Riwayat Nirdistorsi
Lately, banyak buku non-fiksi yang berbentuk oral history. Penyampaian suatu topik dari banyak narasumber. Hell, bahkan buku fiksi ada ...
https://www.helmantaofani.com/2013/09/riwayat-nirdistorsi.html
Lately, banyak buku non-fiksi yang berbentuk oral history. Penyampaian suatu topik dari banyak narasumber. Hell, bahkan buku fiksi ada yang memakai format oral history macam World War Z (the book, not the film).
Di film, oral history sering dipakai untuk keperluan film dokumenter. Fakta dan opini dalam film dokumenter biasanya meluncur dari narasumber, dengan narator (perwakilan sutradara/film maker) berfungsi sebagai moderator. Kesan yang ingin didapat adalah kesimpulan objektif karena pendapat dari banyak orang.
Stories We Tell, film karya Sarah Polley, adalah film dokumenter. Masih memakai pakem sama, oral history, film ini bercerita tentang kehidupan ibu Sarah, Diane. Yang diwawancara adalah ayahnya (Michael Polley), empat saudara-saudari, kerabat ibunya, serta...dirinya sendiri! Bukan dengan cara breaking the fourth wall, tapi ayahnya membacakan statement Sarah. Karena bercerita tentang sosok ibunya, maka Sarah mempunyai hak demokratis untuk memberikan pendapatnya.
Untuk mengkreasi ulang gambaran kehidupan ibunya, Sarah merekam gambar yang diperankan aktor dan aktris sebagai ilustrasi. Semua gambar ilustrasi direkam dengan kamera Super 8, lalu digabungkan dengan footage sebenarnya yang di-rip dari film dokumentasi keluarga. Cara yang unik, dan bahkan di beberapa scene kita tak bisa bedakan mana ilustrasi dan mana yang footage asli.
Konsep rasanya menjadi pemenang utama yang menonjol dalam Stories We Tell. Sarah Polley mempunyai cara yang sangat unik untuk menyampaikan kisah penting dalam hidupnya.
Oral history pada film dokumenter umum biasanya mengikuti alur ketat yang telah ditetapkan oleh penulis atau sutradara. Sementara pada Stories We Tell, oral history berjalan impromptu. Bahkan Sarah sengaja membiarkan proses pembuatan dokumenter ini terekspose. Misalnya proses pengisian narasi oleh ayahnya, atau wawancara dengan saudaranya yang acap keluar jalur - layaknya obrolan kakak dan adik.
Magnet yang menempelkan semua narasi itu adalah fakta mengejutkan yang mempertanyakan legitimasi biologis Michael Polley sebagai ayah kandung Sarah. Ini disampaikan secara langsung oleh pihak pertama dan kedua. Rasanya, kejujuran, ekspresi, dan nirdistorsi cerita menjadi cita-cita yang ingin dicapai Stories We Tell. Di dalamnya ada banyak renungan-renungan manusiawi yang sangat menohok.
Sarah, ayahnya, dan beberapa tokoh lain sangat piawai menulis surat. Surat-surat itu menjadi bahan narasi yang memberikan kesimpulan terhadap isi film. Seperti kutipan Pablo Neruda yang dibacakan oleh Michael Polley.
"Love is so short. Forgetting is long."
Posting Komentar