It's OK
20 tahun yang lalu, hidup saya berubah drastis. Namun, saya tak pernah sempat merancang "what-if scenarios", lantaran masih terlal...
https://www.helmantaofani.com/2010/10/its-ok.html
20 tahun yang lalu, hidup saya berubah drastis. Namun, saya tak pernah sempat merancang "what-if scenarios", lantaran masih terlalu muda untuk paham apa yang terjadi.
Waktu itu saya masih 8 tahun, ketika ibu meninggalkan kami sekeluarga pada tanggal yang dua dekade kemudian jadi nomor cantik. 20 Oktober 1990.
Apa yang terjadi setelah hari itu adalah rutinitas-rutinitas aneh yang hanya bisa saya cerna setelah berada dalam posisi kepala rumah tangga. Ayah saya, yang tentunya sangat devastated ditinggal pasangan hidupnya selama sekitar perempat abad, harus memulai "hidup baru". Tak ada yang berucap "selamat menempuh hidup baru" ketika banyak kerabat dan rekanan berbelasungkawa. Padahal, apa yang dilaluinya kemudian sungguh merupakan hidup baru.
Ibu meninggalkan ayah dengan "warisan" 3 orang anak. Saya yang paling bungsu dengan jarak terdekat ke kakak saya membentang satu windu. Dua kakak saya tengah mentas, dan menjalani kehidupan rantau sebagai mahasiswa. Jadilah saya yang ditinggal di rumah, menyaksikan hidup baru ayah.
Ayah harus menjadi ayah dan ibu bagi saya, satu-satunya yang tersisa di rumah. Ia bangun setiap subuh, lalu menanak nasi, dan menyiapkan seragam saya sekolah (dan buku-bukunya). Sementara saya belum bangun, ia sendiri bersiap kerja, menempuh satu jam perjalanan menggunakan bus dari Parakan ke Magelang.
Jam lima, saya selalu "dipaksa" bangun. Ayah selalu memastikan bahwa saya sudah terpenuhi kebutuhannya. Ia memastikan saya sudah makan, sudah mandi dan tinggal menunggu sampai jam setengah tujuh untuk bisa berangkat ke sekolah.
Saya selalu menggerutu. Tak mudah bagi siswa SD untuk berdisiplin bangun pagi, disaat sebaya saya mungkin tengah asik lelap. Saya menganggap ayah egois karena memaksakan jadwalnya untuk saya turuti.
Setiap hari, Senin sampai Sabtu, itulah rutinitas yang terjadi. Tiap Ahad, ayah sudah terlalu lelah untuk kemana-mana, sehingga saya memang lebih banyak di rumah.
Itulah hidup baru kami sepeninggal ibu. Pada tanggal ini (20 Oktober) duapuluh tahun silam.
Saya baru merasa bersyukur kemudian. Kala saya sendiri menjadi seorang ayah. Rasa sakit yang ia alami bahkan tak bisa saya bayangkan bila berada dalam posisinya. Namun saya bisa sedikit mengerti kasih sayang dan segala keruwetan-keruwetan yang ia berikan kepada anaknya.
Bahwa meninggalkan semuanya dalam keadaan "oke" memang suatu kebutuhan batin mandatory bagi ketenangan kepala keluarga.
Untuk itu hari ini saya mengenang. Bersyukur saya punya ayah yang sedemikian hebat untuk membuat saya tak pernah memikirkan skenario "what if" sepeninggal ibu saya.
Hari ini duapuluh tahun lalu...
Posting Komentar