Fauna Australis - Sydney Travelogue Pt. 14

Perjalanan ke barat di hari ketiga adalah untuk menuju ke Blue Mountains. Menapaktilasi rute yang ditembus oleh trio penjelajah: Blaxland,...



Perjalanan ke barat di hari ketiga adalah untuk menuju ke Blue Mountains. Menapaktilasi rute yang ditembus oleh trio penjelajah: Blaxland, Wentworth dan Lawson.

Dari Sydney, ada banyak opsi untuk menuju ke sana. Salah satunya adalah melalui jalur kereta, di mana tersedia "kereta wisata" (dalam tanda kutip karena berfungsi normal juga sebagai transport rutin) yang melewati rel bersejarah, sebagai rel pertama yang menghubungkan kota ke dataran tinggi. Dari hotel kami, Mercure Sydney, yang terletak secara virtual di atas stasiun sentral, opsi itu sebetulnya menarik dan mudah. Tapi itu artinya kami bakal melewatkan beberapa objek yang bisa dilihat bila menempuh perjalanan darat melalui Great Western Highway. Akhirnya, opsi bus cukup lumayan, mengingat kami juga pratis belum terkendala dengan kemacetan.

Menggunakan jalur jalan raya artinya kami akan bergerak ke barat, menyusuri sungai Parramatta menuju Blue Mountains. Ini akan melewati daerah pinggir kota (Parramatta) dan juga sekilas kompleks Olimpiade Sydney (semacam kompleks Gelora Bung Karno) sebelum masuk ke jalan bebas hambatan (freeway) langsung ke kaki Blue Mountains (ke arah Penrith). Di jalan, kami rencana akan berbelok sebentar mengunjungi hewan-hewan eksotis khas Australia, di sebuah balai reservasi ex situ, Featherdale Wildlife Park.

Disebut reservasi (alih-alih konservasi atau "sanctuary") karena memang status binatang-binatang ikon Australia itu di alam liar relatif dalam zona aman. Dalam data IUCN, binatang-binatang seperti Koala, Wombat, Wallaby dan Emu masih dalam ranah LC, alias Least Concern. Ini adalah tingkatan terendah dalam alarm kuota spesies di alam liar. Bandingkan dengan badak Jawa yang masuk ke CR, atau Critically Endangered, tahapan paling kritis sebelum dinyatakan punah di alam liar. Jadi, Featherdale memang hanya berstatus pembibitan ex situ untuk cadangan bilamana terjadi hal yang tak diinginkan di alam liar.

Featherdale Wildlife Park adalah salah satu dari sekian banyak turisme fauna di Asutralia. Di Sydney sendiri, opsi sangat banyak, antara ke kebun binatang Taronga atau yang berada di pusat kota bernama Wildlife World yang baru dibangun di kawasan Darling Harbour. Tapi karena sejalur dengan rute (mudah diakses dari Great Western Highway), maka Featherdale menjadi pilihan. Hanya belok kanan sedikit, dan memasuki area rural, sampailah kita ke lokasi. Bila Anda membayangkan ini seperti Taman Safari atau kebun binatang besar, maka bersiaplah kecewa.

Featherdale Wildlife Park lebih mirip seperti peternakan, karena bentuknya kecil (mengingat binatang-binatang Australia juga tak ada yang gigantis layaknya fauna Asia atau Afrika). Di depan terdapat lahan parkir yang tak seberapa besar, dan bangunan yang mirip rumah tua berbentuk L. Di dalamnya ada areal sebesar kebun tempat menangkar beberapa satwa. Tak jauh dari pintu masuk adalah wombat, salah satu marsupial paling umum di Australia, yang pada masa koloni awal dagingnya menjadi santapan para pemukim. Ini adalah salah satu binatang yang saya ingin lihat, lantaran memang sepertinya saya belum pernah menyaksikan langsung sosok aslinya. Wombat adalah kerabat koala, namun bertumpu di empat kakinya, dan suka menggali tanah. Sehingga, sepintas sosoknya lebih mirip marmut abu-abu besar. Mereka binatang yang lumayan liar, jadi tak ada wombat yang dilepas untuk dielus atau diajak foto bersama.

Untuk urusan keren-kerenan, ada koala, wallaby dan kanguru yang banyak diburu turis. Binatang-binatang tersebut relatif tenang sehingga bisa dilepaskan begitu saja bersama emu - burung simbol negara Australia. Mungkin karena sudah biasa, malah mereka sering mendekati pengunjung untuk meminta makanan. Kecuali koala tentunya, yang sepanjang hari tak mau berkelit dari zona nyamannya di dahan eucalyptus. Ini adalah momen yang dicari pengunjung Featherdale untuk berfoto bersama. Saya dan Gina tidak banyak terjebak untuk bermanja ria bersama binatang-binatang lucu itu, karena Featherdale juga menyimpan banyak lagi koleksi binatang eksotis Australia.

Salah satu yang saya cari adalah serigala tasmania. Ada dua kandang di Featherdale, untuk menyimpan koleksi fauna yang tenar karena serial kartun Tazmanian Devil ini. Dari dua kandang, hanya seekor serigala tasmania yang terlihat. Bila Anda mengira mereka binatang menggemaskan penuh bulu seperti karakter Taz, maka bersiaplah kecewa. Ia lebih mirip tikus besar, dan sama sekali tidak memperlihatkan suatu karakteristik familia canidae, yang menaungi nama "serigala"-nya. Mereka adalah binatang pemalu, dan tampaknya tak bisa beradaptasi dengan manusia. Mungkin itu sebabnya mereka menjadi binatang yang mulai terancam bahaya kepunahan lantaran habitat aslinya yang kecil (di pulau Tasmania) mulai collide dengan permukiman. Yang jelas, saya sangat senang bisa melihat aslinya kini.



Spesies lain yang tanpa sengaja saya lihat adalah kookaburra, burung khas Australia. Kookaburra di Featherdale ternyata jinak, dan mereka berkeliaran bebas di area bersama wallaby dan emu. Ini juga kali pertama saya melihat kookaburra. Bahkan saya tidak tahu bila itu adalah burung kookaburra ketika mengambil fotonya. Selama ini hanya kenal reputasi, gambar sekilas dan kicauannya dari buku anak saya.



Beberapa hewan lain yang ditangkar masih seputar ikon fauna australis. Sebut saja buaya air asin, dingo (yang tak berhasil kita lihat), possum, kanguru merah yang besar, echidna (landak), pinguin dan ragam spesies burung serta reptil lain. Hanya platypus yang tak berhasil saya temukan. Semuanya berbagi di area yang tak seberapa luas, namun dirangkai dengan walkthrough yang bagus di Featherdale Wildlife Park. Dan memang, kesan lengkap betul-betul terasa bila kita mengikuti walkthrough yang mereka rancang, karena bisa optimal melihat binatang-binatang khas Australia. Bagi anak-anak, ada permainan "collect stamps", untuk memastikan mereka tak melewatkan tiap-tiap area

Featherdale Widllife Park adalah tempat yang sangat bagus untuk edukasi bagi generasi berikut mengenai kekayaan fauna yang mereka punyai. Mungkin itu sebabnya Australia menjadi daerah yang relatif ramah untuk spesies-spesies asli mereka, lantaran memang informasi mengenai binatang tersebut tersampaikan dengan baik. Situasinya sedikit ironis, bila mengingat anak-anak Indonesia tak banyak yang tahu mengenai badak Jawa (yang pernah menjadi maskot wisata), elang bondhol, dan sebagainya. Binatang asli Indonesia juga ironisnya tak banyak menghiasi ragam reservasi ex situ, bahkan di beberapa kebun binatang sekalipun. Maka tak heran bila kepedulian mengenai status mereka yang kian kritis juga tak besar.

Walkthrough Featherdale berakhir di toko suvenir yang juga merupakan jalan keluar. Strategi yang cukup jitu dengan diserbunya beberapa suvenir khas Australia, terutama yang berhubungan dengan binatang. Hanya saja, tidak banyak suvenir asli Australia - yang dilambangkan dengan segitiga hijau. Kalah telak dengan dominasi suvenir buatan China. Dari segi harga memang sangat jauh bila dibandingkan, namun bagi saya dan Gina, tentu akan lebih mengesankan bila kita membeli oleh-oleh yang memang made in Australia. Ini situasi yang kudu diwaspadai oleh pebisnis suvenir di negeri kita, supaya ekses perdagangan bebas dengan China tidak melemahkan, alih-alih malah menaikkan prestise. Mungkin mulai perlu dipikir sebuah tag untuk menandai produk asli buatan lokal Indonesia.

Usai belanja adalah akhir wisata ke Featherdale. Kami bergegas untuk melanjutkan perjalanan via Great Western Highway. Lebih ke barat menuju ke Katoomba, salah satu kota di area Blue Mountains, untuk menyaksikan pemandangan alam dalam balutan tagline "scenic world".

Related

travelogue 1973361200893452235

Posting Komentar Default Comments

Hot in WeekRecentComments

Recent

Konser Green Day, Redemsi yang Mengisi Memori

Konser Green Day di Jakarta, Sabtu (15/2) lalu membuka banyak catatan bagi diri saya. Hajatan tersebut menjadi redemsi bagi saya atas ikhtiar yang tertunda setengah dekade.Sekitaran hari ini, lima tah...

Konser Pearl Jam Nite XII, Energi dari Kolektivitas Penampilan

Lama tak dihelat, Pearl Jam Nite XII meluncur di Bandung. Event bertajuk Alive at The Star ini diadakan di (sesuai namanya) The Star, yang menyatu dengan Avery Hotel Bandung pada hari Sabtu, 9 Novembe...

Narasi Reaktif untuk Album Pearl Jam, Dark Matter

Terpaut 4 tahun dari album terakhirnya, Pearl Jam kembali dengan meluncurkan Dark Matter yang dirilis tengah malam WIB tadi (19 April 2024).Album sebelumnya, Gigaton (2020) memegang rekor sebagai albu...

Suar Industri Sinema dalam Film Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

Menonton "Jatuh Cinta Seperti di Film-Film" mengingatkan lagi memori sekitar awal 2000-an, mengenai jalur apa yang mesti diambil sinema Indonesia agar bisa bersaing dan punya unique selling point?Pada...

Kedekatan Dune dan Konteks Dunia Nyata

Sebagai penonton yang lumayan paham dengan sejarah Islam dan sedikit dunia Arab, film Dune jadi bisa dinikmati lebih dalam.Ada yang belum menonton Dune? Saat ini seri keduanya tengah mengisi gedung pe...

Comments

Anonymous:

Katanya menjadi ustadz,ini kok pendeta?

Faizal jam:

selalu renyah membaca tulisan helman ini, bahasa luwes & ringan, sehingga ga bosen membacanya. cuma masukan aja, ada tradisi dari PJ nite 1 hingga ke-12, yaitu koor bareng antara vocalist & au...

papa4d:

Thanks on your marvelous posting! I seriously enjoyed reading it, you may be a great author

Anonymous:

"It seems silly, like, 'We cannot have real roulette however we will to} have this,' " Lockwood says. "But it is certified everywhere in the the} country as a slot machine, not ...

Anonymous:

In Germany and lots of|and lots of} other countries, the earnings from lotteries and betting swimming pools are used to subsidize newbie sports. Major League Soccer the highest soccer league within th...

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item