Belajar "Melihat" Bola
Giovanni Guzzo melalui 34 tahun dengan kegelapan total. Tak lama melihat dunia, kebutaan menghampiri dirinya bersama penyakit campak. Tet...
https://www.helmantaofani.com/2012/11/belajar-melihat-bola.html
Giovanni Guzzo melalui 34 tahun dengan kegelapan total. Tak lama melihat dunia, kebutaan menghampiri dirinya bersama penyakit campak. Tetapi si bayi Guzzo, dan juga orangtuanya, tak pernah patah semangat. Ia tumbuh besar, menajamkan intuisi, dan sekarang menjadi atlet Judo bagi tim nasional paralympic Italia.
Guzzo juga seorang penggemar berat sepakbola. Ia selalu hadir di stadion kala tim pujaannya, Juventus, bermain. Tunggu. Bukankah ia buta sejak bayi? Bahkan seragam si Nyonya Tua sekalipun tak ia kenali, alih-alih membedakan Arturo Vidal dan Mauricio Isla.
Guzzo biasanya datang bersama temannya yang akan menjadi pemandu tentang situasi lapangan. Tapi ia juga bisa "melihat" sepakbola dengan gayanya sendiri.
"Saya menyerap energi dan antusiasme tifosi lain di sekeliling," ujar Guzzo kepada Gazzetta ketika ditanya bagaimana ia menikmati sepakbola. "Saya bisa merasakan ketegangan ketika Juventus diserang, dan juga tertular euforia ketika tim mencetak gol."
Ketika pertandingan melawan Chelsea di Juventus Arena, Selasa (20/11) lalu, ia bahkan bisa mendahului rekannya tentang siapa pencetak gol pertama Juve.
"Ketika stadion bersorak, saya mengatakan itu Quagliarella," cerita Guzzo. Seisi stadion mungkin masih bingung dengan bola tendangan Pirlo yang berbelok setelah mengenai Fabio Quagliarella. "Teman saya bahkan tak percaya bila saya benar. Saya bisa merasakannya."
Guzzo selalu menonton pertandingan Juventus. Bahkan dalam beberapa kesempatan ia turut menyertai Buffon cs kala pertandingan tandang.
"Pada pertandingan tandang, saya hanya membalik cara 'melihat' dari gim kandang," kata Guzzo yang mengaku menggemari Claudio Marchisio ini.
Di kalangan tifosi, Guzzo adalah orang spesial. Ia dipandang sebagai simbol penggemar yang bisa memasukkan kecintaan melebihi citra. "Giovanni melihat sepakbola dengan cara paling benar," tutur tifoso yang sering mendampinginya. "Kadang ia bisa mengapresiasi dari aura semangat juang yang terasa meski kalah, padahal kami semua sibuk mencela."
Sepakbola adalah bahasa universal. Ketika peluit ditiup, ribuan orang berbicara dengan bahasa yang sama. Bahkan bagi orang yang tak bisa melihat. Kita mungkin pernah mengalami masa duduk bersama di depan pesawat radio mendengarkan siaran pandangan mata. Pengalaman itu membuktikan bahwa sebetulnya olahraga indah ini sederhana dan menembus ruang tri matra.
Meski demikian, adalah sahih berpendapat segelintir pihak yang demikian bebal tak tertembus bahasa sepakbola. Guzzo yang buta boleh jadi senang Juve mengalahkan Chelsea 3-0. Tapi di sisi lain, pemilik Chelsea, Roman Abramovich memecat pelatih Roberto Di Matteo yang telah memberi gelar idamannya, Liga Champions. Di Matteo baru bertugas 8 bulan, dan sementara Chelsea masih bersaing di papan atas klasemen Liga Inggris. Entah dalam bahasa apa Roman melihat sepakbola.
Di benua lain, entah dalam bahasa apa pula para petinggi sepakbola Indonesia melihat olahraga ini. Tim merah putih berjuang dengan skuad seadanya di Piala AFF, padahal mereka membawa nama negeri. Harapan, keriaan, dan euforia suporter barangkali merupakan kurikulum asing bagi mereka.
Mungkin kita semua patut belajar dari Guzzo tentang cara melihat sepakbola.
Posting Komentar