Bricks in the Wall, Kontemplasi Kurikulum dalam Pendidikan


Dulu saya juga pernah membuat satu bulletin yang diedarkan di kampus (bayar ganti ongkos fotokopi 500 rupiah) soal edukasi. Saat itu ada kenalan saya dari Malang yang menyumbang tulisan. Salah satunya bagaimana membedakan secara "dekonstruktif" mengenai metode sinau dari kata "murid", "siswa" dan "santri".

Kemudian, ada pula bahasan tentang Paulo Freire dan filsafat seputar pendidikan lainnya. Saya juga ingat sempat banyakberdiskusi dengan teman kuliah saya terkait topik ini. Postingan ini adalah nostalgia untuk mengangkat lagi diskursus tentang salah satu anak modernitas tersebut.

"We don't need no education." - Roger Waters

Ada satu quote yang beredar di situs "cult" yang kini telah wafat: KISS of Panopticon. Salah satu motto di komunitas itu adalah: "You were born intelligence, don't let education ruin it."

Di satu sisi, pendidikan memang bisa mengekang atau memberikan batasan-batasan sejauh mana yang harus kita pelajari. Bagi pembaca komik Kung-Fu Boy tentu ingat di salah satu episode awal, guru Chin Mi di Kuil Dairin mengumpamakan dua ekor belalang. Satu belalang hidup di kotak kecil selama seminggu, satunya lagi ditangkap dari alam bebas.

Ketika dua-duanya dilepas bersamaan, belalang yang hidup di kotak kecil hanya bisa loncat-loncat pendek. Sementara belalang dari alam bebas bisa loncat jauh. Ternyata si belalang yang hidup di kotak tersebut telah "membuat definisinya" sendiri tentang sejauh mana dia harus loncat (akibat selalu terbentur kotak pada masa "pengurungannya"). Ini adalah analogi yang sangat bagus tentang pendidikan.

Optimisme Kurikulum

Pendidikan, bagaimanapun juga, bisa berarti membantu sebuah proses "pencerahan" secara massal. Tanpa pendidikan, mungkin, akan lebih susah untuk meletakkan fondasi-fondasi pengetahuan secara adil dan merata bagi banyak orang. Oleh karena itu, lahirlah apa yang bernama kurikulum. Supaya dari yang paling kaya sampai yang paling miskin berhak mendapatkan porsi ilmu dan pengetahuan yang sama dari institusi pendidikan.

Saya tidak akan menafikan manfaat yang saya peroleh dari pendidikan. Fondasi saya bisa menghitung (38 x 45 = 1710) adalah dari sebuah kurikulum tentang perkalian yang acap dipraktekkan dengan hafalan (mencongak dan sebagainya). Awal dari saya tahu 9 x 9 = 81 adalah dari hapalan, sebelum saya bisa menalar apa yang disebut dengan perkalian tersebut.

Sama dengan bacaan salat dan berbagai doa yang juga harus dihapal agar orang bisa lebih mudah menalar. Salat itu sendiri sebetulnya merupakan contoh nyata dari "kurikulum" yang ditetapkan Nabi Muhammad. Semua orang wajib untuk melaksanakan sholat dengan bacaan-bacaannya, tanpa memandang bulu. Menghapal dulu pada tingkat dasar, sampai nantinya adalah menikmati pengalaman rohani yang membawa seseorang dekat dengan Sang Khalik.

Begitu juga cara pandang saya dalam menyikapi institusi pendidikan. Pendidikan dan sistemnya adalah sarana. Kita menerima paket ilmu sebagai fondasi. Kebenaran dan pengembangannya berpulang pada kita sendiri. Hal ini saya ambil sebagai konsep dari sculpture di depan kampus Jurusan Arsitektur, Universitas Sebelas Maret, yang saya rancang bersama kolega saya, Dodi Wahyudi.

Setiap individu bebas untuk mengembangkan dirinya keluar dari batasan-batasan (simbolnya adalah pipa yang keluar dari kotak) yang selama ini dianggap sebagai pola ideal (digambarkan dengan kotak indah berwarna merah).

Peran Pengajar

Akan tetapi, akan lebih baik juga apabila dari kalangan pengajar (atau praktisi pendidikan) bisa menerapkan apa yang dilakukan John Keating dalam film "Dead Poet Society". Pendidikan (termasuk kurikulum di dalamnya), selain sebuah sistem paket. Improvisasi dan kontektualitas butuh dikembagkan sebagai sesuatu yang sangat dinamis.

Mengajar si A dan si B akan berbeda metode-nya, meski materi yang diajarkan sama. Di sinilah pangkal munculnya beberapa sekolah alternatif yang menawarkan personalisasi. Sesuai denga preferensi orang tua atau murid yang ingin belajar di situ. Juga, dorongan untuk meletakkan pemikiran bahwa apa yang dipelajari oleh si murid itu hanyalah sebuah dasar. Pengembangannya harus kita temukan sendiri di alam luar.

Pemerintah, melalui Kementerian Penidikan dengan kurikulumnya, melihat cara untuk membangun fondasi bangsa melalui satu paket yang dianggap bisa dipelajari oleh umumnya bangsa Indonesia. Mereka melihat secara umum, dari sampel-sampel statistik (misalnya: berapa persen anak 7 tahun yang sudah bisa membaca). Implementasinya berpulang pada golongan yang acap disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Profesi yang menyandang beban titel mahaberat lantaran disarikan dari orang yang menyandang kebajikan ilahiah untuk memberikan pencerahan kepada manusia: guru.

Iqra

Pendidikan (sebagai sebuah sistem) adalah hak. Sementara, menjadi pintar, berilmu dan berpengetahuan adalah wajib (fardlu ain).

Sampai sejauh mana kita belajar?

Tuhan menegaskan (dan mewajibkan) untuk menyerap sebanyak-banyaknya ilmu dan pengetahuan dengan "membaca" (iqra) apapun yang ada di alam semesta. Alam semesta tak berbatas, artinya pengetahuan yang disediakan Tuhan juga nirbatas.

Dan ada lagi satu mediator antara dua premis tersebut di atas adalah yang dikatakan Nabi sebagai "...sampaikanlah ilmu walau hanya sebagian (se-ayat)". Artinya, ada kewajiban pula bagi kita untuk turut membantu orang lain pintar, berilmu dan berpengetahuan. Jadi, selain belajar, kita juga dituntut untuk bisa mengajar, apapun metodenya.

Satu quote tepat untuk menutup posting ini:

Those who can, do!
Those who can't, teach!



Related

Kala Antagonis Hampir Menyusul

Episode akhir pemilihan presiden (pilpres) ini mengingatkan saya kepada dua hal. Film Megamind dan Wreck It Ralph. Pada film Megamind, dikisahkan villain alias penjahat yang berusaha mendapatkan k...

Perpanjang Paspor di Jakarta Barat

Lain ladang lain belalang. Itu terjadi di Pengadilan ketika kita mengurus surat tilang. Tapi kita tak bisa memilih lokasi pengurusan karena Pengadilan mengikat dengan TKP. So, ketika harus mengur...

Sidang Tilang Pengadilan Jakarta Barat

Sejak mengurus wisuda, saya merasa segala macam birokrasi adalah gamifikasi menarik. Kita diberi bermacam list untuk dilengkapi, lalu menempuh prosedur satu demi satu. So, sejak saat itu juga say...

Posting Lama Joking No More
Posting Lebih Baru Bali Through My "Eyes"

Posting Komentar Default Comments

6 komentar

Daeng Ipul mengatakan...

nah, masalahnya..di Indonesia sistem pendidikannya nggak bagus (atau mungkin belum bagus)di mana gw ngerasain-sekarang ini kalau saya sedari dulu sering diajarkan sesuatu sambil diberi batasan..

seolah-olah apa yang diajarkan oleh guru adalah hal mutlak dan tidak ada padanannya di luar sana...akhirnya, pola pikir jadi seragam.

mungkin ini kembali ke person (gurunya) ya..?, karena buktinya banyak juga guru di Indonesia yang justru membebaskan muridnya untuk mencari sendiri pengembangan dari ilmu yang sudah dia perkenalkan..

pemerintah kita sendiri juga kadang kurang mendukung untuk hal2 seperti ini, apalagi pameo "guru tak pernah salah" masih banyak yang megang..

di komunitas kami (Panyungkul) pameo yang kami kembangkan adalah : semua tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru...:)

Daeng Ipul mengatakan...

kebetulan sekali, kami baru saja mendiskusikan sebuah topik yang related ama postingan Hilman..

ada di sini :
http://panyingkul.ning.com/group/sekolahkampung/forum/topic/show?id=1973083%3ATopic%3A18741

Helman Taofani mengatakan...

Wah ngga bisa dibuka bang Ipul. Kudu sign in dulu...

Anonim mengatakan...

Wah...ketika baca tulisan ini I almost cry. Ternyata I really missed this kind of discussion. Sedih krn justru saya yg kerja di lembaga pendidikan, dan menyandang gelar mahaberat..guru, ternyata gak ada teman utk mendiskusikan hal2 filosofis spt ini. Kita, khususnya di tempat saya ngajar, hanya disibukkan pd hal2 rutinitas ngajar dan administrasi. Pengembangan diri sangat sedikit waktunya. Bahkan nyaris tdk ada. Jgnkan utk hal seprti ini (filosofi pendidikan)utk pengembangan bidang kita masing2 saja waktunya nyaris tdk ada. Bisa dibayangkan kalo apa yg terjadi di kantor saya terjadi di semua Uni di Indonesia? kpn kita maju?

Helman Taofani mengatakan...

Mas Anonim, sayang Anda ngga ninggalin trace yak (link atau email). Padahal bisa banget tuh follow up buat diskusi. However, thanks komentarnya yak.

Daeng Ipul mengatakan...

gak bisa kebuka ya..?, hehehe..sori..ntar gw kirimin intisari diskusinya..lumayan lah buat tambah2 referensi..

@Anonim :
anda sepertinya seorang guru yang idealis..mungkin tipe2 guru seperti andalah yang dibutuhkan oleh negeri kita..guru2 yang gak cuman sekedar ngajar...

Hot in WeekRecentComments

Recent

Konser Green Day, Redemsi yang Mengisi Memori

Konser Green Day di Jakarta, Sabtu (15/2) lalu membuka banyak catatan bagi diri saya. Hajatan tersebut menjadi redemsi bagi saya atas ikhtiar yang tertunda setengah dekade.Sekitaran hari ini, lima tah...

Konser Pearl Jam Nite XII, Energi dari Kolektivitas Penampilan

Lama tak dihelat, Pearl Jam Nite XII meluncur di Bandung. Event bertajuk Alive at The Star ini diadakan di (sesuai namanya) The Star, yang menyatu dengan Avery Hotel Bandung pada hari Sabtu, 9 Novembe...

Narasi Reaktif untuk Album Pearl Jam, Dark Matter

Terpaut 4 tahun dari album terakhirnya, Pearl Jam kembali dengan meluncurkan Dark Matter yang dirilis tengah malam WIB tadi (19 April 2024).Album sebelumnya, Gigaton (2020) memegang rekor sebagai albu...

Suar Industri Sinema dalam Film Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

Menonton "Jatuh Cinta Seperti di Film-Film" mengingatkan lagi memori sekitar awal 2000-an, mengenai jalur apa yang mesti diambil sinema Indonesia agar bisa bersaing dan punya unique selling point?Pada...

Kedekatan Dune dan Konteks Dunia Nyata

Sebagai penonton yang lumayan paham dengan sejarah Islam dan sedikit dunia Arab, film Dune jadi bisa dinikmati lebih dalam.Ada yang belum menonton Dune? Saat ini seri keduanya tengah mengisi gedung pe...

Comments

Anonymous:

Katanya menjadi ustadz,ini kok pendeta?

Faizal jam:

selalu renyah membaca tulisan helman ini, bahasa luwes & ringan, sehingga ga bosen membacanya. cuma masukan aja, ada tradisi dari PJ nite 1 hingga ke-12, yaitu koor bareng antara vocalist & au...

papa4d:

Thanks on your marvelous posting! I seriously enjoyed reading it, you may be a great author

Anonymous:

"It seems silly, like, 'We cannot have real roulette however we will to} have this,' " Lockwood says. "But it is certified everywhere in the the} country as a slot machine, not ...

Anonymous:

In Germany and lots of|and lots of} other countries, the earnings from lotteries and betting swimming pools are used to subsidize newbie sports. Major League Soccer the highest soccer league within th...

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item