5 Decisive Moments in Pearl Jam History
Yea baby...times, they are a-changin'... DALAM hitungan dua dekade, semenjak konser perdana di Off Ramp Cafe, Seattle pada 22 Oktober 19...
https://www.helmantaofani.com/2010/10/5-decisive-moments-in-pearl-jam-history.html?m=0
Yea baby...times, they are a-changin'...
DALAM hitungan dua dekade, semenjak konser perdana di Off Ramp Cafe, Seattle pada 22 Oktober 1990, Pearl Jam telah melewatinya dengan sembilan album, dan ribuan konser. Itu juga tak lepas dari banyak momen yang turut membentuk karir Stone Gossard dan kawan-kawan hingga sekarang. Berikut antaranya, 5 peristiwa yang cukup berperan dalam sejarah Pearl Jam, yang memengaruhi visi, karya dan konsep mereka.
Saga “Jeremy” (1991)
Jeremy (Ten/1991), ternyata menyimpan kisah yang menarik. Label (Sony) awalnya bersikeras untuk memilih Black sebagai singel ketiga (setelah Alive dan Even Flow), dan menyiapkan budget untuk membuat video klip dari lagu balada tersebut. Namun Pearl Jam, tanpa sepengetahuan label, malah mengontak sutradara Chris Cuffaro untuk membuat sebuah video klip dari lagu apapun yang disuka olehnya (yang akhirnya memilih Jeremy). Label menolak edarkan video Cuffaro dan memutuskan untuk membuat video lain dari “Jeremy” dengan sutradara Mark Pellington. Black tak pernah rilis jadi singel, dan peristiwa ini merupakan friksi perdana band dengan label. Pearl Jam memutuskan tak membuat video lagi sampai 7 tahun berselang (untuk video “Do the Evolution”). Dampaknya sangat besar bagi kelanjutan karir Pearl Jam, karena selama kerjasama 14 tahun berikutnya dengan Sony, band mempunyai kontrol penuh atas strategi promosi, packaging, dan konsep album mereka.
Rilis Vitalogy (1994)
Album ini adalah landmark yang paling signifikan dalam sejarah Pearl Jam. Pembuatan album ini “memakan korban”, dengan pemecatan anggota pertama untuk drummer Dave Abbruzesse. Friksi mulai memuncak diantara anggota, resultan dari puncak popularitas yang mereka raih dua tahun ke belakang dan menimbulkan konsekuensi implisit terjadinya estafet kepemimpinan dalam tubuh band. Stone Gossard, pendiri dan otak di dua album sebelumnya menyerahkan tongkat komando ke Eddie Vedder sebagai mastermind band sampai sekarang. Tema-tema anti-popularitas, dan lagu-lagu offbeat mulai diambil. Band juga mulai lebih “outspoken” terhadap hal-hal diluar musik, termasuk perseteruan dengan Ticketmaster. Hal inilah yang signifikan memisahkan era Pearl Jam dalam konstelasi pra-Vitalogy sebagai band yang populer, dan paska-Vitalogy sebagai band avant-garde.
Tragedi Roskilde (30 Juni 2000)
Festival Roskilde, Denmark, berujung tragis dengan 9 orang dinyatakan meninggal akibat tergencet penonton lainnya. Peristiwa ini rupanya sangat memengaruhi kondisi psikologis personil Pearl Jam, sehingga paska Roskilde, band memutuskan beristirahat sementara dari festival. Konser Pearl Jam juga kemudian sebagian besar diselenggarakan dalam venue seated. Di sisi lain, Roskilde juga mengubah karakter konser Pearl Jam yang relatif “liar” pra-Roskilde, menjadi intimate show, yang penuh dengan dialog dan interaksi ke audiens.
Rilis Butleg Resmi (mulai 2000)
Pearl Jam dan butleg adalah dua entitas tak terpisahkan. Semenjak awal karir, Vedder encourage fans untuk mendokumentasikan konser-konser PJ dalam bentuk bootlegs. Hanya saja, seiring dengan perkembangan, butleg jadi lahan komersialisasi bagi sebagian pihak. Butleg banyak dijual dengan harga mahal, hingga mulai tahun 2000, Pearl Jam merilis butleg resmi untuk tiap show dalam bentuk CD. Pada 2005, disediakan pula alternatif digital download sampai sekarang, yang bisa diperoleh dalam hitungan jam usai konser. Official Bootlegs ini sekarang menjadi suvenir yang paling diburu oleh para penonton konser Pearl Jam sebagai arsip historis yang berharga.
Menjadi Independen (2009)
Rilis album baru, “Backspacer” juga menjadi salah satu milestone Pearl Jam, kala mereka sepenuhnya menjadi band independen, tanpa ikatan label manapun (kecuali label mereka sendiri, Monkeywrench). Untuk pemasaran dalam skala domestik (Amerika), Pearl Jam menggandeng Target, departement store yang memiliki jaringan luas, sebagai mitra. Meski ada nada minor (terkait “komersialisasi”), namun konsep distribusi baru itu ternyata menjadi salah satu alternatif pemasaran yang kini mulai diminati banyak band/musisi. Lemahnya penjualan CD fisik menjadi salah satu yang mendorong lesunya record store dan jaringannya, sehingga retailer menjadi alternatif untuk menyentuh penjualan CD sampai ke akar. Terbukti, strategi ini menghasilkan sales boost yang cukup signifikan bagi “Backspacer” serta respon yang cukup bagus untuk mengantar album tersebut meraja puncak Billboard pertama kali setelah sukses No Code (1996).
Dimuat dalam majalah SoundUp edisi Oktober.
Posting Komentar