The "Do-Bay" Project
Banyak yang memvonis jika arsitektur modern yang membawa pembaruan ide di Eropa adalah ide yang terlalu radikal untuk membawa ke tatanan ...
https://www.helmantaofani.com/2007/05/do-bay-project.html
Banyak yang memvonis jika arsitektur modern yang membawa pembaruan ide di Eropa adalah ide yang terlalu radikal untuk membawa ke tatanan dunia baru. Di benua mulanya, yaitu Eropa, pendapat itu boleh dikatakan berlandasan, karena emfasis kuat dari latar sejarah mereka yang tidak mungkin lekang oleh pembaruan. Tetapi, arsitektur modern selalu bergerak menjamah dunia-dunia baru yang miskin identitas, terjarah karena efek kolonialisme dan imperialisme lampau, di belahan bumi selatan. Baik itu karya-karya masif kota-kota "balita" model Chandigarh di India atau Brasilia di Brazil, maupun serpihan-serpihan upaya modernisasi hampa di banyak kota negara ketiga.
DUBAI bisa dibilang sebagai negara ketiga jika ditinjau dalam tatanan konstelasi politis. Negara di Teluk Persia tersebut selalu bersikap netral, meskipun dalam urusan sensitif macam konflik Israel-Palestina sekalipun. Dan sama halnya seperti negara-negara ketiga lainnya, bisa dibilang Dubai memang bukan negara yang sama sekali "lepas" dari belenggu penjajahan. Bukan semodel negara kita yang diperkosa Belanda selama berabad-abad, tetapi lebih kepada adiksi Dubai terhadap peradaban barat, dari sisi fisik dan non fisiknya. Meski letaknya hanya sepelemparan batu dari pusat-pusat kebudayaan Islam masa lalu, mulai dari Mekkah, Baghdad, Teheran, dan sebagainya, Dubai justru lebih mendekatkan diri kepada dunia barat. Hal yang wajar jika Dubai memang telah "melayani" negeri para bule itu dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.
Dubai, dan negara-negara di Uni Emirat Arab diuntungkan dengan relasi mereka ke dunia barat setelah krisis energi yang melanda di awal 90-an. Harga minyak yang melambung membuat bandul ekonomi bergerak ke negara-negara teluk yang memang kaya akan sumber daya alam Petra Oleum tersebut. Aliansi Emirat adalah kongsi besar dari negara-negara kecil di Teluk Persia yang turut mengeruk keuntungan dari perdagangan energi terbesar bumi tersebut. Dubai adalah salah satunya. Dan posisinya sebagai negara kaya baru membuat negara yang dipimpin dinasti Al Maktoum itu menjadi incaran para visioner-visioner baru dalam mewujudkan mimpi-mimpi mereka.
Perkembangan Dubai sangat masif. Dari awal 90-an yang berupa padang datar di tepi Teluk Persia, menjadi metropolitan megah yang didominasi pencakar langit raksasa di sepanjang bulevar-nya. Hanya dalam kurun waktu 10 tahun, arsitek-arsitek dunia datang ke Dubai sebagai lahan baru atas kehausan negara tersebut atas identitas universal baru. Berbagai macam proyek visioner akan mengisi relung ruang di penjuru Dubai dalam tahun-tahun ke depan.
Burj Al Arab yang dirancang oleh arsitek Tom Wright dari WS Atkins menjadi pembuka jalan bagi proyek ambisius yang akan berjalan di tahun-tahun belakangan ini. Hotel tertinggi di dunia tersebut dibangun di atas lahan pulau artifisial yang berbentuk seperti pohon palem. Palm Al Jumeira, demikian nama gugusan "berjari-jari" pulau artifisial tersebut, adalah awal dari megaproyek waterfront Dubai yang akan membuka lagi dengan dua "palem" tambahan. Lebih besar dan lebih masif, "palem-palem" baru itu akan menendang reklamasi pantai Singapura menjadi sebuah proyek remeh-temeh. Palm Jebel Ali dan Palm Deira akan mengapit Palm Jumeira menjadi tiga serangkai pulau artifisial yang siap dijual pada jutawan-jutawan ekspatriat yang mengingingkan visi hidup dunia baru di Dubai.
Sementara di downtown yang baru berkembang dekade terakhir ini, sebuah bangunan multi-ambisisus pemenang sayembara rancangan biro arsitek asal Amerika Serikat, SOM, siap mengguncang dunia. Burj Dubai, megastruktur berketinggian sekitar satu kilometer siap menjadi perwujudan dari visi Frank Lloyd Wright -kompatriot atau bahkan inspirasi SOM- tentang menara satu mil-nya. Burj Dubai siap mengangkangi menara-menara lainnya, seperti Petronas dan Shanghai Tower, dua-duanya dari negara yang tengah mengembangkan sayapnya: Malaysia dan China. Perlombaan ketinggian ini memang tidak lagi menarik minat dunia barat, terutama Amerika sebagai "penemu" bagunan ramping tinggi ini, terutama setelah ikon ketinggian AS rancangan Minoru Yamasaki dihantam Boeing dalam tragedi 11 September 2001. Dan kini, arsitek-arsitek visioner mengalihkan perhatian ke negara yang tengah mengemis identitas dari perlombaan struktur macam Dubai, Malaysia atau China.
Burj Dubai akan terletak di jantung kota Dubai yang dibelah oleh bulevar Sheikh Zayid yang dipagari oleh macam-macam bagunan tinggi. Downtown Dubai juga tidak luput dari rekayasa para visioner "keturunan" para utopis model Ebenezer Howard di era Garden City akhir abad 19. Superblok Media City dan Internet City menjadi bagian dari jantung kota yang penduduk asingnya jauh lebih banyak dari pribumi (orang Arab). Kedua superblok itu dibangun untuk menjawab "tantangan" kota-kota berinfrastruktur IT canggih seperti Cyberjaya di Malaysia dalam skala yang lebih ekstrim karena faktor modal yang tentunya juga berlebih dibanding jiran kita tersebut. Rancangan dari pengembangan blok kota itupun mirip dengan visi Le Courbusier atau Howard, dengan dominasi kantor media macam Bloomberg, Reuters, Microsoft dan sebagainya mengisi pusat kota, sementara penduduknya "diungsikan" ke luar jalur, yaitu di "palem-palem" artifisial di tepian pantai Dubai yang tengah dibangun kawasan huni masif, terutama di Palm Deira yang notabene merupakan pulau artifisial terbesar di antara ketiganya.
Jika seluruh pekerjaan mempermak negara-kota di Teluk Persia tersebut selesai, maka dari kuburannya di Louvre, Paris, Edouard Jeanneret akan tersenyum lebar. Pria yang dikenal dengan nama Le Corbusier tersebut akan mentertawakan para skeptis post-modernis yang mencap gagal proyeknya di Chandigarh, India, yang memang sampai sekarang tidak kunjung beranjak dari kota medioker. Atau juga episode masa Plan Voisin Corbu disentil oleh politis Paris karena hendak mengubah jejalur raksasa Haussmann di kota tersebut menjadi pengejawantahan Garden City dari Ebenezer Howard. Yang jelas, Dubai masih memerlukan waktu untuk kembali mengangkat nama Le Corbusier sebagai salah satu bapak visioner perancangan kota, setara dengan imejnya yang melekat sebagai perancang bangunan indah di penjuru dunia. Dubai adalah manifestasi tertunda dari arsitektur modern yang turut digagas oleh Corbu, dan sekarang tengah mengepakkan sayapnya untuk menjadi kota dengan uniformitas global pertama di bumi. Sesuai dengan cita-cita Vers Une Architecture.
Kini tinggal "mengipasi" negara lain yang mungkin akan iri dengan proyek Dubai, maka arsitektur modern bisa resmi diklaim ulang kebangkitannya. Mungkin Indonesia barangkali, yang turut mencicip kepakan sayap Dubai -melalui biro arsitek WS Atkins yang merancang Burj Al Arab- pada proyek Regatta di waterfront Jakarta? Siapa tahu, nantinya ada the next Roger Federer vs Andre Agassi* di langit Batavia yang menghadap ke Laut Jawa...
Namanya juga visioner, utopis, alias mimpi.
Posting Komentar