Jangan Egois, Jangan Golput
https://www.helmantaofani.com/2014/04/jangan-egois-jangan-golput.html?m=0
Rentang sebulan ini, banyak status di media sosial saya yang memicu diskusi panjang. Apalagi kalau bukan menyangkut topik hangat di Indonesia. Pemilu, bukannya Bopak Costello atau MH-370. Lebih spesifik lagi, bahasan tentang golput.
Saya sudah pernah menulis sebelumnya, macam-macam golput di rumah cabang yang satunya lagi. Meminjam pembagian-pembagian yang saya lakukan di postingan tersebut, golput yang akan kita bahas ini kalangan golput-apatis khas kelas menengah perkotaan. Mereka yang hidupnya lurus-lurus saja, merasa sudah bekerja keras untuk pribadi dan keluarga, serta mengejar atau menikmati status quo. Mereka menikmati perbaikan nasib yang melanda negara kita, terlepas dari baik dan buruk kinerja pemerintah yang akan segera berakhir ini.
Biasanya mereka kritis. Lantang menyuarakan hal politis ketika pemilu mendekat. Menyuarakan opini mengenai kegagalan birokrasi, busuknya parlemen, dan sebagainya. Homo actualitus. Menyesuaikan dengan tren bahasan saja sebetulnya. Di hari lain, topik ini jauh dari konsumsi sehari-hari.
Sebentar lagi mereka juga akan membahas sepakbola, mumpung Piala Dunia. Mengamati dengan gaya lebih dari M Kusnaeni. Tapi, itu di lain bahasan.
Alasan yang paling sering mengemuka tentang golput ini adalah buruknya kualitas caleg. Berita-berita konyol caleg ini memang kerap menghiasi media sosial. Dari mbak berjilbab yang mandi ritual di sungai, poster-poster konyol entah dari pemilu kapan, sampai dengan mantan model seksi yang jadi calon legislatif. Hebohnya doang, esensi ngga ada. Khas media sosial Indonesia.
Kasus hangat dan aktual memang gampang memancing orang-orang yang ingin lompat membuat sebuah logika pemikiran. Paling mudah ya orang-orang yang saya sebut tadi. Homo actualitus.
Dalam logika bahasa, sering terjadi pars pro toto. Apakah semua caleg mandi ritual di kali? Apakah semua caleg seseksi Destiara Talita? Bila memang benar 90% caleg busuk, maka kita punya kekuatan untuk menjadikan yang 10% ini wakil kita di Senayan. Caranya tentu dengan tidak golput.
Dengan golput, maka mayoritas yang busuk itu akan semakin mudah melenggang. Padahal, masa depan negara dipertaruhkan. Lucunya, mereka yang golput tentu berharap juga kondisi negara membaik. Jadi mereka ingin ada perubahan positif tanpa melakukan sesuatu. Memodifikasi sedikit kutipan Albert Einstein, "Gila itu berharap berubah tapi ngga ngapa-ngapain."
Banyak debat golput di media sosial saya yang menyertakan analogi-analogi. Paling seirng, memilih di pemilu legislatif itu ibarat memilih dua makanan yang sama-sama beracun. Logika yang absurd.
Memilih itu pasti menentukan satu di antara dua tau lebih dari hal yang berbeda. Mana mungkin memilih hal yang sama. Dengan demikian, katakanlah dua-duanya beracun, tentu kadar racunnya berbeda. Pilihan pintar, misalnya, pilih saja yang racunnya tidak terlalu fatal. Antara yang membuat gatal dan membuat tidak bisa kentut seminggu, silahkan dipilih.
Memilih juga mempunyai tujuan. Anda yang berpikiran positif dan linear akan memilih calon yang lebih baik. Dengan analogi racun, pilihan jatuh ke zat yang lebih tidak membuat gatal. Tetapi ada juga pemilih ekstrim yang memilih racun mematikan agar ia segera bebas dari penderitaan konyol harus memilih dua racun. Ia tetap saja melakukan piihan yang bisa menghasilkan perubahan.
Golput adalah malas. Malas untuk melakukan sesuatu karena menganggap tidak berhubungan dengan hajat hidupnya. Malas untuk mencari tahu caleg 10% yang mungkin memang punya niat mengabdi. Malas untuk ikut memperbaiki atau memastikan masa depan bagi anak-anaknya. Malas untuk datang ke bilik suara, dan lebih baik pergi ke Puncak. Untuk apa memilih, toh kita udah tahu hasilnya pasti parlemen busuk? Bila saya memilih, saya akan berkontribusi bagi hancurnya negara ini.
Untuk premis itu, saya berani melontarkan logika bahwa orang yang golput adalah mereka yang malas mengambil resiko. Atau tidak sadar bahwa hidup adalah kita mengambil keputusan, salah, dan memperbaikinya untuk esok yang lebih baik.
Kembali mengutip pak Einstein: "Learn from yesterday, live for today, hope for tomorrow. The important thing is not to stop questioning."
Memilih adalah civic duty. Setara dengan membayar pajak. Pembayar pajak seperti istri saya, yang tiap tahun jutaan rupiah pendapatannya disikat oleh negara, sering geram bila pembangunan tidak berjalan. Where's my money? Begitu juga dengan gambar Gayus yang kerap dipajang di momen kita mengisi SPT. Reminder bahwa uang kita mungkin saja dikemplang mafia pajak. Mereka concern karena merasa sudah melakukan pengorbanan, tapi disalahgunakan. Pembayar pajak memberi amanah ke negara.
Begitu juga dengan memilih dalam pemilu, pilkada, atau pilkades. Dalam pemilu legislatif, kita memberi amanah kepada orang-orang yang akan mewakili kita. Ketika nantinya mereka mencuri dana aspirasi atau terlibat dalam proyek busuk macam Hambalang, maka kita berhak marah karena amanah dari kita tidak berarti banyak.
Lalu bagaimana dengan yang tidak memilih, alias golput?
Anda yang pembayar pajak, bagaimana perasaan ketika melihat teman Anda yang tak pernah membayar pajak protes karena aspal depan rumahnya tidak kunjung sehalus sirkuit Sepang?
Pajak adalah akses untuk menikmati pembangunan negara. Memilih adalah akses untuk mendapatkan pemerintahan dan parlemen berkualitas. Secara logika, civic duty memang menjadi akselerator dalam mewujudkan harapan hidup warga negara. Menjadi sejahtera, dilindungi hak-haknya, dan bisa memenuhi kebutuhan adalah hak warga negara yang dijamin oleh penyelenggara negara.
Setiap doa atau keinginan diiringi ihtiar. Datangi bilik suara, lakukan pilihan! Setelah itu tawakal menerima hasilnya. Semoga pemilu esok akan menghasilkan penyelenggara negara yang berkualitas.
Posting Komentar