Sinema Arthouse Ala Metallica
Sekiranya, ada tiga ekspektasi yang dibangun para penonton Metallica: Through The Never sebelum mereka masuk ke dalam bioskop. Ekspe...
https://www.helmantaofani.com/2013/10/sinema-arthouse-ala-metallica.html
Sekiranya, ada tiga ekspektasi yang dibangun para penonton Metallica: Through The Never sebelum mereka masuk ke dalam bioskop.
Ekspektasi pertama adalah ingin menonton film tentang Metallica - mengandung unsur biopic, atau setidaknya dokumenter macam Some Kind of Monster (2004). Tidak banyak clue yang dirilis jelang film ini beredar, terlebih di Indonesia, di mana perhatian banyak tersedot dengan hingar-bingar konser James Hetfield cs Agustus lalu. Dari survei kecil, banyak penonton film yang ternyata tidak pernah mengikuti trailer film, atau seri pembuatan yang diberi judul Hit the Lights: The Making of Through The Never di akun YouTube Metallica.
Ekspektasi kedua, bagi yang pernah menonton trailer barangkali ingin menonton film feature (fiksi) yang berpusat di Metallica atau berlatar konser Metallica. Preview yang tertulis di beberapa website film memang mengulas tentang petualangan Trip (Dane Dehaan), roadie Metallica. Saya juga sempat berpikir film akan bercerita tentang narasi Trip dengan Metallica hanya di latar belakang.
Lalu ekspektasi ketiga adalah sajian full konser Metallica. Beberapa kali kita menyaksikan video konser di bioskop, terakhir Laruku yang lumayan sukses ketika menggelar screening video konser mereka di bioskop. Belum lama juga Kylie Minogue yang memutar konsernya via jaringan bioskop Blitz.
Saya menduga banyak yang kecewa ketika keluar dari gedung bioskop usai menonton Metallica: Through The Never. Beberapa komplain yang muncul rasanya akibat film tidak sesuai dengan bayangan mereka. Kenyataan setelah menonton berkata apa yang ditulis oleh Ruth Blatt, wartawan Forbes, sebagai "vu jade" atau lawan kata dari "de javu". Segala sesuatunya belum pernah dialami, dalam kata lain, di luar ekspektasi. Metallica: Through the Never bagi saya adalah sebuah videoklip multilagu berdurasi 90 menit.
Ingatan saya membayang ke debat antara Samuel Bayer dan Mark Pellington. Keduanya membesut dua videoklip fenomenal di awal 1990-an. Bayer membuat video Smells Like Teen Spirit dari Nirvana. Pellington membuat Jeremy untuk Pearl Jam. Kedua video bersaing heavy rotation di MTV hingga ajang MTV Movie Awards yang memunculkan Pellington sebagai pemenang.
Bersungut, Bayer merespon dengan mengatakan ketidaksukaannya ketika videoklip musik bercerita terlalu gamblang mengenai makna lagu. Video Pellington memang bercerita harafiah seperti apa yang diungkap dalam lagu, mengenai balada Jeremy Wade Delle, anak yang bunuh diri di depan kelas karena kompleksitas rumah tangga dan sekolah di Amerika. Menurut Bayer, sutradara videoklip seharusnya mempunyai independensi interpretasi, bahkan untuk berbeda, dari isi lagu. Bagi Bayer, sutradara videoklip yang baik harus tega memisahkan lagu dan persepsi visual artistik.
Film berkonsep seperti Samuel Bayer dikenal dengan genre arthouse dalam dunia film. Rata-rata film semacam itu membutuhkan diskusi sebagai bagian dari pengalaman menonton, kadang wajib ditonton lebih dari sekali sebelum bisa dicerna. Filler cerita dalam videoklip adalah sinema arthouse. Hanya karena durasinya pendek, maka kita cenderung tidak peduli terhadap jalan cerita.
Metallica acap membuat video arthouse. Di buklet Live Shit: Binge and Purge dijelaskan konsep yang dipaparkan oleh sutradara Wayne Isham kala membuat video The Unforgiven. Cerita di dalam video adalah pemahaman artistik Isham terhadap makna The Unforgiven. Mungkin tak banyak yang paham kaitan cerita orang menua dalam video dengan makna lagu.
Metallica: Through The Never juga membawa spirit arthouse. Sutradara Nimrod Antal bebas menginterpretasikan apa yang ia serap dari karakter Metallica. Secara implisit ia ingin menggambarkan betapa band yang dibentuk pada tahun 1981 ini terus "move on" meski mengalami banyak hambatan - melalui perantara karakter Trip. Terjatuh dari skateboard (pernah dialami Hetfield), kecelakaan kendaraan (menewaskan Burton), terbakar (juga dialami Hetfield), hingga dikejar-kejar massa (dihujat karena Napster) tak membuat Trip (Metallica) surut jalankan misinya.
Dedikasi Trip adalah cerminan semangat Metallica kepada tuannya. Bila majikan Trip adalah Metallica, maka majikan Lars Ulrich cs adalah penggemar. Tak heran berkali-kali tulisan "Thank You Fans" (yang terpasang di arena) termuat dalam layar (dan gamblang diucapkan di ending credit).
Tetapi memang tidak mudah untuk menangkap segala pesan itu. Butuh mencerna dan membandingkan referensi untuk bisa menangkap konsep film ini. Atau setidaknya menonton dua kali dengan memperbaiki ekspektasi dalam kesempatan kedua.
4 komentar
nice post om... makasih dan nambah `pengetahuan` lagi.. salam... :)
ada sejumlah komentar random yang menarik terkait film ini:
1. ini adalah upaya untuk membuat Metallica immortal. jadi, sampai generasi anak-cucu kita nanti, mereka tetap dapat menyaksikan konser Metallica dalam segala kemegahannya.
2. isi tas adalah roh-nya Burton yang selalu menyertai Metallica dan membuatnya masih tetap eksis. roh ini penting dan gimana pun caranya harus dikembalikan ke panggung Metallica (ingat St Anger dimaksudkan sebagai comeback, atau untuk membuat Magnetic harus bolak-balik dengerin Puppets).
3. ternyata cuma itu aja yang ingat... :P
@Shinta: Terima kasih sudah mampir. :)
@Pak Aca: Newsted gak dianggep dong, huehehehe. Paling bener yang dibilang situs RogerEbert itu, isi tas gak penting (ala-ala Hitchkock). :))
Posting Komentar