Review Film Joker: Empati Untuk Tokoh Jahat
https://www.helmantaofani.com/2019/10/review-film-joker.html
Karena termasuk terlambat menonton Joker, ada banyak bangunan premis yang menyaturasi apresiasi. Tapi ini konsekuensi, sehingga bisa lebih "read between the line" ketika menyaksikan sinema besutan Todd Philips ini.
Saya menonton dengan status film ini sudah bertengger di nomor 9 deretan terbaik sepanjang masa versi IMDB. Ini, tentu saja, mengalahkan banyak sekali film yang saya pernah saya apresiasi tinggi. Mayoritas orang memuji akting Joaquin Phoenix, tetapi film yang apresiasi tunggal terhadap penghayatan peran biasanya membuat lubang di mana-mana.
Demikian juga dengan Joker, yang saya sepakat Phoenix bermain luar biasa di situ. Namun, bagi saya, film ini tidak sesempurna yang saya pikir. Terutama pada bangunan cerita (hal yang sangat penting bagi saya), yang masih sarat dengan eskapis-eskapis ala film origin superhero. Cerita jelas bukan titik menang film ini.
Akting Phoenix saja yang berhasil membawa impresi penonton mengenai besarnya dampak satu kejadian pada proses pembentukan Arthur Fleck menjadi Joker.
Film ini menjadi berhasil karena "mengganggu" penontonnya (provoke unrest). Seharusnya ini jadi capaian sendiri karena memang demikian tujuan sebuah film origin mengenai sosok tokoh jahat (villain). Popularitas Joker sebagai villain rupanya menyelamatkan juga ekspektasi penyelesaian yang berada dalam titik gantung.
Gangguan-Gangguan Kepada Penonton
Saya paham impresi banyak orang mengenai tema tersurat dari film ini. Mengenai keterpaksaan yang akhirnya memicu tindakan-tindakan tertentu. Isu segregasi ini kian kencang saat ini, dan belum ada tanda berhenti. Jadi, wajar juga bila muncul kekhawatiran bahwa "joker-joker" lain bisa muncul dari masyarakat.Isu lainnya adalah mengenai perundungan (bullying). Banyak komentar yang menyoroti apakah Joker ini bisa memicu reaksi perlawanan dari korban perundungan? Ada nasehat agar anak-anak tidak menonton film ini karena prevensi atas reaksi yang "keliru" atas perundungan. Tema macam ini sebetulnya sudah berimbang. Di film lain, reaksi korban perundungan juga banyak yang waras.
Yang cukup personal, bagi saya, adalah isu mengenai perlakuan pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Kebetulan, momentum Joker rilis ini bersamaan dengan bulan kesadaran kesehatan mental. Koran tempat saya bekerja juga tengah membahas mengenai ODGJ. Serta satu lagi, entah masuk dalam spektrum atau tidak, anak saya masuk dalam spektrum autisma. Gangguan jiwa juga.
Dua hari sebelum menonton film, saya mendapat laporan bahwa anak saya dirundung oleh sekelompok anak ketika bermain di kolam renang. Anak saya, tidak bereaksi tentu saja, ketika ia dijadikan mocking dan mainan di kolam renang tersebut. Tetapi adiknya (yang "normal") yang justru menangis melihat kakaknya dirundung anak-anak lain.
Selama menonton Joker, saya berpikir bagaimana kelak anak saya ketika dewasa. Bagaimana masyarakat akan menerimanya? Apa nanti reaksinya terhadap dunia yang kian hari tidak tampak semakin cerah?
Jujur, sudut pandang ini yang membuat saya cukup resah selama menonton Joker. Mengenai totalitas Joaquin Phoenix memerankan orang yang terganggu, tentu saja tidak lagi mengagetkan. Secara akting, saya pernah terbuai olehnya ketika memerankan kebingungan dan kesendirian dengan sempurna di film Her (2013).
Namun, film ini bukan monolog Phoenix. Bukan pula tentang kemenangan Todd Philips yang menempelkan dunia superhero sebagai gimmick. Film ini bisa berjalan tanpa ada nama Wayne di dalamnya. Film ini berhasil "mengganggu" penonton dengan masuk dari berbagai sisi. Pengalaman seperti ini pernah pula tercatat dahulu ketika Stanley Kubrik merilis A Clockwork Orange (1971).
Joker berhasil karena membawa orang kepada keberpihakan (atau empati yang berulang kali dinarasikan) pada karakter utamanya. Dan yang paling mengganggu (baca: berhasil) sebetulnya sejak awal kita sudah tahu bahwa karakter Joker ini akan jadi jahat, tetapi kita bisa menerima dan memakluminya.
Efek kontemplasinya, apakah dunia (nyata) yang kita huni saat ini sudah paralel dengan bobroknya Gotham dan alam fiksi pada film Joker?
Posting Komentar