Replika Ekosistem - Sydney Travelogue Pt. 11
Satu hal yang sebetulnya saya selalu protes dalam hati ketika membaca travelog orang adalah ketika mereka membandingkan kondisi negara yan...
https://www.helmantaofani.com/2010/03/replika-ekosistem-sydney-travelogue-pt.html
Satu hal yang sebetulnya saya selalu protes dalam hati ketika membaca travelog orang adalah ketika mereka membandingkan kondisi negara yang sedang dikunjungi dengan Indonesia. Tapi ternyata, hal itu inevitable, alias tak bisa dihindari. Sebab, kita tengah berada di kultur dan lingkungan yang berbeda, dan tentu efek yang pertama muncul adalah komparasi.
Ketika pertama datang ke Royal Botany Garden (lihat notes nomer 3), misalnya, saya terkejut dengan banyaknya burung-burung dalam banyak spesies (yang ukurannya lumayan besar) berkeliaran bebas tanpa rasa takut ke manusia. Itu adalah perilaku natural yang menunjukkan bahwa taman kota itu betul-betul menjadi ekosistem bagi sejumlah kehidupan baru, yang mungkin (dulunya) digusur untuk keperluan pengembangan kota di babak insial Sydney. Burung-burung di taman tak menganggap manusia sebagai ancaman mereka, jadi merasa bebas untuk berkeliaran di sekitar pengunjung taman.
Bukti kedua adalah dengan kontur Sydney sebagai kota pelabuhan yang terhubung dengan jejalur air, kehadiran burung-burung air lain di sepanjang waterfront juga menunjukkan blend ekosistem perairan yang masuk ke perkotaan. Di Darling Harbour, plasa yang menyatukan kawasan tersebut juga menyatukan spesies homo sapiens dan puluhan jenis camar, pelikan, sejenis kuntul dan sebagainya. Pelikan adalah salah satu burung air yang terbesar, dan rasanya bisa menghebohkan bila burung semacam itu tiba-tiba muncul di Sunda Kelapa misalnya.
Itulah yang terbandingkan dengan kondisi di negara kita. Taman kota yang tak seberapa lebar di kota-kota besar Indonesia tentunya akan sulit menggantikan ekosistem bagi beberapa spesies untuk beradaptasi. Pembangunan di negara kita masih menjadikan manusia sebagai orientasi tunggal, sebagai dalih dari status negara berkembang. Indeks lingkungan hidup masih jauh panggang dari api.
Australia, sebaliknya, rasanya sudah matang mengelola ekosistem mereka. Hebatnya, rata-rata pengelolanya justru merupakan keturunan pendatang yang belum genap 4 abad menghuni benua itu, dan beberapa berspekulasi ada sekitar 20% wilayah yang masih belum terjamah manusia. Bila kita bicara marsupial besar, bukti sahihnya adalah angka kepunahan di benua tersebut tidak tersentuh lagi usai Harimau Tasmania menghilang jelang Perang Dunia II. Kekayaan spesies burung masih lestari, dengan banyak di antaranya masih bebas berkeliaran di sepanjang kota, terutama dimanjakan oleh royalnya mereka mengumbar lahan untuk taman kota. Taman-taman nasional mudah sekali dijumpai di sekitaran kota besar seperti Sydney, yang dalam perjalanan saya ke Port Stephens di antaranya melewati salah satunya.
Lalu kekayaan lain ada di laut. Australia, seperti yang saya catat di bagian 10, adalah potensi yang mereka manfaatkan betul. Entah sebagai bahan pangan ataupun sebagai destinasi wisata. Kebetulan, destinasi lanjutan kami pasca bermain pasir adalah menuju ke Nelson Bay, tempat kita akan melihat lumba-lumba di alam liar di perairan Port Stephens.
Port Stephens adalah perairan tenang yang mendapat asupan air dari Samudra Pasifik, yang terkunci oleh sebuah celah alami. Bagian besar dari perairan ini berstatus taman marina, sebagai objek wisata air, dan wilayah lain masih alami sebagai zona laut yang dihuni oleh beberapa spesies fantastis, termasuk pemandangan mamalia laut, paus dan lumba-lumba.
Kami berangkat dari D'Albora Marina, sebuah dok kapal wisata yang menjadi bagian Nelson Bay. Di dek tersebut, banyak sekali kapal-kapal motor kecil yang disewakan untuk tur mengelilingi Port Stephens. Ajaibnya, bila kita tengok air laut di dek ini, warnanya masih hijau ganggang, tak tercemar oleh banyak tumpahan oli, apalagi sampah. Ikan-ikan kecil di sekitaran dek masih terlihat jelas oleh kami di sepanjang perjalanan menuju ke ujung dek guna menaiki kapal yang lebih besar, Moonshadow. Pelayaran wisata untuk melihat lumba-lumba di dekat gerbang masuk Port Stephens.
Jelas bahwa potensi ini digarap dengan baik, karena acara melihat lumba-lumba ini telah disiapkan dalam sebuah paket itinerari lengkap dengan jamuan makan siang beserta fitur berenang di laut bebas menggunakan jaring. Ternyata hal itu memang berguna apabila lumba-lumba tak muncul atau frekuensi kemunculannya dibawah ekspektasi. Padahal kapal sudah dilengkapi dengan pemancar gelombang yang mampu berkomunikasi dengan mamalia laut tersebut untuk mendekat ke kapal. Sepanjang pelayaran, kami hanya berjumpa dengan sepasang lumba-lumba. Bagi yang sangat berharap, mungkin agak mengecewakan, namun saya pikir itu adalah hal yang wajar karena yang kita kunjungi adalah habitat asli, bukan penangkaran. Kita tak bisa mengatur binatang liar di habitat asli mereka. Setidaknya, slogan yang terpampang di brosur wisata Moonshadow, dengan klaim 99% successful sightings bisa dibuktikan.
Usai berkeliling sejenak di seputaran Port Stephens (sambil dipandu oleh narator yang suaranya kabur oleh angin) kami kembali ke D'Albora. Selain dek, di bibir pantai juga terdapat ruang publik dengan fasilitas bermain bagi anak-anak dan juga sejengkal taman. Hebatnya, meski hanya sejengkal, teori saya mengenai ekosistem replika ini masih bisa dibuktikan. Pohon yang beberapa gelintir eksis dipadati oleh ratusan burung betet (parrot) berwarna putih, yang mirip dengan kakatua putih langka di negara kita. Burung eksotis ini tak segan untuk turun berombongan di sekitar manusia yang lalu lalang di sepanjang bibir pantai. Saya pikir, bila di negara kita mungkin sudah habis ditangkap dan dijual sebagai burung peliharaan.
Aturan di Australia tentu lebih ketat dan tak macam-macam dengan keberlangsungan hidup flora dan fauna mereka. Bahkan mereka mengeluarkan aturan tegas untuk melindungi moluska laut yang bernama Pipi (seperti yang saya tulis di catatan sebelumnya). Pipi bukanlah makhluk eksotis, dan dulunya sering ditangkap oleh nelayan lokal untuk dipakai sebagai umpan memancing. Itu berubah ketika orang Italia menemukan bahwa Pipi sangat lezat dimakan, dan akhirnya menaikkan demand untuk si moluska. Hasilnya, Pipi mulai melangka, dan pemerintah Australia tak ambil langkah lama untuk melarang perburuan Pipi ini. Regulasi tersebut mulai menuai hasil sekarang, ketika wisata di Anna Bay (termasuk Birubi) di antaranya adalah melihat dan menangkap Pipi (untuk dilepaskan lagi), menyusul populasi mereka yang mulai aman.
Saya betul-betul kagum! Tentunya dengan kesungguhan pengelola negara Australia untuk memberikan kompensasi ekosistem bagi kehidupan liar yang terlebih dahulu eksis di benua Kanguru. Saya pikir, hal semacam ini patut dicontoh oleh negara kita, karena terbukti bahwa koeksistensi semacam ini sangat berguna bagi manusia juga. Alangkah semaraknya suasana yang ditingkahi oleh celoteh camar (yang bukan hanya judul lagu Iwan Fals), polah murai dan canda betet. Lumba-lumba yang liar juga terbukti mampu menafkahi ribuan orang di Nelson Bay. Dan kita belum bicara mengenai koala dan sejenisnya.
Itulah pelajaran penting yang saya dapat dari kunjungan ke Port Stephens, 160 kilometer ke utara Sydney. Bis menunggu, dan saya sudah ditunggu dengan jadwal makan malam yang sudah dipesan di bagian "asing" dari Sydney. Mungkin ini saat yang tepat juga untuk bercerita mengenai "berwarna"-nya Sydney, dan mungkin cerminan dari Australia sendiri.
Posting Komentar