Addio Senatori
Hari Minggu (13/5) semalam adalah pekan penutup bagi sejumlah liga sepakbola Eropa. Sebagian tentu terkenang dengan aksi finale yang di...
https://www.helmantaofani.com/2012/05/addio-senatori.html?m=0
Hari Minggu (13/5) semalam adalah pekan penutup bagi sejumlah liga sepakbola Eropa. Sebagian tentu terkenang dengan aksi finale yang diperagakan Liga Inggris, dengan mengirim juara pada detik terakhir seperti film-film Hollywood. Namun bagi saya, finale ini membekas dengan tayangan yang terekam pada pekan terakhir Liga Italia 2011/2012.
Di Turin, Alessandro Del Piero memainkan partai terakhirnya bersama Juventus. Ia turut mencetak gol dalam kemenangan 3-1 atas Atalanta untuk membawa Juve tak terkalahkan sepanjang musim yang turut menyempurnakan mahkota scudetto yang mereka raih. Highlight pertandingan ini ada pada babak kedua ketika Del Piero ditarik keluar dan mendapatkan sambutan meriah dari Juventus Stadium.
Di Milan, teriakan membahana yang memekakkan terjadi ketika Filippo Inzaghi mencetak gol yang membuat San Siro erupsi. Gol Pippo ini dicetak pada pertandingan terakhirnya bersama Milan, setelah dirinya masuk pada babak kedua. Gol ke-300 di partai ke-300. Pippo memenangkan Milan melawan Novara dalam pertandingan giornata terakhir yang tak lagi menentukan. Yang spesial, laga ini menjadi setting perpisahan sejumlah "senatori" Milan, veteran seperti Alessandro Nesta, Gianluca Zambrotta, Clarence Seedorf, dan kapten Gennaro Gattuso.
Del Piero dan Inzaghi, protagonis di dua tempat yang berbeda, pada 13 tahun sebelumnya merupakan duet yang dihormati. Mereka masih memperkuat "Super Juve" di bawah Marcello Lippi yang mendominasi Eropa. Saya, dan mungkin Anda, barangkali tumbuh pada era itu, yang juga "dimeriahkan" oleh Nesta, Zambrotta, Seedorf, dan tentunya Gattuso.
Tahun 1996 hanya ada sedikit sumber untuk menikmati sepakbola. Internet belum meraja, dan media juga masih terbatas. Waktu itu, sumber utama informasi adalah siaran sepakbola, berpusat pada Liga Italia dan Liga Inggris, yang ditayangkan stasiun televisi swasta. Tapi kondisi itu tak menyurutkan saya dan ribuan ABG lainnya untuk bisa mulai menerima sepakbola. Menggeser basket sebagai olahraga primadona waktu itu. Serangkaian pemain muda memimpin "revolusi" penaklukkan sepakbola ke jagad global.
Di Inggris, Manchester United memimpin gelombang generasi baru dengan awal hegemoni mereka di liga. Sir Alex Ferguson berhasil memperkenalkan David Beckham, Paul Scholes, Ryan Giggs dan Neville bersaudara sebagai alternatif idola baru. Di Italia, bekas punggawa muda Italia U-23 yang berhasil menjadi juara Eropa tiga kali juga mulai mengembang. Kita lantas mengenal bibit bakat baru bernama Nesta, Fabio Cannavaro, Francesco Totti, dan duet penyerang Del Piero bersama Inzaghi.
Di Spanyol, kebangkitan sepakbola juga memunculkan sosok bintang baru dalam diri Ronaldo Lima dan Raul Gonzales untuk dua kubu yang berseberangan: Barcelona dan Real Madrid. Nama-nama di atas menjadi panutan baru yang menggeser pudarnya era Marco Van Basten atau Jurgen Klinsmann sebelumnya. Penggemar baru menemukan fondasi untuk fanatisme baru yang akan dipegang selama bertahun-tahun. Pada tahun itulah jumlah penggemar Manchester United, Juventus, Lazio, dan Parma mengalami lonjakan yang signifikan. Dengan bendera baru dan maskot pemain muda berbakat, mereka menjadi garda depan imej sepakbola yang berkembang mengglobal saat itu.
Saat ini, lebih banyak informasi yang bisa diperoleh dalam mengakses sepakbola. Media tidak lagi punya banyak kuasa untuk menunjuk protagonista, seperti pada 1996. Pemain muda yang belum dikenal, bisa dalam sekejap menjadi fenomena berkat bantuan buzzer bernama YouTube, atau database gim seperti FM. Gol indah yang dicetak bisa segera melambungkan nilai ekonomis pemain, yang berimbas pada kemampuan publikasinya. Maka, bintang pun tidak lagi menjadi daya tarik, meski sebagian masih menjadi tumpuan (seperti Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo).
Dengan intensitas pemain baru yang dikenal, serta frekuensi pertandingan yang memadat (serta tekanan yang bertambah), maka kebutuhan pemain baru semakin dituntut untuk terbarukan. Faktor "nilai produktif" yang tersemat pada pemain juga menentukan. Dulu, pemain mempunyai daur sahih yang bisa dibuktikan dari sisi kualitas. Mereka bisa bermain di kasta atas selama masih mempunyai kapasitas. Sekarang, ada daur edar yang seperti standar industri. Tenaga kerja di sepakbola makin memuda (usia debut dan pensiun semakin maju). Hal itu ditentukan oleh nilai investasi bagi pemain, yang berhubungan dengan harga dan aspek ekonomis.
Normalnya, seorang pemain akan mulai menjadi bintang pada usia 21-23 tahun (sesuai jenjang kelulusan dari tim junior), dan akan bertahan sampai usia 35 tahun. Setelah 35 tahun adalah gracing periode, dimana kemampuan fisik mulai turun, sehingga bintang mulai meredup. Namun sekarang usia bintang memuda. Messi atau Ronaldo belum genap 18 tahun ketika menjadi bintang. Di sisi lain, banyak bintang yang meredup bahkan sebelum mereka menginjak kepala tiga. Ini adalah siklus yang sahih terjadi di sepakbola saat ini.
Periode terakhir pemain dengan durasi "old school" terjadi pada angkatan sebelum tahun 2000. Mereka yang pensiun pada saat ini: Inzaghi, Del Piero, Gattuso, Nesta, adalah produk sistem lama yang memungkinkan mereka masih bermain di usia 36 tahun ke atas.
Momen perpisahan mereka memang spesial bagi saya yang tumbuh bersama kebintangan para senatore tersebut. Saya tumbuh mencintai olahraga ini dengan menyaksikan mereka bermain. Gattuso datang ke Milan semenjak 1998. Clarence Seedorf dan Nesta berkostum merah-hitam selama 10 tahun. Rentang masa yang sangat lama untuk membuktikan pengabdian. Juga Zambrotta dan Del Piero yang selalu menjadi bagian dari gemerlap panggung Serie A dan La Nazionale, Italia.
Mereka kini menyatakan addio, dan sejenak saya merenungi time span yang cukup lama dalam dunia sepakbola. Gol-gol, selebrasi, trofi, medali, kebahagiaan, kesedihan, dan segala emosi yang pernah dibagi oleh Pippo cs.
Arrivederci senatori.
6 komentar
lalu penggantinya siapa bung?
apakah menurut anda akan ada revolusi cukup besar di Milan musim depan bung?
bung?
Kurang tahu, bung. Bung? Bung?
Tampaknya sambungan terputus pemirsaaa, kita akan ikuti kuis.
Traore, Montolivo sudah pasti Bung.
Mudah2an bisa gaet Tevez. Haha... (doa Milanista dal Argentina)
Sayang sekali saya tidak bisa menyaksian perpisahan mereka. [Di tipi saya gak ada. :-P]
Bagaimanapun: selamat jalan, para juara!
Arrivederci senatori.
masa saya sudah lewat sejak Baresi, Maldini dan Costacurta pensiun.
selepas itu saya sudah tidak terlalu mengidolakan pemain2 Milan lagi..
saya lebih mengidolakan Milan-nya sebagai klub, bukan person to person lagi
@Jati: Pemain Argentina akhir-akhir ini sepertinya agak kurang jodoh dengan Milan, bung.
@Ipul: Bener juga. Saatnya berorientasi ke klub nih.
Posting Komentar