Post Note Graduation
Hari Kamis, 24 Maret 2005, saya resmi menyandang gelar "Bachelor of Engineering" setelah menyelesaikan program studi Arsitektur...
https://www.helmantaofani.com/2005/03/post-note-graduation.html
Hari Kamis, 24 Maret 2005, saya resmi menyandang gelar "Bachelor of Engineering" setelah menyelesaikan program studi Arsitektur saya selama 5 tahun-an. Tugas Akhir saya tentang "Kecenderungan Arsitektur di Masa Depan" berhasil meluluskan gue sampai ke tahap di mana nama saya tambah dikit dengan embel-embel ST (though I prefer prefix: Ir. ketimbang sufix: ST...kerenan tukang insinyur soalnya, kaya si Doel). It DOES mean much! Meski ngga begitu peduli sama nilai Tugas Akhir juga sih. Bagi saya, kelulusan adalah refleksi apa yang gue peroleh selama kuliah.
Di sini, hal yang paling besar dari apa yang saya liat selama kuliah adalah arsitektur sebagai bentuk sintesa budaya. Arsitektur mempunyai kedudukan yang "mulia" yang di Indonesia banyak diremehkan oleh orang-orang yang "memuliakan" diri mereka sendiri. Such as: sastrawan, seniman, politisi, ekonom dan sebagainya. They did treat us architect just like a stupid moron from construction things. Kedudukan kita para arsitek di mata mereka ngga ubahnya "sekedar" buruh-buruh pekerja bangunan (with all respect to them) yang mereka anggap ngga punya modal pandangan kritis terhadap permasalahan hidup yang kompleks ini.
Sebuah artikel (atau featurette?) di majalah Trax juga quit pro quo. Lewat apa yang mereka sebut dengan "New Idol", Trax mengklasifikasikan perspektif budaya baru lewat kacamata musisi, filmmaker, programmer, desainer pakaian, fotografer, seniman, kritik sastra, dan cast director. Nggak ada arsitek di situ. Mungkin kita para arsitek ngga pernah dianggap sebagai agen perubahan budaya. Mungkin para MTV-goers itu menganggap kita para arsitek ngga bisa menjembatani idealisme menjadi sebuah produk budaya (majalah Trax masih terasosiasi dengan label "MTV"-nya waktu itu).
Mungkin para "anak nongkrong" itu lebih terkesima dengan maya-nya dunia hiburan menyajikan idealisme, seolah-olah mereka terbebas dari genggaman hiper-realitas dunia yang diciptakan media seperti Trax. Mungkin mereka "rebel without a cause" itu menganggap kita para arsitek sebagai tukang-tukang yang jauh dari "craftmanship", kaku, ngga punya orientasi, menghamba dengan kapitalisme dan sebagainya.
Tugas Akhir saya kebetulan menganalisa mengenai di mana "ideal" dan "suppose to be"-nya posisi arsitek di dalam lingkaran kebudayaan. Foucault pernah mengungkapkan bahwa suatu (gagasan) kebudayaan itu membutuhkan suatu perangkat untuk mewujudkannya menjadi sebuah peradaban. Foucault berasumsi bahwa sistem-sistem itulah wujud "toolbox" yang bisa mewujudkan peradaban. Di sisi lain, Dr. Mohammad Hatta pernah mengungkapkan paradigma kebudayaan sebagai suatu gagasan sosial yang dikemukakan dalam bentuk non-lahiriah. Ini berarti budaya itu adalah refleksi-refleksi sosial yang muncul dalam bentuk seni, konsep musik, fotografi, desain pakaian dan sebagainya. Segalanya berorientasi pada sesuatu yang ngga berwujud. Untuk jadi wujud, mereka membutuhkan sistem, yaitu perangkat-perangkat penunjang seperti instrumen, kamera, dan mesin jahit misalnya. Jadi nantinya memunculkan peradaban yang terciri dari musik, dokumentasi visual dan pakaian yang menandakan suatu masa.
Arsitektur, dalam pandangan saya adalah sistem. Lingkupnya lebih besar karena arsitektur musti mewadahi ruang bagi manusia untuk hidup di muka bumi. Mulai dari manusia mengenal gua sebagai jawaban kebutuhan menetap-nya di era pra sejarah, itulah arsitektur dimulai. Jauh sebelum gua-gua Lascaux Perancis dilukis oleh manusia Neanderthal sebagai ekspresi seni pertama. Arsitektur jelas lahir lebih dahulu dari manusia menemukan konsep pakaian karena pada masa itu kulit binatang cuman dipake buat alas tidur sama menghangatkan badan di musim dingin. Apalagi untuk konsep musik dan fotografi.
Arsitektur telah membakukan refleksi sosio-antro pada masa awal yang memungkinkan seni berkembang. Dan maju ke ribuan tahun ke depan, kebudayaan yang kita cicipi sekarang, yaitu kebudayaan posmodern, muncul justru dipicu oleh kritik arsitektur atas kebudayaan modern. Mungkin jika Charles Jencks tidak menyatakan bahwa modernisme telah mati, kebudayaan posmodern (atau gagasan posmodernisme) ngga bakal pernah ada! Jadi arsitektur juga bisa digunakan sebagai barometer fluktuasi peradaban secara global.
Tapi, kembali lagi, salah siapa arsitektur tidak mendapatkan "tempat" di dalam lingkup intelektualitas gagasan kebudayaan?
Pertama, ada asumsi bahwa arsitektur adalah bidang eksakta. Kenyataannya, lulusan arsitektur mendapatkan gelar seperti halnya lulusan bidang-bidang "kaku" lain seperti Teknik Sipil, Elektro, Informatika, dan sebagainya sebagai seorang "Sarjana Teknik" atau dulu tukang Insinyur. Jadi stigma bahwa arsitektur adalah bagian dari itu tidak bisa diingkari.
Kedua, kontribusi arsitek di Indonesia tidak mencukupi sebagai "agen perubahan". Rata-rata lulusan sekolah arsitek di Indonesia (hampir 75 persen) berprofesi sebagai tukang gambar profesi, alih-alih mewujudkan status idealnya sebagai konseptor peradaban. Arsitek di Indonesia (dan mungkin dunia, tapi hella care, since saya ngga paham dengan kondisi di luar) adalah budak dari sistem konstruksi. Parahnya IAI, afiliasi resmi arsitek, juga sedikit banyak membatasi dengan tidak memberikan masukan pada sistem yang ada untuk berubah. Tampaknya IAI juga "terbatas" dengan lingkungan konstruksi mereka. Ironis!
Ketiga, minimnya kesadaran arsitektur juga membawa ke suatu kondisi arsitektur di Indonesia seolah tidak pernah salah. Jarang sekali ada demonstrasi yang menolak pembangunan suatu proyek gara-gara ketidaksesuaian konsep desain dengan lingkungan. Atau mekanisme desain yang menentang kepentingan orang banyak.
Keempat, produk-produk arsitek yang dicetak oleh sistem pendidikan juga sama memble-nya dengan dunia arsitektur di Indonesia. Dulu saya pikir ini ada di kampus saya saja, tapi ternyata ngga juga. Setelah nanya ke sana-sini ternyata hampir semuanya berusaha "mengarahkan" benih-benih arsitek dalam suatu patron lama. Apa yang dipelajari oleh kaum pengajar, mau tidak mau, sudah bergeser oleh tuntutan jaman. Para pengajar masih menanamkan konsep fungsionalisme, hi-tech minded, atau posmodernisme awal atau reversi.
Sementara desain arsitektur yang ada sekarang adalah desain-desain arsitektur yang (seharusnya) berorientasi ke masyarakat pasca industri yang dibilang oleh Baudrillard sebagai masyarakat mobile. Masyarakat yang sedikit membutuhkan ruang untuk beraktivitas dan lebih butuh ruang untuk bergerak. Arsitektur sekarang adalah generasi arsitek angkatan Foreign Office Architects (FOA), Meccanoo, Morphosis, MVRDV, United Architects dan sebagainya. Mereka yang mengkonsepkan dunia masa depan, bukan Le Corbusier, Mies, Bauhaus dan sebagainya yang terbukti gagal membangun peradaban industri.
2 komentar
Menurut teman main tenisku: ada tiga profesi yang laku saat ini: dokter, pengacara dan konsultan. saya kira arsitek masuk di konsultan. dari sana mereka membantu siapa saja yang butuh pengetahuan,skill dan komitmen mereka. Tentu saja plus nilai moral di dalamnya...
Mungkin rentang 4 tahun (dari pas nulis) memang sudah bergeser keadaannya ya Bang. Tapi arsitek masih belum begitu laku sebagai konsultan (in general), masih kalah dibanding pelaksana (pemborong/developer).
Posting Komentar