Arrivederci Surabaya
Bulan Februari 2004, saya bersama tiga kawan kuliah pergi ke ibukota provinsi Jawa Timur, Surabaya.
https://www.helmantaofani.com/2012/10/arrivederci-surabaya.html
Bulan Februari 2004, saya bersama tiga kawan kuliah pergi ke ibukota provinsi Jawa Timur, Surabaya.
Kepentingannya adalah untuk menghadiri konser band asal Jerman, Helloween, yang dijadwalkan naik pentas pertama di Indonesia dalam tur 3 kota. Di awali di Surabaya.
Kami berangkat menggunakan kereta ekonomi dari stasiun Jebres, Surakarta menuju stasiun Gubeng. Ini adalah perjalanan on-purpose pertama saya ke Surabaya. Sebelumnya pernah transit sejenak, tapi tidak pernah sungguh-sungguh bertujuan ke Kota Pahlawan.
Kami menghabiskan 3 hari di sana. Di seputar agenda utama, menonton konser, sempat juga kami menjelajah ke bagian inti kota. Kawasan sekitar stadion Tambaksari yang menjadi venue, Tunjungan, Delta Plaza, dan sebagainya. Saya merasa senang dengan aura kotanya sehingga bergumam, "Oke juga sepertinya bila nantinya bekerja di sini." Saat itu saya ada di semester akhir kuliah.
Usai menamatkan studi, resmi pada Maret 2005, saya mendapat panggilan tes untuk harian Kompas. Lokasinya? Surabaya. Wah, Tuhan mendengar gumaman saya. Melalui proses yang lumayan lancar, per-Mei 2005 saya mulai menjadi buruh di Surabaya - sebagai karyawan Kompas sampai sekarang. Saya lantas settling in sebagai warga Surabaya.
Pada 2008, setelah menikah setahun sebelumnya, saya mulai settling in. Saya dan istri saya, Gina, mulai menempati rumah yang kami beli di daerah Semolowaru Bahari, timur Surabaya. Artinya, resmi sudah saya bisa menyebut Surabaya sebagai hometown. Ini dilengkapi dengan kelahiran anak saya, Aksara, pada 2009, dengan tali pusarnya tertanam di bumi Surabaya.
Dua tahun kemudian, pekerjaan membawa saya pergi dari kota tersebut. Pada Desember 2010, saya mendapatkan surat tugas untuk pindah ke ibukota. Keputusannya sangat berat, tapi saya masih menetapkan sasaran antara bahwa bila dalam tiga bulan segalanya tidak berjalan lancar, maka saya akan kembali pulang ke Surabaya. Gina yang dalam proses melahirkan anak kedua kami, Magenta, tetap tinggal di rumah Surabaya.
Pada Februari 2011, Gina mendapatkan lampu hijau dari kantornya untuk mutasi ke Jakarta. Keputusan bisa diambil, bahwa kami akan bermukim di sini. Omong-omong, ada sebuah ironi lucu. Dalam masa pacaran dengan Gina (yang waktu itu kerja di Jakarta), saya sempat bergumam juga, "Andai bisa pindah ke Kompas Jakarta (headquarter), tentu akan lebih menyenangkan." Lagi-lagi, Tuhan mendengar gumaman saya, meski berjangka.
Semua anggota keluarga resmi "boyongan" ke Jakarta pada Maret 2011. Meninggalkan rumah tercinta di Surabaya, tempat tertanam dua pusar anak saya. Kami masih menyimpan sedikit asa bahwa suatu saat kami akan kembali pulang. Rumah sementara diberi status bisa dikontrakkan.
Setahun berselang, Tuhan mengabulkan gumaman saya tidak setengah-setengah. Rejeki-Nya memungkinkan kami membeli rumah di Tangerang Selatan, untuk kembali menyebut rumah di area Jabodetabek. Kami kembali settling in di Bintaro. Dalam waktu yang hampir bersamaan, rumah di Surabaya disewa oleh orang selama setahun dengan opsi pembelian (karena menunggu proses KPR).
Bulan Agustus 2012, kabar dari Surabaya menyebutkan orang yang tengah mengontrak rumah kami akan pindah ke daerah Rungkut karena mendapatkan rumah yang lebih affordable. Gina segera mengajak diskusi saya untuk segera melepas kepemilikan rumah di sana karena kita tampak susah kembali ke Surabaya (dalam term pekerjaan).
September, ada pihak yang berminat dengan rumah kami. Setelah melalui pertimbangan nostalgik yang sulit, akhirnya kami resmi melepas. Proses berlangsung sebulan. Pada awal Oktober, saya terbang ke Surabaya untuk menandatangani perjanjuan pelepasan status rumah. Sebelum menandatangani akta jual beli, kami menyempatkan menengok rumah. Sedih rasanya melihatnya untuk kali terakhir dalam status sebagai rumah kami. Gantungan burung yang dibeli oleh Nenek untuk Aksara masih eksis. Tanah tempat tertanam tali pusar para bocah juga masih ada, dengan sansiviera yang meliar.
Beberapa jam kemudian, kami resmi menjadi musafir di Surabaya. Rumah tak lagi punya di sana, dan terbang ke Jakarta sudah berarti pulang ke tempat tinggal satu-satunya.
Kini kami di Jakarta, dan saya masih belum berani menyatakan bahwa kota ini adalah tempat tinggal paripurna kami. Entah berapa kali gumaman saya yang sampai ke Tuhan menunggu untuk diwujudkan. Tapi untuk sementara, bolehlah saya bernyanyi.
"Surabaya, oh Surabaya. Kota kenangan, yang tak akan terlupa."
Surabaya menyisakan banyak sekali kenangan.
3 komentar
Huhuhu sedih lagi... Life goes on! Tolong gumamkan utk Allah memberikan kesempatan tinggal di negara 4 musim 2/3 tahun saja.
akhirnya dijual man?
he2.. mampir nih aku. mencoba membangkitkan semangat menulis dari temanku yg paling produktif..
"ayo semangat nulis" *menyemangati diri..
tanpa sadar saya jadi menahan emosi sepanjang membaca tulisan ini *handkerchief*
selamat menjalani hidup baru di ibukota :)
Posting Komentar