Konsistensi Dua Dekade
24 Maret lalu, Pearl Jam merilis ulang album perdana mereka, Ten, sebagai bagian dari perayaan dua dekade karir mereka di dunia musik yang a...
https://www.helmantaofani.com/2009/04/konsistensi-dua-dekade.html
24 Maret lalu, Pearl Jam merilis ulang album perdana mereka, Ten, sebagai bagian dari perayaan dua dekade karir mereka di dunia musik yang akan jatuh pada 2010 nanti.
Tonggak sejarah Pearl Jam dimulai pada 22 Oktober 1990, dengan penampilan perdana mereka pada sebuah konser di Off Ramp, Seattle. Selang setahun kemudian, album pertama yang diberi titel Ten, dirilis dan segera mendapatkan sambutan positif dari pasar mengingat pada saat itu adalah “hey-day” Seattle Sound yang meledak di awal dekade 90-an. Bersama dengan Nirvana, Soundgarden dan Alice in Chains, Pearl Jam membentuk hegemoni Big Four sebagai implementasi dominasi musisi asal barat daya Amerika di kancah musik global.
Selang sepuluh tahun kemudian, Big Four tinggal kenangan, dengan rontoknya Soundgarden dan Nirvana, serta vakumnya Alice in Chains. Itu diperparah dengan meninggalnya Layne Staley, vokalis dan ikon Alice in Chains pada 2002. Tinggal Pearl Jam yang masih tegak menjalani karir musik mereka, terus membentang sampai jelang dua dekade dari ingar bingar gemerlap dunia grunge.
Kelanggengan Pearl Jam layak diacungi jempol. Lantaran, secara umum, memang susah mempertahankan eksistensi sebuah band selama dua dekade. Apalagi ketika terbukti scene yang membesarkan nama mereka seolah telah lenyap ditelan jaman, bersama dengan kolega-kolega mereka. Dalam perspektif yang lebih lebar, bahkan rival-rival Pearl Jam di awal karir yang turut meramaikan alternative scene di awal 90-an juga sudah (pernah) gulung tikar. Sebut saja Smashing Pumpkins, Stone Temple Pilots atau Candlebox.
Kecintaan Terhadap Musik
Sementara band-band lain terus bongkar pasang personil, atau kadang hiatus berkepanjangan, selama hampir dua dekade ini Pearl Jam menjaga produktivitas mereka dengan puluhan album dan aktivitas-aktivitas lainnya. Tercatat, delapan studio album, dan ratusan album konser dirilis sampai tahun 2009 ini. Mereka bahkan hendak menginjak angka sembilan, bila akhir tahun ini jadi merilis album baru.
Kecintaan mereka terhadap musik mungkin salah satu faktor utama yang menjadikan mereka masih beredar di ranah hiburan internasional. Mereka masih menggunakan metode-metode yang sama dalam mencipta lagu, sejak album Ten (1991) sampai Pearl Jam (2006). Masing-masing anggota band menciptakan materi lagu, yang kemudian akan digodok bersama dalam sebuah sesi studio. Eddie Vedder, vokalis Pearl Jam, masih menjadi penyumbang lirik yang dominan. Sementara Stone Gossard dan Mike McCready, duo gitaris mereka, juga masih menjadi corong utama layer musik yang dihasilkan Pearl Jam, guna selalu setia di ranah rock. Jeff Ament, pembetot bass, tak pernah absen menyumbang lagu di setiap album.
Keempat orang, yang merupakan pendiri Pearl Jam ini, masih tetap menjadi pusat revolusi di tubuh band ini. Ditambah kehadiran para penabuh drum yang turut menentukan karakter dan warna musik mereka di tiap album. Mulai dari Dave Abruzzesse, Jack Irons dan Matt Cameron, semua berkontribusi membentuk arahan kreativitas musik Pearl Jam.
Kuatnya Basis Penggemar
Meski situasi industri tengah berubah saat ini, Pearl Jam masih konstan menggunakan cara-cara “old school” untuk mendukung karir bermusik. Mereka masih tur secara ekstensif di hampir tiap tahun guna mempromosikan lagu-lagu mereka, sekaligus merekatkan interaksi mereka dengan penggemar. Sebuah cara yang efektif, lantaran hal itu kini membentuk lapisan penggemar yang sangat solid, disebut dengan Jamily.
Yang membuat Jamily antusias mengikuti Pearl Jam, salah satunya adalah fakta bahwa Vedder cs tidak pernah membawakan setlist konser yang serupa satu sama lainnya. Tiap lagu yang pernah mereka rilis berpeluang dibawakan di tiap konser. Itu juga berkaitan dengan kebijakan band untuk tidak menganakemaskan lagu dalam kategorisasi hits. Semua lagu punya kedudukan serupa.
Selain itu, mereka juga me-maintain basis penggemar mereka dengan servis-servis yang terbilang vintage. Seperti pada zaman fanzine dahulu kala, majalah untuk penggemar berjudul “Deep” masih beredar tahunan. Kemudian Holiday Single yang dikeluarkan tiap tahun untuk anggota fansclub, disamping kemudahan dan prioritas mendapatkan tiket yang menjadi privilese mereka. Hal seperti ini membuat keterikatan penggemar dan band menjadi sangat lekat, sehingga mereka (fans) menjadi pasar yang tetap bagi Pearl Jam.
Filosofi DIY (do it yourself) memiliki andil sangat besar dalam menjaga eksistensi Pearl Jam. Mereka menentukan arah kebijakan manajemen secara langsung. Praktis setelah tiga album pertama meledak secara komersial, band merasa bebas untuk menentukan arah musikal mereka, lantaran menganggap utang kepada label telah lunas. Meski dengan konsekuensi menurunnya jumlah fans mainstream (alias bandwagon fans), namun hal itu justru menyelamatkan mereka dari kehancuran seperti para kolega dan rival mereka yang seolah selalu ditekan kebutuhan untuk “jualan” dan grab fans baru.
Do the Evolution
Semenjak album keempat, No Code, dirilis pada 1996, Pearl Jam mengambil langkah drastis secara musikal, untuk mencari karakter musik yang bakal pas ditekuni dalam jangka waktu lama. Mereka sadar bahwa begitu scene alternatif usai, tema dan konsep musik yang mereka ambil di tiga album pertama bisa menjadi tidak relevan lagi. Konsekuensinya, seperti ditulis di atas, adalah menurunnya secara signifikan jumlah penggemar mereka, lantaran beberapa senantiasa menghendaki Pearl Jam membuat album Ten jilid kedua.
Namun, situasi semacam itu dianggap Pearl Jam sebagai sarana menyaring penggemar sejati mereka, sekaligus memberikan ruang gerak lebih bagi band untuk berkreasi. Mereka tidak terpaku untuk me-maintain semua keinginan penggemarnya, terutama para bandwagon fans. Hal itu diungkapkan Eddie Vedder dalam lirik lagu “Not For You” (album Vitalogy): “Small my table, seats just two. Not so crowded, I can make room”.
Keputusan mereka untuk tidak membuat album Ten jilid dua juga menyelamatkan dari stagnansi karya musikal, yang justru sangat membantu secara psikologis bagi iklim internal band. Para personil Pearl Jam selalu tertantang untuk menumpahkan kreativitas mereka tanpa dibatasi tuntutan atau standar batasan konsep musical.Tak heran bila lagu-lagu seperti Who You Are (No Code), Do the Evolution (Yield) atau Parachutes (Pearl Jam) lantas muncul dalam konsep musik yang sama sekali berbeda dengan karakteristik di album Ten.
Side Projects, Wadah Penyaluran Ego
Namun, semua lagu Pearl Jam tetap masih memiliki koridor ketat sebagai fondasi musik mereka, yakni akar rock yang kental. Di luar itu, anggota Pearl Jam dibebaskan untuk menumpahkan kreativitas mereka di luar itu dalam aneka side projects. Setiap member Pearl Jam adalah musisi yang produktif menelurkan album side projects. Stone Gossard misalnya, telah menghasilkan beberapa album bersama grup sampingannya, Brad dan Bayleaf, disamping mengurusi label LooseGroove-nya. Mike McCready bisa menuntaskan obesisnya terhadap blues/glam rock bersama Mad Season, Rockfords dan Shadow. Jeff Ament membentuk trio soul/world music bernama Three Fish di dekade 90-an, dan 2008 lalu merilis album solo yang bernafas funk. Matt Cameron, sebelumnya adalah drummer Soundgarden, juga merupakan musisi produktif dengan puluhan side projects-nya yang beraliran jazz, folk, rock, dan sebagainya. Eddie Vedder sendiri, 2007 silam juga merilis album solo perdananya yang beraliran folk rock untuk soundtrack film Into the Wild.
Banyaknya wadah untuk mencurahkan kreativitas bagi member Pearl Jam berarti meminimalisasi potensi konflik internal melibatkan ego masing-masing. Dengan dibukanya keran proyek sampingan, justru makin membuat para anggotanya sadar, bahwa Pearl Jam adalah rumah utama mereka. Itu adalah salah satu landasan utama kenapa Pearl Jam masih tegak berdiri jelang dua dekade karir mereka, sementara di luar, rekan, kolega dan rival mereka rontok satu per satu.
Usia dua dekade memang bukan usia yang pendek untuk sebuah grup musik. Apalagi jika mereka konstan mengisi era itu dengan berbagai macam karya untuk mempertahankan eksistensi. Pearl Jam telah membuktikan, bahwa bermusik tidak harus tunduk pada batasan-batasan yang justru akan menghambat penyaluran kreativitas mereka. Pasar bukan sesuatu yang harus ditundukkan dengan segala cara. Justru tantangannya adalah, menciptakan sebuah pasar bagi musik yang mereka ciptakan. Untuk itu, Pearl Jam telah memiliki Jamily sebagai pasar tetap. Mereka bisa fokus menghasilkan karya.
Dan sukses komersial di luar itu hanyalah bonus.
Posting Komentar