Ikon, Bukan Kapten
Gelar pemain terbaik turnamen di Piala Dunia 2014 tak membuat Lionel Messi bahagia. Demikian juga dengan pendukung Argentina dan penont...
https://www.helmantaofani.com/2014/07/ikon-bukan-kapten.html
Gelar pemain terbaik turnamen di Piala Dunia 2014 tak membuat Lionel Messi bahagia. Demikian juga dengan pendukung Argentina dan penonton netral yang merasa malam itu bukan milik penyerang Barcelona. Akan tetapi, pendukung Argentina mestinya punya alasan yang lebih kental untuk kecewa terhadap Messi. Mungkinkah ia salah satu penyebab kegagalan Argentina meraih bintang ketiga?
Dalam buku I Am Zlatan Ibrahimovic, striker jangkung Swedia yang pernah membela Barcelona membuka rahasia cekcok dirinya dengan Josep Guardiola, pelatih Blaugrana tahun 2010. Salah satu sumber konflik besar muncul ketika Pep, panggilan Guardiola, mengakomodasi keinginan Messi untuk menempatkan pemain Argentina itu sebagai sentra serangan. Permintaan ini muncul ketika winter break, usai pertandingan melawan Espanyol yang ditentukan gol pinalti Ibra.
Sebelumnya, Zlatan bermain sebagai target man, dengan rasio gol lumayan sukses di musim debutnya. Sebelas gol disumbang Ibra dengan dukungan Messi di sayap dalam pola 4-3-3. Messi sendiri mencetak 9 gol sampai pekan ke-15 La Liga. Saat winter break, dengan Barca bermain di FIFA Club World Cup, ia menghadap Pep dan meminta untuk kembali ke tengah. Pep mengabulkan permintaan Messi dan menyebabkan Zlatan lebih banyak menganggur, sebagai defensive forward, mirip dengan peran Fred di timnas Brasil era Luis Scolari. Di sisa musim, Zlatan hanya mencetak 5 gol tambahan sebelum akhirnya hengkang ke AC Milan.
Messi di Barcelona memang menjadi anak emas. Tetapi, karena ia alumni La Masia, seemas apapun ia akan senantiasa menjadi little brother bagi seniornya, seperti Xavi, Andres Iniesta, dan Gerard Pique. Oleh karena itu, La Pulga tak pernah menjadi sorotan sentral di Barcelona dengan adanya para senior La Masia yang selalu melindunginya. Dalam perkembangan usia dan emosinya, mungkin ia merasa "panas" dengan munculnya Cristiano Ronaldo yang datang pada musim yang sama dengan Zlatan. Madrid pada musim itu menyematkan rekor transfer untuk dua pemain sekaligus, Ronaldo dan Kaka.
Ronaldo benar-benar dimanja di Real Madrid. Ia menjadi pusat perhatian ditengah galacticos, pokok serangan, dan mengambil set pieces. Di luar lapangan, ia juga seorang protagonista, dengan kegemarannya bersolek dan gaya hidup glamor. Dalam situasi yang acap diperbandingkan, bukan tidak mungkin Messi merasa kontribusinya seharusnya cukup untuk menjadikannya sebagai pusat perhatian, di Barcelona.
Tetapi ia mungkin merasa tidak akan pernah menjadi sorotan di Barcelona. Ia tidak mungkin meminta pindah ketika tengah berada di klub terbaik dunia dengan gaji yang sudah tinggi. Bukti sahihnya hanya didapat di lapangan, dan situasi saat itu ia bahkan tertinggal gol dari Zlatan. Yang bersaing dengan Ronaldo adalah Zlatan, bukan dirinya. Sikap ini mungkin dibutuhkannya untuk menggali motivasi. Buktinya, usai menggeser Ibra, Messi "ngamuk" dengan mencetak 27 gol hingga akhir musim. Bukti lain, Messi juga terlihat tak termotivasi ketika bermain bersama timnas Argentina.
Di Argentina, sebelum era Alejandro Sabella, Messi menemui kegagalan beradaptasi di tim nasional. Ia tak menemukan sosok pelindung macam seniornya di La Masia. Ditambah dengan dirinya juga bukan satu-satunya pusat perhatian. Banyak karakter yang mempunyai ego besar seperti Carlos Tevez, Sergio Aguero, dan Gonzalo Higuain. Di dua Piala Dunia, ia mandek. Tahun 2006 ia disimpan oleh Jose Pekerman, dan di 2010 Diego Maradona menggabungkannya dengan Tevez. Nama terakhir lebih berkibar di Afrika Selatan.
Kegagalan akbar muncul ketika helatan Copa America 2011. Di bawah pelatih Sergio Batista, Argentina kandas di perempat final dengan Messi tak mencetak satupun gol. Kemenangan besar satu-satunya dari Argentina didapat melawan Kosta Rika dengan Messi menjadi sayap kanan. Sebelumnya ia selalu bermain sebagai striker sentral.
Sejak ditangani Sabella, Messi menjadi pusat atensi. Argentina era Sabella dibangun di sekitar Lionel, dengan mencoret karakter-karakter yang mungkin bisa meredupkan pijar sang pemenang bola emas empat kali ini. Situasi ini mirip ketika 1986-1990 tim Argentina dibangun mengikuti Maradona. Hanya saja, Diego berpengalaman membawa beban satu tim selama petualangannya di Napoli. Karakter itu juga kemudian dibawa ke timnas dan membawa Argentina ke final Piala Dunia dua kali berturut.
Harapan yang sama juga digantungkan Sabella kepada Messi. Tetapi fakta di lapangan tidak bisa bohong. Sepanjang kualifikasi dan fase grup Piala Dunia boleh jadi teori Sabella terbukti, Tetapi dalam tekanan yang besar seperti ketika masuk fase gugur dan bertemu tim besar, Messi terlihat tak mampu menanggung beban. Justru eks kapten Argentina, Javier Mascherano, yang mengambil alih sebagai pemimpin de facto dari grup pemain yang mengisi tim Tango. Dalam beberapa kesempatan, Mascherano mengambil alih team talk, yang sejatinya tugas dari kapten. Determinasi gelandang bertahan Barcelona ini juga jauh melampaui Messi.
Leo Messi habis sejak fase grup. Ia tak pernah bisa mencetak gol, meski sekali mengirim umpan kemenangan kepada Angel Di Maria ketika melawan Swiss di 16 besar. Bertemu Belgia dan Belanda, permainan Messi makin menurun. Kulminasinya tentu pada partai final, menghadapi Jerman. Ditekan di babak pertama, Argentina mengandalkan serangan balik cepat yang bertumpu pada Ezequiel Lavezzi. Striker bogel klub PSG tersebut merusak pertahanan Jerman dan bisa berkombinasi dengan Gonzalo Higuain. Lionel Messi yang dimatikan oleh bek Jerman sering hanya menonton peluang demi peluang gagal dari Higuain dan Lavezzi.
Ketika babak pertama berakhir, konon Messi meminta ke Sabella untuk mengganti Lavezzi dengan Sergio Aguero. Nama terakhir sebetulnya dalam kondisi kurang fit sepanjang turnamen. Messi berpendapat bahwa ia akan lebih klik dengan Aguero. Sabella akhirnya menarik Lavezzi, pemain terbaik Argentina di babak pertama. Sebuah keputusan yang tentu mengundang tanda tanya.
Di babak kedua, baik Messi maupun Aguero nyaris tanpa peluang. Keduanya juga tidak tampak bekerja sama untuk membuat perbedaan. Argentina makin tertekan. Peluang hanya muncul dari Rodrigo Palacio yang menggantikan Higuain hingga akhirnya pertandingan ditentukan oleh gol gunting Mario Goetze. Harapan Argentina pupus, dan Messi tampak sangat kecewa meski panelis memilihnya menjadi pemain terbaik turnamen. Tak ada aplaus untuk Si Kutu, secara obyektif semua penonton tahu bahwa ia bermain sangat buruk - dan mungkin membuat keputusan buruk yang mengorbankan kesempatan Argentina menjadi juara.
Permintaan Messi, bila benar, kepada Sabella mestinya bukan hal yang mengejutkan. Ia pernah melakukannya kepada Guardiola. Sama seperti Zlatan, Gonzalo Higuain di babak kedua juga kehilangan visi bermain, gagal mendapatkan suplai, dan lebih banyak mencari bola di pinggir lapangan. Intervensi Messi tidak menujukkan kapasitasnya sebagai kapten tim. Ia tidak bertindak atas kepentingan tim, dan tak tampak kuat untuk menanggung beban rekan-rekannya.
Argentina bukan Barcelona. Ia bermain di lapangan bersama pemain yang hanya sekali-dua kali bertemu. Enzo Perez, Fernando Gago, dan Lucas Biglia bukanlah Xavi dan Iniesta yang akan melindunginya. Mascherano, yang rela melepas ban kapten ke Messi, juga terlalu jauh di belakang membantu Martin Demichelis dan Ezequiel Garay.
Hasil akhir sudah ditoreh, kekecewaan Messi juga tak bisa ditutupi. Ia mengatakan bahwa penghargaan Golden Ball turnamen tak ada gunanya. Kini ia akan kembali ke Barcelona di bawah Luis Enrique, setelah satu musim gagal total di bawah Gerardo Martino. Musim lalu, Barca mendatangkan rival Messi dalam wujud Neymar. Entah kenapa permainan Neymar di Barcelona tak sebagus di timnas Brasil. Apakah mungkin faktor Messi lagi?
Musim ini, Barcelona sudah mendatangkan satu pemain lagi dengan ego yang harus ditangani Messi. Luis Suarez, yang terbukti mampu menjadi tulang punggung Liverpool dan Uruguay, akan menjadi masalah yang harus dipertimbangkan Messi. Kedewasaan yang didapatnya bersama Argentina di Piala Dunia kali ini seharusnya menjadi pelajaran besar. Kepentingan tim adalah yang paling utama. Langkah paling mudah adalah meneruskan bermain dengan semangat La Masia-nya, di manapun ia ditempatkan. Baik di Argentina dan Barcelona. Messi mungkin ikon tim, tapi jelas ia bukan leader.
Tinggal kita nantikan, apakah Enrique akan menerima ketukan pintu di tengah musim?
Posting Komentar