letih dan ongkos terbayar dengan menyaksikan wajah-wajah orang penting dalam hidup kita. So, we surely WILL walk the long road.
8 komentar
hahaha... yang kayak gini ini yang bikin saya males mudik pas lebaran :D untungnya orang tua saya cukup pengertian. so, masih belum tau bakal ke band eh... salah ding Cimahi kapan :D
weitss...pengalamannya seru..
tunggu..ntar gw juga mo nulis pengalaman mudik yg gakkalah seru..sampe2 musti duduk plus tidur di lorong bus..hanya demi bisa smape ke Semarang..hehehe..
eh, ampir lupa..
selamat hari raya yak..
mohon maaf lahir bathin, sapa tauk aja gw jg punya salah2 kata ama Hilman dan Gina...
udah mulai kerja yak..?, hehehehe..
gw masih di Semarang euyy...:)
salam bwt Gina..
@Astri: Sebetulnya bisa jauh lebih menyenangkan sih. Cuman, karena waktu arrange liburannya ngga cukup, jadi kudu rada banyak improvisasi. One thing, paling males adalah macet 4 jam itu di Nagrek. Pikir ulang jalur jalan raya kalo dari atau ke Bandung.
@Ipul: Ngga mau komen buat yang masih liburan ah...(iri mode: on). Hahahaha.
Mudik?
Ga ah, gua kan bukan orang udik, huehehe...
Kalo dihitung, setiap tahun nilai rupiah yang "terbuang" untuk aktivitas ini berapa banyak yah?
Ongkos sosial memang mahal pisan euy...
repot dan ribet yang sepadan waktu bisa sampe rumah dan ketemu keluarga....huhuhuhu...
@Eko: Mudik udah jadi terminologi umum, ngga cuman ke "udik" bos...hehehe. Lagian, mostly "mudik" gw kemarin kan ngga ke udik-udik banget. Dari Jakarta ke Bekasi juga diitung mudik tuh. Hahahahaha. Nilai rupiah terbuang? Beberapa orang iya, tapi beberapa lagi ini adalah momentum rejeki mereka. Termasuk bloody PT. KAI yang seenak udel naekin harga.
@ Simone: indeed.
Mudik yg seru Man !
Gw kemaren ambil jalur Balikpapan - Surabaya, secara gw udah nyadar kalo lewat Jakarta pasti butuh perjuangan yang maha berat untuk menuju Purwokerto. Jadi gw maen safe, lewat Surabaya biar "melawan" arus. Ternyata dugaan gw bener. Jam 1 siang gw nyampe Gubeng dan langsung tanya tiket Bima, ternyata masih available! Jam 5 sore tepat berangkat ke PWT dan ternyata memang kosong..... he..he..he..
Gw sampe PWT jam 2 malam, langsung lanjut taksi ke rumah (Purwokerto dah ada taksi bo...!!).
Oya, sempet lewat kantor loe, tapi sorry gak mampir or kontak2... next time yah....
Oya, hari ini (26 okt) gw baru masuk kerja di Samarinda. Enak yah...he..he..he...
Kalo kereta ke Bandung sih penuh Doel. Lagian BIMA di Surabaya emang ngga populer. Soalnya tujuan Jakarta pake muter-muter dulu, kan bisa lewat yang Pantura tuh, yang lebih cepet.
Posting Komentar