Rock Korporasi vs Grunge
Seattle 1992 adalah setting awal yang akan menuai konfrontasi bagi penggemar grunge di belahan manapun sesudahnya. Sebuah friksi kecil yang ...
https://www.helmantaofani.com/2010/12/rock-korporasi-vs-grunge.html
Seattle 1992 adalah setting awal yang akan menuai konfrontasi bagi penggemar grunge di belahan manapun sesudahnya. Sebuah friksi kecil yang terlontar dengan kekuatan pegas media, mampu mengarahkan konstelasi yang membelah sudut komunitas penggemar musik asal Seattle tersebut.
Itu adalah masa di mana Seattle Sound menapak naik, ditandai dengan ramahnya MTV menjamah kota di barat daya Amerika tersebut. Oleh karena sorot pandang berada di sekitaran Space Needle, maka sebuah lontaran ekspresif dari Kurt Cobain, frontman band sohor Nirvana, tentang Pearl Jam mampu membentuk polarisasi yang mengkristal selama bertahun-tahun (sampai sekarang bahkan).
“Pearl Jam adalah band rock-korporasi yang hanya bisa menumpang tenar dari kendaraan band Seattle lainnya,” tukas Cobain saat itu. Polar Pearl Jam dan kutub Nirvana pun tercipta.
Sesungguhnya, persaingan di belakang mereka memang eksis. Namun hanya dari sisi bisnis. Purely business!
Album Nevermind dan Ten yang dirilis tahun 1991 (Nevermind rilis bulan Agustus, Ten bulan September) melesat bak roket yang berkejaran di sales chart. Perburuan makin memasuki klimaks pada tahun 1992, dimana Ten sebagai slow starter mulai mengejar perolehan Nevermind.
Saat itulah statement di atas terlontar dari Kurt Cobain dalam sebuah wawancara. Menjadi pangkal polemik bahwa persaingan mereka memasuki ranah ethic dan spirit dalam bermusik yang membedakan keduanya.
Cap polarisasi antara kubu korporasi dan grunge sejati mulai melebar kemana-mana. Musik mereka mulai diperbandingkan, dianalisa, untuk membuktikan statement Cobain mengenai “rock inc” yang terdapat dalam unsur musik Pearl Jam. Persaingan virtual makin tajam dengan blow up media.
Ini jelas selaras dengan kepentingan media untuk membuat hype dramaturgi dari sebuah scene. Model rivalitas seperti ini eksis sejak era The Beatles kontra The Stones, major label versus indie ethic. Mereka tentu tak akan melepas tajuk cerita dengan “happy ending” ala Cinderella yang kontradiksi dengan muatan kontroversial musik rock.
Perimbangan berubah dengan meninggalnya Cobain, sebagai “martir” di dunia rock. Statusnya menjadi orang suci. Semua ajarannya menjadi sabda. Sabdanya tentang Pearl Jam, sampai sekarang mengkristalkan polarisasi itu menjadi salah satu ayat suci bagi para penggemar Nirvana.
Bagi banyak penggemar Nirvana, Pearl Jam (selalu) ada di belahan lain dari hemisfer mereka.
*Artikel untuk SoundUp bulan Desember 2010.
Posting Komentar