Kekalahan dan Penantian
Hampir tujuh tahun lewat semenjak kali terakhir saya mengalami kekalahan tim sepakbola pujaan yang menyesakkan. Waktu itu, di Istanbul, T...
https://www.helmantaofani.com/2011/11/kekalahan-dan-penantian.html
Hampir tujuh tahun lewat semenjak kali terakhir saya mengalami kekalahan tim sepakbola pujaan yang menyesakkan. Waktu itu, di Istanbul, Turki, tahun 2005 dalam helatan final Liga Champions Eropa. Milan takluk dari Liverpool melalui adu penalti.
Dari masa sebelumnya, final Euro 2000 yang memertemukan Italia dan Perancis juga menjadi satu final dengan kekalahan tim idola yang cukup menyakitkan. Itu adalah histori kekalahan-kekalahan selama saya menggemari sepakbola dari medio 90-an. Di luar itu, semua berjalan seperti roda, ada kalah dan menang.
Saya cukup bersyukur sepanjang sejarah pendukung, sudah pernah mencicipi nikmatnya menyaksikan tim idola menjuarai Liga Champions, scudetto, dan bahkan juara dunia! Di antara semua gilap prestasi, selalu saja masih menyisakan sesak manakala mengingat dua kekalahan tersebut di atas.
Lalu kini, 2011, rasanya ada satu lagi kekalahan yang susah saya "telan". Sebagaimana 200 juta masyarakat dunia yang tinggal di Indonesia, malam tadi (21/11) tentu menjadi malam yang kelam, ketika tim nasional sepakbola U-23 Indonesia harus takluk di kaki rival Malaysia dengan drama adu pinalti. Itu terjadi di dalam final cabang sepakbola SEA Games 2011. Yang tentunya akan menimbulkan tanda tanya: hanya SEA Games?
Bila menilik dua riwayat kekalahan menyakitkan yang pernah saya saksikan, semuanya mempunyai garis merah. Italia mendominasi sepanjang pertandingan melawan Perancis pada final Euro 2000. Di luar dugaan mereka tampil ofensif dan berhasil unggul melalui gol Marco Delvecchio. Di menit dan tendangan terakhir pertandingan, Sylvain Wiltord menyamakan kedudukan, dan David Trezeguet memungkasi pada babak perpanjangan waktu dengan sistim sudden death. Benar-benar sesak dan tragis.
Yang tak kalah tragis adalah final Liga Champions 2005. Milan unggul 3-0 dalam pertandingan mudah di babak pertama. Ajaibnya, Liverpool, lawan mereka, mendapatkan momentum ajaib untuk mengejar menjadi 3-3 sebelum menit ke-65. Itu adalah satu-satunya momentum mereka, karena setelah itu Rossoneri menekan meski gagal membuahkan gol. Drama adu pinalti lantas memupus harapan Paolo Maldini cs. Ini adalah kegagalan depresif bagi semua Milanisti.
Beruntung, dalam dua tahun berturut ada momen redemsi kala Italia membalas kekalahan di Euro 2000 dalam final Piala Dunia 2006 di Jerman. Tahun 2007, giliran Milan membalas Liverpool di final Liga Champions. Semua menjadi full circle.
Tim nasional U-23 dalam final SEA Games bermain bagus meladeni juara bertahan Malaysia. Rasanya, ini salah satu penampilan terbaik bersamaan dengan laga semifinal. Momen seputar gol pertama yang membuat Indonesia unggul juga menjadi bukti dominasi dengan serangkaian tekanan dan peluang. Sayang, momentum tersebut dirusak dengan gol "ala kadarnya" dari Malaysia yang menyamakan kedudukan.
Kemudian di babak kedua, tekanan makin ditingkatkan meski tak berhasil menjebol gawang negeri tetangga. Demikian juga dengan momen dua kali perpanjangan waktu. Hingga adu pinalti harus menjadi penentu, dengan hasil yang membuat ratusan juta pendukung senyap tak percaya.
Dibanding event Piala AFF ketika Indonesia dihantam Malaysia dalam dua leg final, kekalahan di SEA Games lebih menyesakkan. Bukan secara gengsi kejuaraan, namun mengenai ganjaran yang rasanya kurang adil diterima oleh Titus Bonai cs. Nasib mereka analogis dengan sejarah kekalahan yang terekam di hati penggemar sepakbola seperti saya. Terlebih yang mengalahkan kita adalah rival.
Kekalahan seperti ini hanya akan bisa dihapus dengan kemenangan di partai final melawan musuh yang sama. Kapankah kesempatannya?
Italia harus menunggu 6 tahun sebelum impas dengan Perancis. Milan cukup dua tahun menghapus air mata Istanbul. Kini, berapa lama Garuda bisa membuat perhitungan dengan Malaysia di final sepakbola lain?
Piala AFF tahun depan bisa menjadi ajang balas dendam yang patut dinanti. Atau setidaknya dua tahun kemudian di SEA Games Myanmar. Yang jelas, saya sebagai pendukung akan selalu menanti momen pembalasan itu untuk menghapus duka saat ini.
Ayo berjuang terus, Garuda!
Posting Komentar