Menakar Realisasi Konser Band Asing
Jumat (10/2) lalu saya sempat terlibat diskusi tak resmi mengenai kelas musisi di dunia musik saat ini. Kelas di sini maksudnya secara reput...
https://www.helmantaofani.com/2012/02/menakar-realisasi-konser-band-asing.html?m=0
Jumat (10/2) lalu saya sempat terlibat diskusi tak resmi mengenai kelas musisi di dunia musik saat ini. Kelas di sini maksudnya secara reputasi, atau kaliber. Membandingkan Guns N Roses saat ini dengan 20 tahun lalu, misalnya, tentu kita akan mendapati kelas yang berbeda. Lalu dari mana rujukan sahihnya?
Paling mudah adalah dengan menakar nilai jual mereka. Yang terdata secara kuantitatif adalah mengenai pendapatan tur (bisa dinilai dari pendapataan rata-rata dalam satu konser, serta harga tiket). Di sini kita bisa memiliki ukuran sahih mengenai kaliber band bersangkutan.
Setengah tahun lalu, saya teringat akan diskusi dengan kawan saya. Ketika Incubus "manggung" di Jakarta, kawan berpendapat bahwa band dengan kaliber Brandon Boyd cs mestinya layak manggung di venue yang lebih besar. Saya berargumen bahwa Incubus mungkin belum sebesar itu, dan siapa tahu venue berkapasitas Istora memang cocok untuk mereka. Data Pollstar mempublikasikan mengenai pendapatan tur band/musisi Amerika sepanjang 2011, dengan detail rerata harga tiket, dan average attendance dipaparkan. Dari data itu, memang rerata audiens Incubus hanya berkisar 4000 penonton.
Data harga tiket juga mungkin bisa dijadikan acuan mengenai band-band yang berkonser di sini. Bukan rahasia bila saya sangat menanti band idola, Pearl Jam, untuk manggung di sini. Bagi sebagian pengamat, Incubus tentu band yang secara potensial memiliki lebih banyak massa di Indonesia. Mungkin memang benar, tapi bukan berarti Pearl Jam kalah kelas. Di negara asalnya, kaliber Pearl Jam masih jauh di atas Incubus, yang artinya berhubungan dengan fee untuk menarik mereka ke sini tentu akan lebih besar.
Menyimak harga tiket, Pearl Jam pada 2011 menjual dengan rerata harga 66 USD (sekitar 650.000). Ini jauh di atas Incubus yang rata-rata menjual tiket dengan harga 42 USD (sekitar 400.000 - kisaran yang masih sama dengan tiket mereka di Jakarta). Band Inggris, Iron Maiden, menjual tiket dengan kisaran 53 USD (sekitar 500.000). Tentu itu menjadi gambaran kelas masing-masing band secara kuantitatif, dan proyeksi mengapa mendatangkan Incubus lebih realistis ketimbang Pearl Jam.
Pertanyaan yang sama mungkin mencuat dari penggemar U2, yang menanti band pujaan mereka untuk konser di sini. Meski banyak rumor menyebutkan U2 akan konser, namun secara kelas nampaknya mereka masih terlalu jauh dikejar. U2 mematok harga tiket rata-rata 92 USD (sekitar 900.000) dengan jumlah penonton rata-rata 80.000. Saya ragu bila Indonesia bisa menyediakan audiens semasif itu yang mau membayar tiket hampir sejuta. Bandingkan dengan Iron Maiden yang rerata audiensnya adalah 15.000. Dengan tiket separuhnya, jelaslah Bruce Dickinson cs menjadi opsi yang lebih realistis.
Pearl Jam sendiri rata-rata menjual 18.000 tiket dalam sekali konser. Ini angka yang agak berat, dengan satu tiket sekitar Rp 600.000, namun masih realistis untuk dipanggungkan di Indonesia. Next of kin mereka, Soundgarden, yang reuni dan tur tahun lalu juga menual tiket di kisaran sama, tetapi rerata audiens mereka cuma 5200. Rerata audiens dikalikan harga tiket, maka kita bisa punya bayangan fee mereka. So, mestinya promotor di sini bisa dengan mudah menangkan Soundgarden. Saya tidak berpikir mendatangkan 6000 penonton yang merogoh kocek 600.000 rupiah demi menyaksikan Chris Cornell sebagai barang sulit. Jadi, sayang memang mereka berlalu begitu saja selepas manggung di Australia.
"Sepupu" Pearl Jam yang lain, Foo Fighters, juga dijadwalkan pentas di jiran, Singapura. Mengapa mereka tidak ke Indonesia? Ekspektasi audiens Foo Fighters adalah sekitar 12.000, dengan harga tiket mendekati 48 USD (sekitar Rp 450.000). Mengaca pengalaman Stone Temple Pilots tahun lalu, bisa jadi promotor agak jiper untuk memenuhi ekspektasi tersebut. Harga tiket memang masih dalam kategori terjangkau, namun jumlah audiens yang harus dipenuhi menjadi pertaruhan yang lumayan sulit.
Meski penduduk kita berjumlah masif, namun tingkat kesejahteraan masih belum merata. Warga Jakarta yang rela mengeluarkan lebih dari Rp 600.000 untuk tiket konser mungkin berada di kisaran ideal 5000 orang. Oleh karena itu, dibanding Pearl Jam barangkali akan lebih realistis untuk mendatangkan Eddie Vedder yang meski tiketnya berbandrol sekitar 75 USD, ekspektasi audiensnya hanya sekitar 3200. Itu setara dengan jumlah anggota komunitas Pearl Jam Indonesia yang tercatat di Facebook.
Jadi, ada baiknya Pearl Jam Indonesia lebih fokus mencoba kampanye datangkan Eddie Vedder instead...hehe.
3 komentar
kayanya lebi feasible nabung buat nonton di OZ dibanding ngarep dese manggung dimari. huks. medioker abis.
Nyang mane nyang medioker ini mpok?
atau, bikin kampanye
bring PJ.ID to Pearl Jam Concert !!
Posting Komentar