Degradasi Kualitas Komunikasi
Satu hal, benarkah kita sekarang bisa hidup tanpa ponsel? Orang yang masih mengalami zaman pra-ponsel tentu yakin menjawab bisa. Sebaga...
https://www.helmantaofani.com/2013/11/degradasi-kualitas-komunikasi.html?m=0
Satu hal, benarkah kita sekarang bisa hidup tanpa ponsel? Orang yang masih mengalami zaman pra-ponsel tentu yakin menjawab bisa. Sebagai individu yang terjebak di antara era telepon engkol dan kini smartphone, saya akan menjawab sulit. Sesusah untuk tidak menengok isi grup kerusuhan di Whatsapp atau mention-an di Twitter pada saat jelang dan bangun tidur. Ponsel jadi bagian dari ritual hidup kita, dan dari satu sisi itu menambah beban.
Betapa tidak. Dulu para pakar merumuskan tiga kebutuhan primer manusia. Sekarang, kebutuhannya menjadi bertambah lagi. Entah aktualisasi atau stay informed. Dulu, untuk tahu update skor sepakbola saya mesti menunggu di koran sore agar menjadi yang pertama update. Sekarang, internet yang terpaket dalam ponsel saya menjadikan ritual baru. Kadang bangun tengah malam hanya untuk cek skor pertandingan yang terlewat beberapa menit sebelumnya.
Dalam hubungan antarmanusia, ponsel juga mengubah karakter manusia. Saya masih ingat jaman berjuang mendapatkan gebetan dulu, mesti menyambangi telepon umum kartu di gedung kampus yang terkenal angker pada malam hari. Sudah susah-susah menyabung nyali, eh sang gebetan tidak ada di kos. Komunikasi zaman dahulu tidak mengenal konfirmasi layaknya zaman ponsel. Sekarang, kita selalu di-update.
Ponsel ini menyurutkan nyali. Coba tanya ke anak muda zaman sekarang yang coba jemput gebetan ke rumahnya. Paling-paling, sampai di depan rumah, ia akan mengirim pesan entah via Line, BBM, atau Kakao-nya, "...Beb, udah di depan rumah nih. Keluar dong."
Situasi ini tentu beda dengan ngapel zaman dahulu. Telepon sudah, kita masih harus berhadapan dengan orangtua sang gebetan. Atau kadang mbak-mbak senior yang kos di tempat sama. Aneka pertanyaan dan basa-basi menjadi pengantar sebelum bisa mengajaknya keluar.
Ponsel juga memperpendek urat sabar. Berulang kali, saya dan istri terlibat pertengkaran sepele hanya gara-gara "teror telepon" ketika mendapati salah satu di antara kami meleset sekian menit dalam janjian di stasiun kereta. Pengguna aktif ponsel tentu tidak akan bisa janjian bertemu tanpa mendapati update minute by minute.
SMS: Ketemuan yuk, di foodcourt bawah Pasaraya jam dua siang.
Jam duaan: "Eh, lu dimana? Gua udah di foodcourt nih. Sebelah mananya konter KFC?"
Padahal kalau mau sedikit berusaha, pasti dengan mudah ketemu. Saya ingat pengalaman yang kadang membuat kagum, sebagai generasi ponsel. Dahulu, sekitar awal 2000-an, di mana penggunaan ponsel belum marak, saya janjian bertemu dengan teman kuliah di terminal Blok M. Tidak spesifik di mana, hanya terminal Blok M. Padahal terminalnya sendiri besar, apakah di tempat mangkal bis, atau di dalam pasarnya?
Sesampai di terminal Blok M, saya menelpon rumah teman saya menggunakan telepon umum. Kata ibunya, ia sudah berangkat sekitar sejam yang lalu. Akhirnya, saya menunggu di jalan keluar terminal, sebagai upaya logis mengikuti alur penumpang turun. Dan benar adanya, saya bertemu dengannya. Ia juga berpikiran sama dengan saya dengan mengantisipasi di jalur keluar. Telepatis. Keterbatasan tenyata bisa meng-exercise otak kita untuk bisa berkomunikasi lebih advanced.
Oleh karena itu, sekarang ini saya tengah meng-enhance kemampuan dan kualitas berkomunikasi saya, khususnya dengan istri. Ketika hari libur, dan kita ke mal, destinasi kami biasanya berbeda. Saya sering ke toko buku dan toko musik, istri menjelajah konter fesyen. Biasanya kami membawa ponsel dan bertukar update posisi masing-masing. Nah, akhir-akhir ini kami meninggalkan ponsel kala bertandang ke mal, dan menggunakan metode lawas berupa janjian.
Jam sekian, kita bertemu di depan konter A.
Metode ini akan meng-enhance banyak hal. Kepercayaan, yang pertama. Bahwa istri saya akan tiba di tempat janjian pada waktu yang disepakati. Juga untuk tidak terlalu banyak menggugat manakala ia belum tiba di lokasi pada masanya. Komitmen juga akan dilatih, karena kita tidak bisa mengingkari janjian dengan membuat alibi melalui update ponsel. Hasilnya, kualitas komunikasi kami membaik. Misalnya ketika salah satu terlambat tiba di stasiun, tidak ada barisan miscall menjengkelkan yang memenuhi layar notifikasi.
Ponsel, yang notabene adalah media komunikasi, memang seharusnya bisa meng-upgrade kemudahan saling berhubungan. Tetapi, karena masuk dalam gaya hidup, kehadirannya malah memengaruhi, bahkan merubah kebiasaan positif yang dulu sudah kita punyai.
Posting Komentar