Epic!
Apa yang membuat kita tergetar kala mendengarkan cerita-cerita epik jaman dahulu? Semangat patriotisme dan keberanian adalah dominasinya. ...
https://www.helmantaofani.com/2007/03/e-p-i-c.html
Apa yang membuat kita tergetar kala mendengarkan cerita-cerita epik jaman dahulu? Semangat patriotisme dan keberanian adalah dominasinya. Legenda, mitos dan kisah-kisah epik di manapun akan sangat menonjolkan hal itu. Mulai dari legenda Viking sampai kisah era feodal Jepang. Dan memang angle itulah yang potensial untuk menceritakan kisah seorang pahlawan yang mungkin akan berbeda jika ditilik dari sudut pandang musuh.
Kisah tentang Raja Leonidas dari Sparta yang difilmkan dalam "300" juga demikian. Kisah mengalun dari penuturan mantan prajuritnya yang tengah memobilisasi tentara untuk maju ke medan perang. Dan dari perspektif itulah gambar demi gambar epik mengalir jadi satu rangkaian cerita yang megah dan epik. Di mulai dari tantangan Leonidas yang menolak menyerahkan tanah dan air-nya kepada bangsa Persia yang dipimpin Xerxes dalam rangka melanjutkan obsesi ayahnya, Darius menaklukkan tanah Yunani. Kemudian gambaran kisah gagah berani Leonidas dan 300 tentaranya menghadang puluhan ribu tentara Persia yang beraneka ragamnya, mulai dari infanteri kelas teri sampai prajurit elit-nya, berwujud pasukan Immortals.
Dengan batasan sudut pandang, maka yang harus diolah adalah dari sisi penggambarannya. Menonton film 300 seperti halnya menilik lembar demi lembar lukisan romantis yang dibuat di era renaissance dan seterusnya. Warna, emosi, tekstur dan ritme-nya sangat dramatis. Panorama alam yang dibuat dengan CGI menggambarkan medan perang Thermopylae (Hot Gates) yang tersohor itu. Kemudian lambaian jubah merah parjurti Sparta yang kontras dengan kondisi tandus sekitarnya membuat efek surealis yang tegas dan menambah kesan artistik. Diksi dan dialog yang dipilih juga singkat dan jelas, lebih banyak bermain dengan emosi dari mimik dan atmosfer sekelilingnya. Overall, filmnya sangat berhasil menonjolkan unsur apa yang harus diserap oleh penonton untuk mengerti jalinan kisah Leonidas dan 300 orang pilihannya (heavily recommended cinematographic movie).
Sementara itu, jalinan cerita yang dipilih Frank Miller tidak banyak membengkokkan apa yang ditulis oleh Herodotus dan ahli sejarah lainnya, kecuali masalah sudut pandang itu (also a plus point as a historical based movie) dan visualisasi surreal. Kemenangan fisik tetap diperoleh oleh Xerxes dan tentaranya, tetapi kemenangan moril membuat rakyat Yunani bersatu mengusir Persia kembali ke Asia. Untuk mengetahui selengkapnya, silahkan pelajari kembali buku-buku sejarah peradaban yang memesona itu. Termasuk kisah-kisah selanjutnya bahwa etnis Yunani akan mendirikan Romawi kedua di Konstantinopel dan terus memperluas jajahan dengan membentuk kekaisaran di wilayah Arab Utara. Sementara Persia berdiam di Mesopotamia, dan menguasai hampir jazirah pergelangan Arab sampai India, guna membentuk kemaharajaan kedua yang besar selain Romawi Timur.
Sedikit PostNote
Dan sampai di situ kisah-kisah epik seolah surut, menyisakan sedikit jalinan cerita jaman pahlawan. Padahal ada kisah yang luput dari apresiasi orang kebanyakan, yaitu ketika tentara Muslim Arab yang baru seumur jagung menghancurkan dua kemaharajaan besar itu hanya dalam sekali pukul. Hampir mustahil mengharapkan pencerita hebat seperti Frank Miller yang sudi meluangkan pikirannya untuk menceritakan kisah Saad bin Abi Waqqas dan pasukannya memburu pasukan Persia di Perang Al Qadisiyah. Serta hampir mustahil mengharap Zack Snyder akan menggambarkan kegagahan Khalid bin Walid memetik kemenangan gemilang atas Romawi Timur di Perang Yarmuk. Padahal efeknya, Muslim Arab kemudian berhasil membentuk "Pax Arabica", sebuah kesatuan utuh di jazirah Arab sampai dengan Afrika Utara yang gagal diwujudkan oleh Romawi Timur.
Mungkin kisah para Muslim Arab itu selama ini selalu ditinjau dari pihak yang berbeda, yaitu dari pihak yang kalah (orang Romawi timur dan keturunannya). Bisa dibayangkan reaksi dunia barat, jika kita analogikan dengan reaksi para keturunan Persia di Iran yang meradang dengan pencitraan bangsa Persia dalam film 300. Masalah epik ini, sekali lagi, adalah masalah sudut pandang penceritaan yang tidak akan pernah bisa objektif. Bahkan Diponegoro sekalipun adalah seorang bajingan bagi keturunan Belanda yang mendapatkan kisahnya turun temurun dari para pendukung De Kock dan para kompeni.
Posting Komentar