Distorsi Antri
Tiap tahun kita acap mendengar tentang berita jatuhnya korban di acara pembagian zakat secara konvensional. Konvensional di sini maksudnya m...
https://www.helmantaofani.com/2011/11/distorsi-antri.html
Tiap tahun kita acap mendengar tentang berita jatuhnya korban di acara pembagian zakat secara konvensional. Konvensional di sini maksudnya mengacu pada aktivitas yang sebetulnya sudah biasa dilakukan selama puluhan tahun.
Bila Anda bertanya kepada penduduk di sekitar pesantren tradisional Jawa, maka ritual bagi zakat itu memang selalu dilakukan. Dan selalu ada korban. Korban di sini tak selalu analog dengan orang yang meninggal. Entah itu pingsan, sakit, pusing, luka, dan sebagainya, memang faktanya selalu ada.
Lalu segalanya marak sekitar 3-4 tahun terakhir tatkala arus infomasi bisa diakses sedemikian kilat, cenderung banal melalui kanal media online. Baik portal berita, maupun situs jejaring sosial sama saja. Biasanya, isu semacam ini berasal dari "kepiawaian" editor berita satu kalimat dari portal media online. Dengan batasan kata (dan sekarang karakter), mereka dituntut membuat garis kalimat yang bisa menarik jutaan hit.
Namun, umat internet kita sejatinya adalah cerminan dari umat offline-nya, yaitu sama-sama menuhankan kemalasan. Saya yakin sebagian besar mereka tak membuka link terkait untuk mendapatkan gambaran yang lebih besar. Rata-rata membaca lalu bereaksi. Reaksi, bukan respon.
Reaksi, dalam ilmu parenthood, bersumber kepada diri kita. Sementara respon, bersumber kepada orang lain. Sekali lagi, "self-minded" yang digabung dengan kemalasan. Kalikan itu dengan ratusan, ribuan, dan jutaan.
Ratusan, mungkin ribuan orang (yang bisa dipantau dari timeline, atau stream status) akan segera mengeluarkan reaksi mengecam para penyelenggara zakat - kembali ke kasus utama.
Senada, peristiwa final sepakbola SEA Games lalu juga menjadi salah satu preseden. Dari sebelum pertandingan, timeline ramai dengan kecaman ke PSSI yang tak becus handling distribusi tiket sehingga terjadi pembakaran loket.
Dalam jeda tak beberapa lama, giliran BlackBerry yang dicaci, dengan kisruhnya launching produk terbaru smartphone asal Kanada tersebut. Sekali lagi, pihak penyelenggara menjadi sasaran tembak yang mudah, karena mereka singular dan terlihat.
Benarkah?
Apakah kita tak bisa melihat benang merah dari peristiwa common tersebut? Merujuk ke karakter orang-orang kita. Self-centered dan malas adalah pengkhianatan dari skema budaya antri. Kata itu tampak tak ada dalam karakter kerumunan di Indonesia.
Zakat, tiket, dan juga launching BlackBerry, pada dasarnya diakibatkan oleh kemalasan dan sikap mementingkan diri sendiri dalam wujud malas antri.
Suatu ketika saya tengah mengantri di sebuah bioskop untuk film yang memang diminati oleh banyak orang. Lalu muncul dua orang perempuan yang hendak menitipkan antrian kepada saya. Saya bilang, "Saya sih ngga berkeberatan mbak. Tapi mbak tanya ke orang-orang di belakang saya, minimal sampai 5 orang ke belakang. Bila mereka tidak keberatan, nanti saya bisa dititipi." Keduanya langsung pergi sambil mengumpat.
Lain waktu dan tempat, saya juga tengah mengantri tiket kereta api dari Jakarta ke Surabaya. Saya mengantri untuk membeli tiket "go-show" bersama beberapa yang memerebutkan jatah kursi tersisa. Lalu dimulailah barisan mengular yang cukup panjang di stasiun Gambir.
Tiba-tiba, beberapa oknum mengompori yang lain untuk membuat barisan ganda. Saya yang berdiri lumayan depan, tiba-tiba mendapati barisan baru di sebelah yang mulai memanjang. Tentu saja, orang-orang di barisan lama yang berada agak di belakang menjadi terancam tak mendapatkan tempat duduk. Oleh karena itu, saya protes ke petugas keamanan yang awalnya diam. Saya protes cukup lantang sehingga orang-orang yang tengah mengantri di barisan lama juga menuntut hal sama. Akhirnya barisan baru dibubarkan oleh petugas keamanan, dan meminta mereka mengantri di belakang orang terakhir dari barisan lama.
Beberapa orang menggerutu, dan ada yang mengancam saya langsung. Beruntung saya berada di dekat petugas keamanan, jadi terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Kemauan untuk antri, menurut saya, menjadi permasalahan serius bangsa kita. Banyak sekali masalah yang muncul dari hal itu, dari permasalahan massal seperti gambaran peristiwa di atas, kemacetan lalu lintas, kriminalitas, dan sebagainya.
Kadang mengurai hal-hal yang rumit dan kompleks itu bisa diatasi dengan hal yang sederhana. Pembagian zakat konvensional yang ideal, distribusi tiket yang bagus, launching produk seluler, bahkan mengurai kemacetan lalu lintas. Hanya kita selalu berkutat pada isu yang sebetulnya kurang proporsional dan inakurat. Padahal sumbernya bisa jadi hanya satu hal kecil.
Mengutip perkataan salah seorang ekspatriat ketika antriannya diserobot: "Indonesian. Which part of 'queue' that you don't understand?".
4 komentar
yaaa..mau gimana lagi..
inti dari sebuah masalah memang kadang jadi kabur oleh masalah lain yang sebenarnya adalah hasil dari masalah lain..
gak tau sampe kapan bangsa kita bisa belajar menghargai kata antri
saya pernah ribut sama ibu2 di bandara hanya karena seenaknya saja menyerobot antrian..mungkin karena dia merasa orang penting ( liat dari sanggul dan sasaknya ) sampe seenaknya menyerobot antrian
Susah banget ya Daeng? Kadang kita pengen menerapkan "merubah dimulai dari diri sendiri" tapi seringan jengkel juga diserobot mulu.
keren gan blognya klo boleh tau tempalate apaya?
Mas Sinopsis...eh, link template ada di footernya.
Posting Komentar