Menjual Tema Cinta
Will Hermes, wartawan majalah Rolling Stone, menulis dalam review-nya tentang album kesepuluh Pearl Jam. "Ini adalah ketika Eddie V...
https://www.helmantaofani.com/2014/02/menjual-tema-cinta.html?m=0
Love in the face of mortality, demikian Hermes, memang menjadi tajuk dari album yang memakan waktu lebih dari empat tahun masa pengerjaan. Periode terlama dalam sejarah Pearl Jam. Begitu lama, sehingga sebagian besar fans berharap sangat tinggi kepada bayi kelima yang kelahirannya dibidani oleh produser Brendan O'Brien. Tampaknya melanjutkan formula sukses Backspacer.
Backspacer yang dirilis pada 2009 berhasil menempatkan Pearl Jam kembali dalam pemetaan industri musik dengan meraih gold certificate serta meraih posisi wahid dalam chart album Billboard. Secara materi, Stone Gossard cs juga berani mendobrak pola dengan menempatkan lagu-lagu pendek (total clocking Backspacer hanya setengah jam lebih 6 menit). Yang paling penting, aransemen musik dalam Backspacer mulai mencicipi citarasa komersial dengan masuknya polesan-polesan kibor dan bahkan string section.
Ketika Lightning Bolt digadang rilis pada pertengahan tahun 2013 ini, penggemar berharap ada formula kejutan untuk mengimbangi Backspacer. Apalagi, rentang waktu dari album kesembilan menuju Lightning Bolt banyak diambil dalam aktivitas berbau retro. Mulai dari rilis ulang 3 album pertama, hingga film Pearl Jam Twenty (dan konser pendukungnya) yang seolah memberi teaser Pearl Jam untuk kembali ke masa lalu.
Single pertama dari Lightning Bolt dirilis pada Juli 2013. Berjudul "Mind Your Manners", single ini menjadi familiar dengan rentetan lagu dengan beat kencang yang dipasang sebagai anak sulung. Premis ini membawa ke memori Riot Act (2002) dan Vitalogy (1994) yang juga memasang lagu punkish sebagai single utama. Musik Pearl Jam masih bernafas dengan pola masa lalu, hanya saja ada sedikit bocoran tentang produksi lagu yang agak ekstravagans dengan menambah gain di intro rif Mike McCready pada "Mind Your Manners".
Tak lama dari peluncuran single, Pearl Jam kembali memberi teaser lagu baru dalam konser sold out mereka di Wrigley. “Lightning Bolt” dan “Future Days” dipanggungkan di hadapan 30.000 lebih penonton yang rela menunggu 4 jam dalam konser yang ditengahi lightning bolt betulan ini.
Ketika “Lightning Bolt” bicara dalam bahasa musik yang familiar (sepintas berasa “Unthought Known”), “Future Days” menawarkan terobosan lain. Ini adalah lagu pertama dari Pearl Jam yang berbasis instrumen pencet. Vedder bermain dengan iringan Brendan O'Brien yang bermain kibor sebagai core musik dari lagu balada tersebut. Di sana, penggemar mulai menebak bola liar dari arah musik (album) Lightning Bolt.
Misteri mulai terbuka ketika 4 lagu dari album baru bocor. Selain title track, yang pertama dalam sejarah Pearl Jam, materi “Swallowed Whole”, “Let the Records Play”, dan “Getaway” bisa didengar oleh publik. Kemungkinan, materi ini bersumber dari pitching deal Pearl Jam dengan Fox untuk penggunaan lagu-lagu mereka bagi event World Series Major League Baseball (MLB).
Empat lagu yang bocor, ternyata, menawarkan konsep musik yang masih selaras dengan Backspacer. Track musik yang sederhana, straightforward, dan cukup banal sebetulnya karena kita bisa menebak materi mentahnya. Pada periode ini, judul lagu dalam album juga mulai dibuka ke publik. Hadirnya “Sleeping By Myself” yang diambil dari album solo Vedder, Ukulele Songs (2011) menjadi pangkal kontroversi panjang. Apalagi, review dari para penggemar yang mencicipi lagu ini di listening session sebelum rilis sepakat menghujat tentang eksistensi karya solo pertama yang angkat ke dalam diskografi band.
“Sirens”, the game-changer
8 lagu sudah dikenal, dan rata-rata tidak menimbulkan wave yang cukup besar - sebagaimana Backspacer yang menghentak lewat “The Fixer”, “Got Some”, dan “Just Breathe”. Harapan tinggi mengapung pada 4 lagu sisa.
“Pendulum”, “Infallible”, “Yellow Moon”, dan single baru berjudul “Sirens” ternyata makin menambah turbulensi kontroversi. Sirens khususnya.
Dirilis sebagai single kedua, “Sirens” adalah gambaran lagu dengan produksi komersial yang heboh. Liriknya juga berbicara tentang cinta, meski bobotnya tentu berbeda dengan lagu cinta populer. Let the rants begin.
Bila No Code (1996) menyaring penggemar Pearl Jam, maka Lightning Bolt akan menjadi saringan kedua. “Sirens” adalah modus bagi band untuk membuat “Last Kiss” jilid dua. Sebuah lagu yang akan membuat jembatan Pearl Jam untuk tak hanya kembali ke industri, tetapi juga menyentuh kalangan penggemar baru.
Secara angka, data menyebut “Sirens” memuncaki chart pembelian lagu rock di iTunes dari banyak negara. Radio airplay “Sirens” juga mulai meningkat dibanding single Pearl Jam sebelumnya. Selang sebulan, ketika album dirilis, terbukti memang “Sirens” menjadi propelan tepat untuk mengangkat Lightning Bolt ke puncak penjualan album Billboard minggu ketiga Oktober 2013.
“Sirens”, meski diawali dengan penolakan, mulai tumbuh sebagaimana “Last Kiss”. Singalong dari hari ke hari di konser semakin bertambah kencang. Penggemar lama juga mulai menelan konsep dari lagu balada ini, ditambah dengan asupan rata-rata lagu dari Lightning Bolt yang memang bertempo pelan. Mungkin konsep ini memang lebih cocok bagi personil Pearl Jam yang mulai menatap kepala lima pada tahun ini.
Lirik Cinta Vedder
Pilihan untuk mengelaborasi tema cinta adalah pola jualan usang. Tapi Vedder berhasil menyelamatkan muka Pearl Jam sebagai produsen syair berkualitas dengan mengambil angle yang ekstrim: kematian.
Tak hanya kematian secara individu, bahkan kematian massal yang diwakili oleh tema-tema kiamat. Simbolisme end of day melalui berbagai mitologi diulas sebagai pembungkus tema sederhana yang ia tulis. Dalam “Lets the Record Play” misalnya, Vedder bercerita tentang kecintaan terhadap vinyl dengan membuat perumpaan "...kala kiamat datang, ia memainkan rekamannya."
Di lagu lain, twist plot juga digunakan Vedder dengan membungkus tema keinginan untuk menyertai puterinya tumbuh dalam tema The Rapture. Petir dan kilat yang digambarkan dalam kejadian itu tentu akan sedikit membengkokkan atensi dari tema yang bila ditulis dengan gamblang akan membuat Pearl Jam masuk ke dalam ranah adult oriented rock. Puja dan puji bagi kematian – dalam berbagai angle, layak menempatkan Lightning Bolt sebagai album paling gothic dalam katalog Pearl Jam.
Kebetulan, Pearl Jam menemukan Don Pendleton yang juga “nakal” dalam menerjemahkan konsep lirik Vedder. Don, seperti halnya Tom Tomorrow dan Fernando Apodaca dalam dua album sebelum Lightning Bolt, diberi keleluasaan untuk mengintrepretasikan lirik album baru dalam wujud artwork. Sepakat dengan bungkus kematian, Don menyebarkan simbol-simbol tersebut dalam lukisan modern art deco yang menjadi konsep Lightning Bolt.
Pada artwork “Swallowed Whole”, asosiasi tehadap kiamat semakin menggunung ketika disimbolkan dengan ikan raksasa (leviathan?) yang menelan bumi dengan bara di atasnya. Menambah kode yang membingungkan dari artwork utama yang penuh simbol, pendengar mempunyai bahasan baru. Apa maksud dari Lightning Bolt kali ini?
Ini bukan premis asing sebenarnya, karena Vedder bemain-main dengan simbol sejak No Code, lalu menjual teori konspirasi pada saat Yield (1998), dan terakhir mengutip semangat menyambut kiamat dalam “World Wide Suicide” pada album Pearl Jam (2006).
Topik sebenenarnya sih, tak terlalu kompleks. Membenarkan istilah Will Hermes, Lightning Bolt memang bercerita tentang cinta di hadapan kematian dalam berbagai sudut pandang. Termasuk sudut pandang yang berasal dari interpretasi bebas pendengar.
Posting Komentar