Travelling Myles Blues
Pukul 7.45 PM, saya masih di Galeri ATM, Bandara Juanda, Surabaya. Baru sekitar 15 menit yang lalu kaki menjejak ground, usai short-flight s...
https://www.helmantaofani.com/2010/08/travelling-myles-blues.html?m=0
Pukul 7.45 PM, saya masih di Galeri ATM, Bandara Juanda, Surabaya. Baru sekitar 15 menit yang lalu kaki menjejak ground, usai short-flight sejam dari Jakarta.
"Jangan pake Damri, pake aja taksi," bunyi teks di Blackberry Messenger (BBM) yang langsung masuk begitu device saya nyalakan (di ground tentunya). Pesan itu dikirim istri saya, yang batal menjemput ke Bandara.
"Muy, apa gw bole ngecek ke Jatim Expo?" balas saya via BBM.
"Ngapain?"
"Kali aja masi sempet nonton Slash."
"Ya udah...,"
Di notifikasi, konser tertulis akan dimulai pukul 19.00 WIB, dengan atraksi Indonesian Rock All Star (apalah itu namanya, susah dihafal!) membuka gelaran konser mantan gitaris Guns N' Roses, Slash. Yap, bagi saya, Slash adalah mantan gitaris GN'R, dengan Velvet Revolver adalah GN'R minus Axl (plus Weiland). GN'R terlalu besar untuk terkubur dengan aneka solo-projects dan Velvet Revolver, yang menurut Wikipedia masuk ke kategori supergrup. GN'R bagi saya, adalah definisi dari supergrup itu sendiri. Berbakat, glamor, mendunia dan penuh intrik.
Meanwhile, dengan pukul 7.45 PM saya masih mengantri di ATM (mengambil uang untuk beli tiket), dan ada perjalanan sekian kilometer menuju venue dari Bandara, kesempatan menonton masih gambling. Prinsip yang saya ambil waktu itu, terlambat satu lagu-pun, saya batal nonton.
Sebetulnya, ketika Mahaka umumkan ekstensi konser Slash di Surabaya, medio Juni lalu, saya langsung mengincar tiket pre-sales. Ketika tanggal dipastikan, 31 Juli 2010, sontak rencana buyar. Tanggal yang sama adalah hari pernikahan sahabat saya, Novi, di kota yang terpisah 800 kilometer ke barat, yakni di ibukota Jakarta. Saya afirmatif melewatkan Slash waktu itu, keputusan yang diambil kala Novi mengabarkan tanggal nikahnya. Best friend come first!
Paulo Coelho berkata, bila kau menginginkan sesuatu, maka alam semesta akan bergerak mengikuti keinginanmu. Ini juga dikenal dengan konsep "Mestakung" dari Prof Johannes Surya, hanya saya kenal lebih dahulu ketika baca Sang Alkemis.
Undangan dari Novi saya terima sekitar medio Juli. Ada sedikit celah, dimana resepsi digelar pada siang hari, pukul 11.00 WIB. Artinya saya bisa short-trip ke Jakarta, berbekal jarak tempuh pesawat yang hanya sejam sepuluh menit, dan bila memungkinkan bisa kembali ke Surabaya sebelum konser.
Masalah pertama adalah pada tiket. Available flight (dengan pertimbangan harga rasional) yang ada pada tanggal 31 Juli tidak ada yang pas betul. Artinya, opsi paling cepat memang "terbang" dengan Mandala, dimana sesuai jadwal saya sudah mendarat di Surabaya pukul 7.30 PM. Dengan catatan: tanpa delay. Well, dengan rekor 4 dari 4 penerbangan saya sebelum ini kena delay parah, maka saya pun kembali memutuskan afirmatif: batal menonton Slash.
Tanggal 31 Juli saya jalankan sesuai rencana. Pagi benar, saya ke Bandara Juanda - diantar Gina - mengejar flight Mandala pagi. Mendarat di Jakarta. Pergi ke resepsi. Hang out, dan harus kembali ke Bandara Cengkareng pukul 4 PM. All as planned!
Di taksi saya kembali berpikir: andai on-time dan on-schedule sampai di Surabaya, mungkin konser masih bisa dikejar. Tapi saya ada janji dengan Gina yang akan menjemput. Dan untuk saat ini membawa Gina ke venue konser sedikit sulit, dengan yang bersangkutan tengah hamil (saya mengkhawatirkan polusi rokok). Jadi, menonton Slash masih angan liar.
Di Bandara, ditengah saya menunggu flight Mandala yang katanya on-time, saya menelpon Gina mengkonfirmasi tentang rencananya menjemput.
"Nanti lihat sikon ya Muy, ini Aksara udah mau bobo', dan gua capek banget abis dari Bango," ujar Gina via telepon.
"Nanti gue pake Damri aja Muy, dari Bandara...," balas saya di BBM.
Dan flight-pun on schedule. Tapi saya tak mengagendakan lagi menonton Slash. Sampailah pada paragraf pembuka di notes ini yang mengubah rencana.
"Racing against time to catch Slash' concert. Have just landed 15 minutes ago." update saya di Twitter.
***
Usai menarik sejumlah uang, saya bergegas ke konter taksi Bandara.
"Jatim Expo, Jl A Yani, mbak!" tukas saya ke penjaga konter. Enampuluh ribu yang saya keluarkan sebaiknya compensating, dengan masih sempat menengok Saul Hudson. Waktu sudah mendekati jam 8. Di pool, saya langsung memilih taksi, dan memberi instruksi ke sopir tentang rute paling cepat menuju Jatim Expo.
Seperti instruksi ke petugas konter taksi, Jatim Expo adalah venue yang terletak di Jl A Yani Surabaya. Bagi yang awam dengan kota Surabaya, Jl A Yani mirip seperti Jl Fatmawati atau Cipulir, yang tenar karena reputasi macetnya. Menyusur jalan ini sama saja bergerak dengan kecepatan rataan 15 km/jam, dan untuk kasus malam Minggu, berjalan pelan 5 km/jam juga sudah cukup beruntung.
Maka rute adalah obligasi untuk sampai di venue. Deadline saya, jam 8.30 PM harus sudah ada di dalam, dengan pertimbangan band pembuka tuntas dalam waktu sejam (sampai jam 8), dan tuning makan waktu setengah jam.
Mestakung memang berjalan. Setidaknya sampai pertigaan Margorejo, simpul terakhir menuju A Yani yang sama terkutuknya dalam bidang kemacetan.
"Margorejo setaaaaaan! Mobil ngga gerak sama sekali!" tulis saya di Twitter.
"Mending jalan kaki aja bos, situ kalo nunggu baru setengah jam kelar..." balas teman saya via Twitter.
Karena jam menunjukkan pukul 8.10 PM, maka bila yang dikatakannya benar, saya akan melewati deadline. Dari perempatan Margorejo ke Jatim Expo berjarak sekitar 300 meter, tapi kondisi venue yang terhalang rel kereta membuat akses masuk harus memutar. Ekstra sekitar 200 meter. So, saya memutuskan untuk keluar dari taksi dan berlari menuju 500 meter sisa ke venue.
Kostum yang tak memadai, berpakaian batik lengkap dengan celana kain dan sepatu necis. Plus jaket, tas kamera dan buku novel teman perjalanan. Itu bukan outfit konser rock. Bukan juga outfit untuk lari 500 meter.
Masih harus menyusul nafas, saya tiba di depan konter tiket.
"Tiketnya satu..."
"Festival 1 atau 2?" balas penjaga tiket.
"Bedanya?"
Si penjaga menyodorkan peta venue.
"Festival 2 di sini," tunjuknya ke paruh belakang arena. "Festival 1 di depan."
"Hmmm, oke saya ambil Festival 1. Berapa?"
"290 ribu."
Wah, masih mahal. Ekspektasi saya, harga akan turun karena saya sudah ketinggalan band pembuka.
"Oke saya ambil."
Bekal tiket di tangan, plus suasana hening dari dalam venue, saya merasa mimpi menonton sudah terwujud. Kecuali ada sedikit hambatan lagi dari penjaga pintu.
"Mas, kamera tidak boleh dibawa," tegurnya sambil menunjuk tas kamera saya.
"Wah, bisa dititip dimana?" balas saya.
"Kita tidak ada penitipan, tapi sampeyan bisa nitip baterenya ke pak Effendi."
Waktu terbuang dengan pelbagai diplomasi untuk segera masuk. Tapi akhirnya batere terpaksa berpindah ke pak Effendi. Damn! Niat saya ke Festival 1 padahal ingin mencuri kesempatan untuk memfotonya. Kebetulan, kamera DSLR yang saya bawa untuk kebutuhan dokumentasi pernikahan Novi masih menyelempang di pinggang.
Pukul 8.20 PM saya masuk ke arena. Surprise, arena Festival 1 kosong. Panggung gelap, dan belum ada tanda konser bakal mulai segera. Beberapa penonton duduk di sekitar barikade, tapi ini tetap terhitung sepi, menurut saya, untuk ukuran konser Slash. Menengok ke belakang, ada barikade lain yang memisahkan nominal 115 ribu rupiah. Para penghuni Festival 2 yang tampak lebih ramai juga masih menunggu sang bintang tampil.
Sepuluh menit berselang, PA berbunyi.
"Hello Surabaya, are you ready fot Rock N Roll? Please welcome: Slash and Myles Kennedy..."
Mengingatkan saya ke intro Guns N' Roses.
Dan the real deal ada di depan saya, berjalan menuju bibir panggung sambil jemarinya menari di atas fret, memainkan lick yang mengiringi suara Myles Kennedy: "Kill your ghost, that hide in your soul. Rock N Roll!".
Wah! I made it! Konser kedua sepanjang sejarah hidup saya menyaksikan atraksi band rock mancanegara. Keduanya di Surabaya, setelah 6 tahun lalu menyaksikan Andi Deris dan kawan-kawan "manggung" di Stadion Tambaksari.
Tapi, Slash berbeda dengan Helloween. Dari sisi finansial, harga tiket Helloween yang hanya 30 ribu tentu jauh lebih terjangkau dibanding Slash yang hampir 10 kali lipatnya. Penonton yang datang di konser Slash (terutama di arena Festival 1) pastilah menuntut kompensasi finansial, dengan menonton sebaik mungkin. Mungkin ini yang menjadi sebab penonton di sektor ini cenderung pasif, seperti juri kompetisi band.
"Hemm, I don't know, he's kinda miss a little note right there..." sebut Jack Endino mengomentari karakter penonton yang kurang "melebur" dengan konser.
Memang, penonton kurang "loose", dan lebih asyik dengan device-nya. Pemadangan yang sedikit kurang sedap, ketika irama menghentak, sang gitaris beraksi, vokalis berteriak, namun respon penonton adalah acungan Blackberry atau perangkat ponsel kamera mereka. Inikah konser rock di era digital?
Saya sendiri, jujur, tidak begitu hafal lagu-lagu Slash di luar Guns N' Roses, Velvet Revolver album Contraband, dan album solo terbaru. Dengan beberapa lagu Slash's Snakepit masuk, saya juga membaktikan diri sebagai jemaat rock era digital dengan mengupdate setlist via Twitter.
"Udaaah, nanti aja setlistnya. Loose your self!" balas beberapa teman di Twitter, menanggapi tweets setlist saya.
"Hey, crowd di sini tak mendukung buat saya untuk loose myself," pikir saya.
Saya berulang kali melompat, mengacungkan tangan, berteriak keras mengikuti lagu, tapi sekitar saya adem ayem. Dengan kostum yang salah, saya merasa malah makin salah "loose myself".
Hanya saya, untuk beberapa lagu saya tak peduli.
"Did you wear a black armband, when they shot the man who said: 'Peace could last forever!'. And in my first memory, they shot Kennedy. And I went numb when I learned to see. So I never felt for Vietnam, we got the wall of DC to remind us all. When you can't trust freedom when it's not in your hand. Where everybody fighting for their promised land."
Orang-orang di sekitar saya tak mengerti betapa sakralnya bait tersebut buat saya. Umur 10 tahun, saya sudah bisa melafalkan kalimat panjang berbahasa Inggris tersebut, buah didikan kedua kakak saya. Bila ada pepatah mengatakan bahwa hafalan di masa kecil seperti goresan pedang di batu, maka benar adanya. Bius kalimat tersebut masih tetap membuat saya merinding meski sekarang yang mengatakan adalah Myles Kennedy, bukan Axl Rose.
Saya berteriak kencang di bait itu.
Berbagai lagu tampaknya tak bisa memanaskan suasana. Atmosfer serupa masih saja berlanjut sampai lagu-lagu berikutnya. Penonton hanya sesekali merespon, karena memang kurang familiar dengan lagu-lagu Slash's Snakepit, Velvet Revolver dan bahkan dari album solo Slash. Saya sempat kecewa karena lambaian lengan menyambut chorus lagu "Starlight" yang diinisiasi Myles Kennedy berakhir hambar.
Barulah ketika Slash membawakan "Sweet Child O'Mine" suasana menghangat. Sebelumnya, Slash bermain solo-gitar. Di awal akrobat jemari, saya mengirim pesan ke Twitter:
"Andai habis ini ada Godfather, I'll be dead."
Sampai benar-benar melodi menyayat itu muncul.
Saya menangis.
18 tahun lalu, adalah pengalaman pertama saya obsesif ke melodi, film dan musik rock kala menyimak seorang gitaris dengan kaos Pepe LePew memainkan lagu karya Nino Rota ini. Kepingan kaset VHS yang sangat berharga dulunya.
Dan sekarang, orang yang sama ada di depan saya memainkan lagu yang sama...
Inilah pengalaman spiritual tertinggi saya sepanjang konser. Sebuah klimaks yang membuat setelah itu jalannya konser seperti meluncur turun. Slash sudah membawakan Godfather, dan saya tak peduli lagi apa yang akan ada berikutnya.
Saya menempuh ribuan kilometer (Surabaya - Jakarta PP) demi mendapatkan pengalaman menonton konser internasional kedua. Dan inilah ganjarannya.
"Inilah insiasi saya..." ketik saya di Twitter sambil gemetar. Akhirnya yang termuat di layar status, entah kenapa berubah jadi "Allahu Akbar...".
Saya tidak akan meminta banyak lagi (selain karena tak mungkin mereka bawakan "Locomotive" dengan tidak nampaknya perangkat kibor di panggung). Tuhan dan semesta telah mendukung saya merasakan pengalaman emosional melihat konser ini.
Jam menunjukkan pukul 11.00 PM, setelah saya membereskan semua urusan (mengambil batere kamera yang disita) dan menunggu taksi untuk pulang.
"Luar biasa..." pikir saya.
4 komentar
Wah,pengalaman yah hampir sama saya alami tahun lalu disaat kantong pas2an bela2in ke Jakarta buat nonton Mr.Big Reuni...
Memang rasanya pingin nangis, serasa begitu dekatnya dengan Paul Gilbert, Billy Sheehan, Pat Torpey dan Eric Martin ngumpul lagi buat menghibur fans lamanya
jadi, gak heran kan kalo ada orang yang sampe benar2 histeris dan nangis sejadi2nya pas nonton konser..? hehehe..
gimana klo nonton langsung konser PJ ya..? membayangkannya aja udah merinding..
btw..Gina lagi hamil ? waa..kejar setoran nih kayaknya..:)
Waktu Slash konser di surabaya, sebenarnya aku pas di sana..tapi memang gak terlalu berminat, jadinya ya gak nonton..hehe..
Iya tuh, nonton konser kok ngrekam pake hape..harusnya ya dinikmati sambil jingkrak2..
@Toink: Dulu pas Mr. Big jaman Richie Kotzen udah beli tiketnya tapi batal gara-gara bokap Eric Martin meninggal.
@Ipul: Kalo PJ gue tulis juga pastinya, hehe.
Posting Komentar