Di Luar Kurikulum
Dulu, ketika kuliah, adrenalin masa muda memicu untuk terus bergolak memberontak. Salah satu yang acap dikritisi adalah sistem kurikulu...
https://www.helmantaofani.com/2013/08/di-luar-kurikulum.html?m=0
Dulu, ketika kuliah, adrenalin masa muda memicu untuk terus bergolak memberontak. Salah satu yang acap dikritisi adalah sistem kurikulum dan pendidikan yang dirasa mengurung. Bermodal buku Paulo Freire, saya bahkan menghasilkan konsep monumen kubus yang dipasang di almamater. Karya arsitektural saya yang pertama dan satu-satunya.
Sekitar sewindu dari diskursus-diskursus informal mengenai sistim pendidikan, saya mendapatkan pernyataan ter-dead-poet-society dari ayah saya. Ini adalah orang yang sangat percaya dengan pendidikan formal. Semua anaknya lulus S1, separuhnya rampung S2, dan satu lagi meniti ke jenjang S3. Jadi, "rebel with a cause" jauh dari klasifikasinya. Apalagi ia dua kali menjaabat sebagai kepala pemerintahan daerah, yang tentunya juga mengurusi pendidikan warganya.
Tahun ini adalah akhir periode ayah menjabat sebagai kepala pemerintahan Kab Temanggung. Di masa pensiunnya, dalam usia 67 tahun, ia mendirikan pesantren untuk jenjang SMP dan SMA yang dimulai tahun lalu. Awalnya saya berpikir ia ingin melibatkan diri dalam sistem pendidikan. Tapi yang menarik, para lulusan SD itu tak akan mendapatkan sekolah formal. Di pesantren yang bernama Nida Al Quran ini, siswa akan belajar tentang agama (terutama pemahaman kitab suci Al Quran) dan ilmu agrikultur dasar (bercocok tanam dan beternak).
Siswa pesantren tetap diberi pembekalan pengetahuan layaknya sekolah formal, tetapi tidak berdasarkan kurikulum yang berlaku. Mereka akan berjuang mendapat ijasah kesetaraan melalui program Kejar Paket bila hendak melanjutkan ke jenjang formal (SMA atau PT). Ayah berpendapat bahwa pesantren dengan sekolah formal akan lebih berat ke sekolah, dan anak-anak seusia SMP terlalu berat menanggung beban kurikulum. 7 jam belajar di sekolah akan menguras mental ketika mereka harus kembali membuka pelajaran agama pada petang dan malam hari.
Menurut ayah, bagi penduduk desa, keterampilan dasar bertani dan beternak justru akan menjadi bekal sesungguhnya. Ia melihat banyak lulusan sekolah formal yang malah pergi ke kota dan gagal bersaing dengan tenaga kerja setempat. Kontribusi mereka jadi sia-sia, dan lebih baik dimanfaatkan di desa. Dengan bekal agama, ayah juga berharap akan memperbaiki korupsi mental yang melanda petani dan peternak saat ini akibat tekanan ekonomi.
Bagi saya, itu adalah visi panjang namun bersahaja. Ketika membahas hal itu, yang pertama teringat di kepala saya adalah diskusi-diskusi panjang mengenai peliknya sistim pendidikan pada masa kuliah. Implementasi dari orasi membara waktu itu, diam-diam dijalankan oleh ayah melalui pesantrennya. Walk the talk?
Posting Komentar