A Warp Too Fast
Bagi non-trekkies (sebutan untuk yang bukan penggemar franchise Star Trek), film pertama Star Trek (2009) karya JJ Abrams mampu mengan...
https://www.helmantaofani.com/2013/05/a-warp-too-fast.html?m=0
Bagi non-trekkies (sebutan untuk yang bukan penggemar franchise Star Trek), film pertama Star Trek (2009) karya JJ Abrams mampu mengantar mereka untuk memahami jagad raya adaptasi cerita Gene Roddenberry. Non-trekkies bisa mengerti karakteristik James Kirk, bangsa Vulcan dengan ikonnya, Spock, dan berbagai karakter lain yang turut memberi sukses Enterprise bertahan menahun di televisi.
Bab pertama adalah prolog, lalu ekspektasi tentang sambungan Star Trek yang dirilis pekan lalu tentu meninggi. Dunia apa lagi yang akan dibawa Abrams bagi semua penonton untuk bersentuhan dengan luar angkasa?
Abrams dan tim penulis naskahnya (Orci-Kurtzman) memanggungkan Khan, salah satu villain terberat dalam sejarah Star Trek. Film fitur panjang terakhir yang cukup sukses dari Star Trek adalah versi The Wrath of Khan (1982) yang menewaskan Spock. Sehingga, Khan dianggap sebagai nemesis Star Trek era James Kirk. Kini ia muncul lebih awal, di instalasi kedua, dengan Benedict Cumberbatch yang sohor sebagai Sherlock Holmes memerankan sang penjahat.
Inti konflik dari film ini berpusar di lingkaran intrik yang menyelubungi kehadiran Khan, dengan kru Enterprise terjebak di tengahnya. Bagi trekkies, kehadiran Khan bisa meletupkan emosi mereka ketika mengetahui sang nemesis muncul di sekuel awal. Bagi non-trekkies, Khan tetaplah penjahat biasa. Penampilannya bahkan manusia, bukan alien layaknya bangsa Romulan di film pertama.
Benedict Cumberbatch juga tidak memperlihatkan aura sebagai super-villain yang mampu memberikan teror terhadap kru Enterprise. Tidak sesuai dengan premis yang diantar trailernya.
Cumberbatch dengan suara bariton berat, satu genre dengan Alan Rickman atau Jeremy Irons, sebetulnya lebih cocok mengisi karakter psikologis, bukan fisik. Alhasil, Khan di Star Trek Into Darkness tidak terlihat sisi fierce-nya yang membuat Spock versi Leonard Nimoy terpaksa mengorbankan diri sendiri.
Non-trekkies mungkin bertanya, apa istimewanya Khan? Di film pertama, penggemar dimanjakan dengan gambar-gambar indah luar angkasa, lubang hitam, pertempuran kapal angkasa, dan teknologi advanced (warp). Di film kedua, tidak banyak keindahan angkasa, pertempuran kapal, dan pemanfaatan teknologi. Lebih banyak didominasi adegan laga fisik.
Sayang, padahal di awal film Abrams telah membangun dengan cantik adegan di Planet Nibiru. Script kecil di hutan merah dan planet vulkanis itu mirip dengan kasus yang sering dihadapi kru Enterprise di serial televisinya. Mereka menyelesaikan satu kasus dengan teamwork, dan kecanggihan teknologi yang di-ekspose dalam kaidahnya sebagai film sci-fi.
Khan mendistorsi ekspektasi itu, dengan menggeser Star Trek Into Darkness lebih ke ranah laga (pop action) dan thriller (dengan kerumitan skenario). Mungkin memang belum saatnya, bagi non-trekkies, untuk diperkenalkan dengan sang super-villain, ketika mereka masih mencoba meraba luasnya dunia Star Trek.
Posting Komentar