Menggugat Resolusi Akhir Game of Thrones
https://www.helmantaofani.com/2019/05/menggugat-resolusi-akhir-game-of-thrones.html
Senin (27/5) ini menjadi awal pekan pertama tanpa kehadiran Game of Thrones, yang tayang di waktu Indonesia pada pagi hari. Pekan lalu (20/5), serial yang sudah berjalan 8 season ini menemui episode terakhirnya.
Pada season terakhir serial produksi HBO ini, fans rata-rata kurang puas karena dua alasan. Yang pertama adalah dari segi penceritaan yang kurang rapi, banyak plot hole, dan tampak tergesa-gesa. Yang kedua adalah dari sisi jalannya cerita dengan membuat resolusi tidak populer, antara lain mematikan salah satu karakter yang dianggap protagonis.
Saya sepakat dengan pendapat pertama, meski cenderung setuju dengan resolusi cerita. Serial ini seharusnya mendapatkan sekitar satu atau dua season lagi. Itu diperlukan untuk memberikan kesempatan bagi perkembangan karakter dan beberapa ide kunci yang memberikan resolusi.
Sulit bicara tentang hal ini tanpa memberi plotnya terlebih dahulu. Jadi, ini adalah batas di mana Anda yang belum menonton dan tidak ingin terkena spoiler sebaiknya berhenti membaca.
Loyalitas terhadap Versi Pustaka
Game of Thrones versi televisi sudah mendahului cerita buku yang ditulis George RR Martin. Saat ini buku Game of Thrones telah terbit sebanyak lima seri. Satu seri diadaptasi untuk tiap season oleh HBO. Jadi, versi bukunya masih berakhir sama persis di ending musim kelima. Yaitu ketika Jon Snow ditusuk oleh rekan-rekannya di Castle Black.
Anda masih ingat, kegaduhan yang terjadi dulu kala season kelima berakhir? Jon Snow jadi trending topic. Kit Harrington kian laris jadi cover majalah. Di dunia internet, situs-situs teori penggemar dan spekulasinya mulai marak. Saat itu HBO sudah mengumumkan akan tetap memproduksi 7 season Game of Thrones, meski Martin belum rampung menulis dua buku terakhir.
David Benioff dan DB Weiss selaku produser tentunya sudah berkonsultasi dengan Martin mengenai pokok alur cerita sampai resolusi akhirnya. Simpangan dari buku, sepanjang 5 season produksi, relatif kecil. Sehingga, kontinuitas pokok cerita harus tetap dipertahankan. Di situ urgensi Benioff dan Weiss untuk tetap mendapatkan “restu” dari Martin masih besar.
Meski akhirnya rencana 7 season diperpanjang satu musim lagi, plot akhir Game of Thrones sudah ditulis saat produksi musim keenam. Sehingga, bila merentang jalannya cerita dari pertama hingga akhir, akan dimaklumi juga resolusi yang diambil pada season 8. Saya kira resolusi versi buku nantinya tidak akan berbeda jauh.
Resolusi yang paling membuat kecewa penggemar adalah keputusan untuk mematikan karakter Daenerys Targaryen. Sosok Mother of Dragons ini adalah karakter yang arc-nya berkembang naik terus dari season 1 hingga 7. Dari anak gadis lugu, menderita dan belajar hidup dengan Dothraki, mempunyai naga, hingga menjadi liberator. Macam Simon Bolivar-nya Essos (dan Jorah Mormont adalah Che Guevara-nya).
Fans menggugat perubahan ketika tiba-tiba Dany, menjadi “mad queen” dalam hanya beberapa episode. Sentralnya adalah ketika ia memilih untuk membakar King’s Landing yang berimplikasi pada jatuhnya korban jiwa rakyat sipil. Secara cerita, menurut saya, ini wajar bila merentang kisahnya yang tragis. Apalagi momentum yang membentuknya jadi bengis itu dibangun dengan beberapa tragedi. Misalnya kematian dua naganya, eksekusi Missandei, dan kekhawatirannya akan identitas Jon Snow sebagai Aegon Targaryen.
Hal itu sudah dijelaskan dalam film, tetapi kasusnya lebih tepat sebagai kecelakaan naskah, bukan jalan cerita. Game of Thrones selalu berbicara mengenai psikologi orang berkuasa. Apabila memiliki instrumen kuasa yang sangat kuat (dalam hal ini seekor naga), ia cenderung berubah menjadi otoriter. Raja yang memiliki keterbatasan justru biasanya yang mempunyai kebijaksanaan. Alur ini selaras dengan pemilihan Bran Stark sebagai raja di akhir cerita.
Dany bisa mengalami perubahan karakter ini secara wajar apabila episodenya bisa lebih panjang. Sebagai contoh, keputusan membakar King’s Landing barangkali bisa dilandasi hal yang lebih mendesak. Sehingga, penonton akan bisa menarik kesimpulan bahwa sosok Dany memang kerap mengambil keputusan yang keliru apabila tidak berkonsultasi dengan orang lain. Hal ini sudah ditampilkan misalnya dengan keputusannya mengeksekusi keluarga Tarly.
Puncak adegan yang juga membuat kecewa adalah ketika Jon Snow menusuk dan membunuh Dany usai penghancuran King’s Landing. Adegan ini akan lebih ideal apabila mengambil jarak waktu dari momen penghancuran. Setelah ragam blunder keputusan, dan mungkin menimbang dilema yang dihadapi Jon (apakah ia Stark atau Targaryen) penonton bisa maklum mengenai pilihan tindakan Jon. Jarak waktu juga bisa menjelaskan hubungan konstelasi politik Dany dengan penguasa lain di Westeros. Tidak begitu saja mereka muncul ketika pemilihan raja baru, tanpa tahu sikap mereka atas Dany.
Resolusi cerita diakhiri dengan Bran menjadi raja dari Six Kingdom. Sansa menjadi ratu di Winterfell (wilayah utara merdeka). Jon Snow yang membunuh Daenerys dihukum menjadi Night Watch, dan pada akhir film digambarkan tengah mengantar free folk untuk menetap di wilayah batas luar tembok. Arya mengambil keputusan untuk menjelajah ke barat Westeros.
Resolusi Ideal Versus Realita
Saya pikir resolusinya ini sudah melalui konsultasi dengan George RR Martin. Keluarga Stark menjadi awal gerbang narasi sejak awal cerita, dan mereka pula yang menutupnya. Kita tentu masih ingat kekecewaan yang muncul dari pembaca dan penonton film ketika Eddard Stark mati di season (atau buku) pertama. Demikian juga dengan red wedding yang mencengangkan. Bahkan, untuk pembaca buku juga tengah terhenti pada Jon Snow yang meninggal.
Keluarga Stark, tak pelak, adalah protagonis cerita yang menyumbang paling banyak perspektif berkisah dalam buku. Daenerys adalah sosok kedua yang karakternya juga berkembang. Namun, seperti halnya dalam film seri, ia bisa berkembang terlalu kuat dengan posesi naga yang hampir tak ada lawan. Melihat kecenderungan Martin memutar cerita, seperti ketika karakter yang tersudut justru bisa menang (dan sebaliknya), resolusi yang ditawarkan sebetulnya masuk dalam logika.
Apabila dievaluasi secara luas, “kesalahan” Game of Thrones ini akan terasa ketika tidak ada pedoman dari buku. Series ini spesial karena amat patuh kepada buku. Dan memang terasa di season keenam dan berikutnya, alur ceritanya relatif lepas (dan berlama-lama). Sehingga, pada season kedelapan (yang merupakan ekstensi), produser seperti kejar tayang dengan memampatkan semua resolusi dalam 6 episode yang panjang.
Separuh untuk resolusi White Walkers. Separuh lagi untuk resolusi melawan rezim Cersei Lannister. Pada separuh akhir terutama, sangat terasa penyelesaian dibuat tak mengindahkan lagi logika cerita. Dalam catatan produksi bahkan mereka melakukan dua blunder fatal ketika ada properti “asing” yang masuk ke dalam frame.
Blunder lain di luar kejanggalan perubahan karakter adalah time-structure. Perjalanan lintas Westeros yang dilipat, penyelesaian yang terlalu simpel, dan sebagainya yang menjadikan efek kernyitan dahi. Contoh penyelesaian yang terlalu simpel antara lain kehadiran Golden Company yang hanya sekian detik, tidak menimbulkan efek apa-apa. Padahal sebelumnya seperti dibangun kehadiran mereka menjadi penyeimbang kekuatan.
Logika lain yang dilanggar juga meliputi jumlah pasukan Daenerys yang membesar tanpa sebab. Hal ini sebetulnya bila struktur cerita masih lebar bisa memberikan ruang untuk penjelasan. Misalnya kita tahu bahwa Dany masih punya cadangan pasukan di Essos (terutama Mereen). Atau memberi waktu juga mengenai efek surat yang disebar Varys ke pemimpin Seven Kingdom tentang identitas Jon Snow. Maka, keputusan untuk mengasingkan Jon Snow (alih-alih membunuh, atau mengampuninya) akan menjadi lebih masuk akal.
Digambarkan pada film, bahwa tuntutan terhadap Jon Snow terbelah menjadi dua. Pasukan Dany (Unsullied dan Dothraki) dan klan Greyjoy (dibawah Yara) menuntut Jon Snow untuk dihukum mati. Sansa dan orang utara, tentunya menganggap Jon Snow adalah bagian dari mereka. Yang tidak tergambarkan dalam film adalah pergantian kekuasaan sementara, ketika Dany mati dan King's Landing hangus. Mengapa Unsullied (di bawah Grey Worm) dan Dothraki mau mengantar ke "pemerintahan transisi". Mengapa mereka memutuskan untuk melepas Tyrion?
Kesesuaian Logika
Semua tidak dijelaskan dalam film, tetapi sebetulnya lumayan logis. Tanpa Dany, pasukan terkuat yang ada di sekitar King's Landing adalah pasukan utara yang loyal terhadap Jon Snow. Mereka, mungkin saja didukung perkuatan pasukan dari sekitarnya menjadi posisi tawar untuk Westeros diselesaikan dalam perundingan. Posisi tertinggi sebelum Dany meninggal dijabat oleh Tyrion sebagai Hand of the King (yang mundur sesaat sebelum ia dipenjara). Maka, yang menjadi moderator transisi kekuasaan tetap pada Tyrion.
Pasukan Unsullied, seperti halnya pasukan kasim dalam sejarah, tidak memiliki nafsu berkuasa. Sedangkan Dothraki, tanpa pimpinan yang cemerlang - mereka adalah mirror dari pasukan Mongol dalam sejarah - juga bukan tipikal kaum yang mengincar satu wilayah untuk dikuasai.
Jadi, sampai di sini resolusi cerita yang diberikan Game of Thrones versi televisi saya pikir masih searah dengan cerita yang nantinya muncul dalam buku. Hanya saja, Martin masih mempunyai otonomi dan otoritas untuk membuatnya lebih mulus dalam transisi cerita maupun mengatur struktur masanya.
Game of Thrones versi televisi sendiri, masih tetap merupakan serial yang layak dikenang. Produksi visual yang hebat, penggarapan musik latar yang sangat bagus, serta kualitas akting di dalamnya juga mengantar ke berbagai penghargaan.
Penggambaran cerita fantasi, yang menggabungkan horor, thriller politik, drama, dan sejarah, serta yang terpenting adalah mau diikuti oleh pemirsanya bertahun-tahun. Seperti Lord of the Rings, bahkan kultus penggemar mulai muncul memperkaya dunia George RR Martin dengan berbagai detail menarik. Kini, yang ditunggu oleh penggemar adalah menantikan dua seri terakhir versi buku dari Martin.
Tentu saja, bagi kultus penggemar, diharapkan Martin menawarkan resolusi yang mungkin berbeda. Atau kalau sama, setidaknya pasti banyak hal bisa dijelaskan dengan lebih baik dibanding versi televisinya.
-
Ilustrasi: Helman Taofani - Foto atas: Getty Images - Foto bawah: HBO
Posting Komentar