Soerabaia Lama
Prinsip saya untuk mengakrabi sebuah kota adalah: kenali sejarahnya! Dengan tahu sejarah kota, maka ikatan memorial antara kita dengan kota ...
https://www.helmantaofani.com/2007/09/soerabaia-lama.html
Prinsip saya untuk mengakrabi sebuah kota adalah: kenali sejarahnya! Dengan tahu sejarah kota, maka ikatan memorial antara kita dengan kota akan mampu menembus ruang waktu. Maka dari itu, ketika ada ajakan untuk menjelajahi kota tua Surabaya dari komunitas "Wisata Surabaya" Minggu, 9 September lalu, saya sangat antusias. Sejak lama, saya dan istri saya mengagumi sisa-sisa tata kota kolonial di bilangan Surabaya Utara yang masih megah berdiri. Meninggalkan sosok kota bawah (beneden stad) yang dibangun pemerintah VOC sebagai port penting yang menghubungkan Nusantara.
Acara dari "Wisata Surabaya" adalah ide mendadak yang digulirkan beberapa orang di awal September. Konsepnya sederhana, yaitu mengenali bentuk kota tua Surabaya dengan kekayaan budaya aslinya, termasuk wacana kuliner, pasar tradisional dan tentu saja sejarah di dalamnya dengan berjalan kaki menyusuri rekam jejak masa lalu kota yang berusia 700 tahun lebih ini.
Kota Eropa
Rute dimulai dari kantor pos besar yang terletak di jalan Kebonrojo (Regentstraat) yang berada di daerah alun-alun (sekarang Tugu Pahlawan). Jika mengamati daerah alun-alun ini, beberapa bangunan sisa peninggalan era kolonial masih tegak berdiri karena dialihfungsikan dan digunakan sampai sekarang. Jika kita melihat kantor Bappeda, Bank Mandiri dan kantor Gubernur Surabaya maka bayangkanlah bangunan serupa pernah menjadi bioskop Rialto, Lindeteves Stokvis dan Governours Kantoor di masa lampau. Beberapa sudah hancur meski menyisakan puing yang bisa kita lihat di Tugu Pahlawan, yang dulunya merupakan gedung Raad van Justitie.
Wilayah alun-alun atau taman kota (stadstuin) adalah pengembangan kedua dari lingkar kota Surabaya yang dibangun VOC. Inisialnya, Surabaya dibangun di daerah yang kini dikenal dengan daerah Jembatan Merah dan Kembang Jepun. VOC membagi blok benteng kota berdasar tepi alami berupa sungai (Kalimas) yang membelah kota menjadi dua. Pemisahan ini dikenal dengan keluarnya undang-undang Wijkenstelsel pada 1843. Sebelah barat sungai adalah daerah permukiman orang Eropa. Sementara sisanya adalah untuk orang Timur Asing (orang Arab dan etnis Cina).
Segregasi ini dimaksudkan pada awal perkembangan kota, namun lama kelamaan menjadi sebuah teritori spasial yang diwujudkan dengan pola pemukiman berciri. Daerah untuk orang Eropa dipenuhi dengan banyak karya arsitektur yang bergaya Eropa. Beberapa yang menjadi landmark, di antaranya deret bangunan di jalan Jembatan Merah, yang menghadap ke Kalimas (identik dengan pola di Belanda, di mana bangunan menghadap sungai). Bangunan-bangunan di sepanjang jalan ini membawa khasanah arsitektur kolonial awal dengan trademark pengunaan atap dan menara yang menyatu dengan bangunan dilengkap dengan dormer (jendela di atap).
Ciri ini bisa diamati di antaranya melalui bangunan yang kini menjadi kantor BII [link], bekas PT. Aperdi di jalan Jembatan Merah [link], atau Gedung Cerutu [link] dan De Javasche Bank (sekarang BNI) di jalan Rajawali (heerenstraat). Bangunan-bangunan tersebut kebanyakan dibangun di akhir abad 19 atau awal abad 20 di mana pakem arsitektur yang berkembang masih melanggengkan pengaruh neo-klasik di Eropa.
Bangunan-bangunan neo-klasik yang lebih puritan bahkan masih bisa diamati pada bangunan yang sekarang menjadi kantor Polwiltabes Surabaya dan gedung PTPN XI [link]. Penggunaan tiang-tiang klasik yang bergaya Yunani dan fasad simetris yang kaku masih nampak pada bangunan-bangunan tersebut.
Sementara bangunan yang lebih baru lebih dinafasi oleh semangat "kekinian" (modernitas) yang mewabahi Belanda di medio dekade 1920-an. Beberapa bangunan, di antaranya hasil karya FJL Ghijsels dan Nedam yang sangat dipengaruhi konsep De Stijl, dengan pola garis-garis dan asimetrisitas yang memang "in" pada masa tersebut. Ghijsels merancang hotel Internatio yang terletak di pertigaan Hereenstrat dan Willemsplein (sekarang Jl. Jayengrono), tempat di mana pada 1945 Mallaby terbunuh. Sementara Nedam adalah perancang kantor Gubernur Jawa Timur di daerah Tugu Pahlawan. Karya modern lain adalah PTPN XII karya CPW Shoemaker di Jl. Jembatan Merah dan Hotel Ibis di Jl. Rajawali yang mengusung spirit art deco (dominasi pengulangan unsur dekoratif) (yang jamak di Bandung).
Vreemde Oosterlingen Kamp
Sementara itu, tur yang diikuti oleh 9 peserta ini berlanjut menuju ke seberang sungai, di mana dulunya adalah wilayah untuk Vreemde Oosterlingen, atau orang Timur Asing - sebutan orang asing Asia non pribumi. Di batas terdekat dengan kawasan Eropa adalah kawasan Pecinan yang kini menjadi daerah Kembang Jepun dan jalan Panggung. Sementara di sisi utara terdapat kawasan Arab yang mengitari wilayah Ampel di mana terdapat makam Sunan Ampel. Rute yang ditempuh tur adalah menyusuri Jalan Panggung menuju Arabische Kamp. Fenomena menarik yang bisa diamati adalah perbedaan pola permukiman, di mana jika kawasan Eropa mengadopsi view ke arah sungai dari kota-kota di benua biru, maka sepanjang Jalan Panggung, yang dulunya pecinan, permukiman justu membelakangi sungai. Fenomena ini mirip dengan kawasan pecinan di daerah Pasar Gede Solo. Etnis Arab dan Cina berbaur di daerah transisi ini, sehingga tidak heran jika sekarang beberapa etnis Arab menghuni wilayah ini yang notabene arsitekturnya justru didomiasi bentukan rumah etnis Cina di era kolonial.
Jalan Panggung bermuara dengan gerbang kawasan Ampel yang merupakan "kampung Arab" pada masa lalu. Pola permukiman di kawasan ini adalah organis, seperti halnya kawasan Pecinan. Bedanya, jika permukiman etnis Cina berkembang mengikuti jejalur kota (paths), maka kampung Arab lebih bersifat sirkular dengan pusatnya berupa masjid dan makam Sunan Ampel, yang masih mengangkat langgam tradisional asimiliatif antara Majapahit dan Cina (seperti pada menara Kudus). Beberapa peninggalan masa lalu bisa dijumpai di kawasan ini, seperti Hotel Kemadjoean yang dibangun pada 1928. Sayangnya, kepadatan penduduk di wilayah ini menumpulkan sense kawasan yang memisahkan nostalgia masa lampau dengan kenyataan pada masa sekarang. Padahal keturunan Arab masih mendominasi demografi kawasan ini di mana mereka mempertahankan karakter ekonomi lama dengan berjualan kitab, makanan tradisional dan parfum.
Merekam Masa Lalu
Setelah mencicipi makanan khas Timur Tengah di kedai Yaman, rute perjalanan dilanjutkan ke House of Sampoerna yang berada di utara kawasan. House of Sampoerna tadinya merupakan rumah tinggal pendiri pabrik rokok Sampoerna, Liem Siong Te yang kemudian menyatukannya dengan pabrik rokok. Lokasi rumah yang kini menjadi museum ini berdekatan dengan penjara warisan kolonial, Kalisosok sebelum kemudian pindah ke Jl. Bubutan. Rute sempat melewati Jembatan Petekan yang merupakan jembatan angkat, pada masa lalu untuk memudahkan rute kapal yang melewati Kalimas menuju pedalaman. Sisa dari jembatan angkat termasuk rerodanya masih ada di lokasi. Hal ini membuktikan bahwa Surabaya lampau dibangun dengan jejalur utama Kalimas, dengan moda kapal-kapal yang menyusuri. Oleh karena itu, tidak heran jika Bovenstad (Kota Atas) yang notabene pengembangan wilayah baru kota bergerak mengikuti rute Kalimas di situs yang sekarang menjadi Balaikota dan wilayah Darmokali.
Selepas House of Sampoerna, rute diakhiri di PTPN XI, dimana seperti dijelaskan di awal bahwa bangunan ini merupakan bangunan dengan langgam neo-klasik. Fasadnya simetris, dan banyak dihiasi elemen dekoratif mulai dari kolom sampai detail fasad. Volume bangunan ini sangat besar [link] dan mengingatkan saya pada sosok Lawang Sewu di Semarang yang pernah saya kunjungi dalam rangka ekskursi tahun 2004 lalu. Konsepnya juga sama, berupa lobby pada ruang transisi utama, kemudian ruang terbuka di tengahnya, plus dengan suasana wingit-nya. Bedanya, PTPN XI sangat terawat dan masih digunakan.
PTPN XI menjadi penutup yang sempurna untuk mengakhiri catatan di balik tur Wisata Surabaya ini. Bahwa untuk melestarikan peninggalan masa lampau, tidak cukup dengan hanya membuat suatu perintah suaka cagar budaya belaka, namun menghormatinya dalam bentuk yang paling pantas, yaitu revitalisasi. Sebuah bangunan akan berfungsi optimal ketika ada interaksi antara objek fisiknya dengan struktur non fisik berupa kegiatan di dalamnya. Demikian juga dengan skala yang lebih besarnya, yaitu kota. Diperlukan suatu interaksi yang positif dalam wujud apresiasi terhadap elemen-elemen kota, termasuk penghargaan terhadap sejarah dan peninggalan masa lampau kota. Acara semacam "Mlaku-Mlaku Surabaya Lawas" yang digagas teman-teman "Wisata Surabaya" ini sangat efektif untuk membentuk suatu kesadaran "meruang" pada diri warga kota disertai dengan semangat untuk menghargai jejak panjang sebuah kota yang berumur lebih dari separuh milenium macam Surabaya. Jika tidak, kawasan eksotis ini akan dengan mudah tergilas laju buldoser modernisme yang makin meluas.
Visi saya sangat terbuka, meliarkan sebuah vivid dream untuk merekonstruksi sejarah masa lalu kota sebagai blueprint pengembangan kota Surabaya. Membayangkan Amsterdam of the East, dengan jejalur utama dari aliran Kalimas, dan kawasan "pedestrian-friendly" di wilayah benedenstad untuk membuka cakrawala ruang waktu ke masa lampau. Tetapi hal seperti itu membutuhkan kesadaran publik yang solid untuk mewujudkannya. Dan melalui rangkaian kegiatan seperti yang digagas "Wisata Surabaya" inilah kesadaran-kesadaran itu potensial muncul.
Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih ke siapapun panitia yang telah mewujudkan acara tersebut. Terlebih ke Bu Erni yang telah membuat summary berharga tentang objek-objek ekskursi. Plus ke segenap peserta, istri saya, Gina, pak Rudi (yang menjelaskan detil lukisan Jan Toroop di gedung PT. Aperdi), bu Muriani Tan dan pak William, Fahmi, Santi dan Tita yang telah menjelajah bersama melintasi ruang dan waktu sejarah Surabaya.
15 komentar
Wah man kamu mengingatkanku pada perjalanan menuju Surabaya dari Madura. kalo gak salah dari jalan Pelabuhan Perak sampe Pahlawan pasti ada beberapa bangunan tua yang dilewati. Dari belokan bis jurusan Bungurasih dari Jembatan Merah udah tuh masuk kawasan bangunan tua yang kamu sebutkan.
Tapi agak ngeri man daerahnya. sepi gitu. Kayaknya kan masih daerah bisnis kan, jadi kalo udah malem hari aura "lamanya" keluar....
Bagus juga ada Wisata Surabaya yang mau mengangkat sejarah sebagai tujuan wisata. Aku pikir Surabaya itu sudah hopeless dengan wisatanya. Pantainya.... Udaranya... Orangnya... Sungainya...
Yup aku mau tuh ikutan..... kalo udah tinggal diSurabaya
Eh ini siapa?
Nah biar ngga ngeri, makanya harus digunakan terus kan yak? Once mati, ya jadi "kota hantu". Surabaya masih potensial kok dikembangin jadi tujuan wisata. Never been too late.
Wah..asyik banget ya Man ?, bisa jalan2 ke kawasan kota tua..
Gw paling demen ke tempat2 kayak gini. Kalo balik ke Semarang pasti gak pernah gw lewatin kesempatan jalan2 ke kawasan kota tua-nya (termasuk mampir ke Lawang Sewu). Walopun udah gak gitu terawat tapi setidaknya bentuk fisiknya masih ada dan masih keliatan.
Sayangnya di Makassar bangunan2 tua kayak gini udah banyak yang hilang. Digantikan dengan bangunan2 moderen yang terkadang konsepnya tidak jelas, sehingga terasa banget kesemrawutan kota dari segi arsitektural. Kawasan pecinan di Makassar juga ada, tapi sayang cuma nama doang, cuma penunjukan bahwa di daerah itu memang mayoritas dihuni sodara2 kita yg org Chinese, tapi penanda dari segi arsitektural nyaris tidak ada. Konsep yang jelas tentang pecinan itu sendiri sama sekali gak keliatan, bangunan2 yang ada justru ruko2 model baru dengan tema dan model yang macam2, akhirnya yaaa…tau sendiri deh, warna warni gak karuan..
Secara umum, konsep kota Makassar memang kabur. Mungkin terkait juga dengan karakter umum masyarakat Bugis-Makassar yang kuat otot dagangnya hingga akhirnya pola pikirnya selalu ke untung-rugi. Bangunan tua yang dianggap kurang bisa mendatangkan duit secara cepat akhirnya dikorbankan, diganti ruko baru yang bisa lebih cepat laku. Ada tanah kosong di pinggir jalan walaupun cuma sedikit, langsung dibangunin ruko, udah gitu konsep kawasan gak jelas. Walhasil, mencari jejak sejarah kota Makassar sama susahnya kayak cari jarum di jemari eh jerami....
Kawasan Benteng SombaOpu aja yang dulunya adalah pusat pemerintahan kerajaan Gowa sekarang kondisinya sangat memprihatinkan, dulu sih pernah direstorasi trus sempat rame dikunjungi orang2, tapi belakangan udah gak diperhatiin lagi sampe akhirnya nyaris runtuh untuk yang kedua kalinya....
Ahh..carut marut banget deh....
Eh, gw koq malah jadi curhat ya...hehehehe....
Abis cemburu sama SBY, DJG, SMG, BDG dan JKT yang masih punya kawasan kota tua..
Nice posting buddy....
@Bos Ipul
Untungnya isu konservasi di Surabaya maya gencar. Tapi baru sebatas bangunan doank, belom menyeluruh ke kawasan. Padahal itu esensial juga, karena berkaitan sama konteks. Sebetulnya itu yang coba gw angkat via postingan di sini, tentang concern ke satu kawasan (dalam hal ini "benedenstad").
Masalah konservasi ini adalah masalah umum di Indonesia. Since Makassar bagian dari Indonesia, pastilah punya masalah yang serupa. Negara kita masih ngeliat segalanya dari sisi ekonomi.
Mas Helman,
well mas, masukan aja ni ye.. menurut aku, untuk tipe tulisan tipe narasi yang bercerita kayanya kurang sip kalo belom banyak gambar yang dilampirin.. kaya misalnya, aku penasaran banget gimana bentuk sirkular dari Arabische Kamp. ato gimana si bentuk rumah-rumah yang berderet-deret di tepi sungai khas belanda, di Indonesia.. pasti keren banget.. rasanya nyaman aja kalo begitu baca deskripsinya kita bisa langsung liat image nya.. hehehe apalagi setelah sekian lama berkuliah di arsitektur, rasanya pola pikir semakin bergerak ke arah visual.. lebih bagus lagi kalo ada streaming YouTube nya.. hehehe
tapi secara umum keren lah mas, aku appreciate banget kalo ada orang bisa-dengan-murah-hatinya menshare pengalamannya di media tulis.. di media cetak ato pun di internet... menurut aku itu mulia banget.. bisa buka wawasan orang di tempat lain.. ga terbatas benua.. insyaAllah jadi amal jariyah yang mengaliir teruuus ampe ke lauuuuuut...
speaking about heritage, aku juga pernah dateng ke seminarnya Thomas Karsten di pendopo gede balaikota solo. anaknya Karsten juga dateng ke Solo.. ikut ngasi kata sambutan.. pada awalnya aku ga menganggap penting itu yang namanya bangunan heritage.. menurut aku kalo tu bangunan itu dah jelek, lama, old, ga sesuai sama tuntutan masa kini lagi ya udah diganti aja.. lagian tanah juga berharga dan semakin sempit.. cerita lagi deh ni, beberapa bulan yang lalu, aku sempet ikut TKI MAI ke jakarta.. trus ada studeksnya ke Kota lama jakarta.. nah disitu aku berkesempatan buat masuk ke salah satu rumah di Kota.. dinding rumahnya mepet sama trotoar, gsb 0. kaya bangunan-bangunan di eropa gitu.. tapi sayangnya tu rumah da ga ada yang make lagi.. palingan sekali disewa buat syuting video klip, karena bentuk facade dalem nya terkesan antik banget.. selebihnya kaga difungsikan, cuma ada orang yang nungguin. disamping bangunan heritage yang masih berfungsi seperti stasiun BEOS ato yang di fungsikan kembali seperti museum Bank Mandiri, disinyalir banyak bangunan-bangunan tua yang terlantar di jakarta kota. tapi aku juga ga punya datanya yang akurat..
menurut aku itu juga ada pengaruh dari pemerintah kota yang ngeluarin perutan buat mengkonservasi daerah itu.. jadi owner ga bisa sembarangan ngebangun bangunan di kota, meski itu tanah dan bangunan eksisting dah dia beli.. nah dilain sisi, bentuk bangunan yang sekarang dah ga sesuai lagi sama kebutuhannya dia sekarang.. nah jadi serba salah kan.. nah terjadilah bangunan-bangunan tua di jakarta yang terlantar.. lapuk dimakan usia.. karena emang kaga diurus sama yang punya.. mungkin emang sengaja didiemin aja biar rusak.. ntar kalo dah rusak tinggal di robohin aja sekalian.. bikin yang baru sesuai dengan pengennya yang punya.. (kalo ga salah wacana tentang owner yang nakal kaya gini pernah mengemuka di mailing list forum AMI, tempat nya kalo ga salah di Semarang). yang enak ya mestinya, pemkot ngebeli tu semua rumah dan bangunan heritage.. dan pengelolaan nya diserahkan ke badan konservasi ato semacanmnya.. ato sekarang udah ya?
balik lagi, awalnya aku emang sempet nganggep remeh masalah konservasi dan heritage ini.. sempet berdebat panas (wuih..) sama sekar.. jalan tengah nya ngutip dari blognya sekar:
"Mengutip kata-kata Eko Budihardjo, kota tanpa bayang masa lalu adalah kota yang gila."
"Menurut hematku, bicarain heritage emang jangan sampe pake hitung-hitungan aritmatika apalagi ngadepin logika seratus persen.
Ini soal feel, soal romantisme."
kalo gitu ceritanya mah, aku setudjoe...
@Ariz:
First of it all, thanks buat komen panjang lebarnya.
Kenapa miskin gambar?
Saya nulis blog, bukan bikin buku atau karya tulis. So, bakal sedikit susah buat terlalu bermurah ilustrasi. Apalagi dalam konsep blog saya ini bakal cuman ada satu foto per-post, sisanya adalah link. Beberapa foto yang bisa membangun ilustrasi udah saya kasih link fotonya, tetapi memang ngga bisa mencakup semuanya. Saya percaya pada imajinasi pembaca.
Salah satu prinsip blogging adalah supaya halaman cepat di upload dan bisa dinikmati. Selain itu, since ini gratisan, layoutnya ngga bisa dimodifikasi sedemikian rupa. So, kebijakan pake minimum images saya pikir cukup beralasan. Lagipula, orang buka blog artinya sedang connect ke dunia online. Untuk mengembangkan referensi bisa browsing sendiri kan?
Kalo berprinsip Arsitektur itu polanya visual, itu kudu dikoreksi. Arsitek harus punya pola meruang. Explore the space.
Soal esensialnya konservasi, paragraf penutup bisa menjadi konklusi. However, saya masih tetep berpendapat kalo konservasi itu harus menyeluruh supaya tidak bergeser konteksnya. Kalo cuman bangunan per bangunan, percuma aja. Mending bangun baru lagi pake langgam lama. Hehehe...
Man,
Pertama liat (dan baca tentunya) postingan loe yang satu ini, kok gw ngerasa langsung connect sama Bumi Manusia (dan seri selanjutnya) dari tetraloginya Pramoedia yach? Imajinasi gw langsung melayang ke kota Soerabaia sekitar abad 18-19, pas banget setting waktu dan lokasinya sama yang dialami Minke. Gw ngebayangin aja, kira2 dulu lokasi rumahnya Annelis di daerah mana ya? Heh..he..he.. biarpun gw tau, Bumi Manusia itu pure fiction, tapi Pram memasukkan unsur2 sejarah (waktu, lokasi, tokoh) yang semuanya akurat. Gitu aja deh comment gw.
p.s. Ngiri banget gw ama loe. Pengen juga sih, wisata sejarah kayak loe itu.
Sastrawan sekaliber Pram pasti doin' research untuk mengkalibrasi setting untuk ceritanya. Dan you know what, ngga susah kok menangkap nuansa masa lalu di kota lama Surabaya. Meski makin ke sini kayaknya bakal makin susah. Cuman pattern perkembangan kotanya masih ada dan bisa diamati meski (sayangnya) udah ngga berfungsi. Kapan-kapan napaktilas setting bersejarah Doel.
kapan2 napak tilas sejarah renaissance di Italy yuk Man...?
hehehe...
Ke Itali?! Hayuu...hehehehe.
soal selera lawas ada cinderamatanya nih.
ada kaos dan pin tentang Soerabaia Poenja Gaia. namanya SAWOONG. Klik aja di sawoong.multiply.com
Mas,,,aku minta tolong kasih info tentang KOta Lama Surabaya dong,,,
1.definisi kota lama,,,
2.daerah2 yg termasuk kota lama
3.apa kota lama sama dengan kota bawah (benedenstad)?
4. beda kota atas dan kota bawah
5.Dan tulisan atau buku yang memuat or menjawab ke4 hal di atas
coz aq lagi nulis skripsi tentang itu. terima kasih banget dah mau bantuin.
my_own_starz@yahoo.com
@Nita:
01. Definisi Kota Lama?
Simpel-nya, kota lama tuh kota yang dibangun pada masa yang sudah lama (relatif), atau kota yang menyimpan informasi dari kehidupan manusianya di masa lampau, yang relatif berbeda dari masa sekarang.
02. Daerah yang termasuk kota lama?
Itu bukannya sama dengan pertanyaan nomer satu yak? Khusus di Surabaya, yang masuk dalam cakupak kota lama adalah kota-kota yang bisa memberi informasi tentang perkembangan kota Surabaya dari masa ke masa. Sekarang ini bisa dibilang era arsitektur modern (dan tata kota modern). Jadi daerah yang masih memiliki identitas kawasan berbeda dengan mainstream-nya (ars modern), bisa dibilang merupakan daerah yang kasuistis dan khusus. Jika memuat informasi dari masa lalu, maka itu bisa disebut kota lama.
03. Kota lama = Benedenstad/Kota Bawah?
Kota Bawah adalah salah satu dari area Kota Lama di Surabaya. Kota Bawah mewakili satu periode khusus, yaitu di masa awal-awal kolonial.
04. Kota Bawah dan Kota Atas
Kota Bawah mencakup "kota" yang dibangun pemerintah kolonial di masa awal. Masih berupa semi benteng. Sementara Kota Atas adalah pengembangan dari Kota Bawah, di mana sudah relatif berbentuk kota yang mengikuti alur Kali Mas.
05. Salah satunya bisa dibaca di buku "Kota Lama, Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia" terbitan Mata Air Inspirasi dan Jurusan Sejarah Unair. Masih ada di toko-toko buku. Bisa baca juga buku tentang Surabaya Temp Doeloe yang juga banyak di toko buku. Kalo pengen extend, bisa nongkrong di perpustakaan-perpustakaan daerah dan data-data dari instansi pemerintah, PLUS survei langsung.
btw, koleksi fotonya sambil cek suara surabaya aja.
mampir sahadja oentoek tambah collectie.
Posting Komentar