Euforia Empiris Starbol
Dalam kesempatan yang unik, warga Jakarta berkesempatan untuk melihat langsung mantan pemain dunia yang tergabung dalam Starbol. Mereka da...
https://www.helmantaofani.com/2012/02/starbol-experience.html?m=0
Dalam kesempatan yang unik, warga Jakarta berkesempatan untuk melihat langsung mantan pemain dunia yang tergabung dalam Starbol. Mereka datang dalam eksebisi sepakbola indoor, showbol. Tapi rasanya pertandingannya sendiri bukan daya tarik utama (bagi saya). Melainkan kesempatan untuk menyaksikan langsung para protagonista beraksi.
Menonton langsung dari dalam, dan dalam jarak sangat dekat, memberikan dimensi lain. Kebetulan Starbol menawarkan tiket VIP yang salah satunya terletak persis di belakang bangku pemain. Saya datang untuk Cannavaro dan Materazzi. Sebagai penggemar berat calcio Italiana, tentu Edgar Davids jadi bonus besar dengan kiprah lamanya di Serie A. Harapan saya sejalan dengan banyak orang yang terlihat mengenakan kostum Azzurri, Juventus, Inter, dan Arsenal (para penggemar Robert Pires). Saya dan mereka rasanya mempunyai satu tujuan sama, yaitu melihat langsung pemain yang selama ini ditatap via layar kaca, dalam bentuh utuh. Flesh and blood.
Materazzi tinggi besar. Cannavaro, ternyata tidak sependek dugaan saya. Ia berpostur sangat bagus, meski dengan tinggi yang cukup berbeda dibanding Matrix. Pires juga ternyata lebih besar daripada persepsi saya di layar kaca.
Selain itu, saya juga bisa menangkap perangai atau karakter mereka sesungguhnya. Di antara semua pemain, yang paling rileks adalah Cannavaro dan Denilson. Edgar Davids menyusul. Djalminha, Materazzi, dan Pires adalah pribadi-pribadi serius ketika bermain. Hal itu terlihat - selain dari cara bermain - juga komentar atau peristiwa yang terjadi di dalam dan luar lapangan.
Semenjak datang, aura selebritas sepertinya hanya dimiliki Canna dan Denilson. Canna terutama, menyalami penonton yang sebagian besar menantikan dirinya. Yang menarik, secara demografi, penonton yang datang seimbang gender dengan usia rerata tak jauh dari usia saya. Salah satu buktinya adalah dari perempuan yang duduk di sebelah saya selalu mengingat masa-masa Cannavaro di Parma!
Perangai para pemain terlihat jelas di lapangan. Anda yang menyaksikan via televisi tentu bisa menilai mana saja pemain yang serius, menghibur, dan yang santai. Beberapa kejadian mungkin lepas dari kamera, yang kami penonton di Istora bisa melihatnya langsung.
Di babak kedua misalnya, Djalminha sempat emosi kepada pelatih Jacksen F Tiago dalam bahasa Brasil. Ia mengeluh mengenai Bima Sakti yang berulang kali gagal menjaga pergerakan Materazzi. Mantan legenda Deportivo La Coruna itu meminta Hilton Moreira, yang juga dari Brazil, untuk masuk.
Begitu juga dengan Materazzi dan Pires. Keduanya mengeluhkan Okto Maniani yang banyak membuang peluang kepada pelatih Danurwindo. Keduanya menegur Danur dengan bahasa Inggris meminta pemain lain untuk gantikan Okto.
Saya bisa bebas mengamati karena beruntung duduk tepat di belakang bench pemain. Sejajar persis, mundur sekitar 7 meter dari lapangan. Jadi dialog-dialog mereka bisa terdengar jelas.
Posisi itu pula yang menguntungkan, ketika masa jeda, para bintang tersebut masuk bench sehingga kami hanya terpisah jarak sekitar 2 meter. Bukan berarti tanpa rintangan, sebab ratusan orang menyerbu daerah tersebut untuk berfoto dan meminta tanda tangan.
Cannavaro paling laris. Ia sangat ramah, dan selalu tersenyum. Pribadi yang sesuai dengan bayangan saya. Materazzi juga. Berdua mereka meladeni permintaan penggemar, sementara Pires dan Davids tetap berada di lapangan.
Saya membawa serta jaket tim nasional Italia. Dari awal, saya memang mengharap bisa meminta tanda tangan ke dua punggawa Azzurri di Piala Dunia 2006. Namun saya lupa mengantisipasi ratusan penggemar yang berniat serupa. Jalan kosong selebar dua meter sesak dengan orang yang berebut meminta foto atau tanda tangan.
Dengan kondisi itu, saya susah untuk bisa mendapatkan keduanya. Materazzi adalah pilihan paling logis karena yang menyerbu mantan bek Inter itu tak sebanyak penggemar Cannavaro. Dengan susah payah, saya mencapai bibir bench dan mendapati Materazzi tengah berfoto dengan seseorang berkostum AC Milan.
Foto tersebut - bersama dengan foto kostum Juventus yang ditandatanganinya - lantas muncul di akun Twitternya @iomatrix23 sebagai bahan olok-olok ke kedua klub rival Inter. Ia ternyata menuliskan "Forza Inter Sempre" di kedua kostum tersebut. Hahaha, sungguh perilaku khas Matrix yang memang terkenal usil.
Usai dapatkan tanda tangan Materazzi, sebenarnya saya ingin juga melengkapinya dengan Cannavaro. Tapi mantan kapten timnas Italia itu sudah berada di dalam lapangan bersama penyanyi Dewi Sandra. Canna didapuk untuk ikut berjoget di tengah lapangan. Jadi saya harus puas dengan oleh-oleh satu tanda tangan.
Usai pertandingan, Materazzi dan Pires langsung keluar lapangan. Keduanya memang harus langsung terbang pulang. Canna dan Davids masih berada di lapangan memberikan kesan kepada para penonton di Jakarta. Sebelum meninggalkan arena, Canna berhenti sejenak untuk menyalami para penonton yang masih tinggal - termasuk saya.
Sejatinya saya adalah seorang fanboy. Menggemari Azzurri adalah gerbang perkenalan saya dengan dunia sepakbola semenjak era Franco Baresi. Butuh 10 tahun lebih bagi saya untuk bisa merasakan penultimate ecstasy bagi penggemar bola, yaitu merasakan euforia juara dunia. Dan kapten yang mengangkat piala waktu itu ada di depan saya.
Ini adalah pengalaman yang sangat menyenangkan. Melihat langsung grande giocatori dalam skala yang amat sangat manusiawi, alias di depan mata. It's a one in a lifetime experience.
1 komentar
huaaaa...
mantapp !!! dapat tandatangan plus salaman..
pengalaman sekali seumur hidup..
Posting Komentar