Haji Social Media
Hari ini adalah hari di mana kami berpisah dengan rumah untuk setidaknya 40 hari ke depan. Karena mendaftar dari kampung halam...
https://www.helmantaofani.com/2014/09/haji-social-media.html?m=0
Hari ini adalah hari di mana kami berpisah dengan rumah untuk setidaknya 40 hari ke depan. Karena mendaftar dari kampung halaman, maka tahapan pertama tentulah mudik. Maka, episode perpisahan dengan keluarga agak sedikit dipercepat sekitar dua hari.
Saya ingat dulu ketika melepas ayah haji. 40 hari barangkali waktu terlama bagi kami berpisah. Jadi memang ada drama ketika acara pelepasan jamaah haji di masjid besar Temanggung. Kali ini giliran saya yang akan berangkat dari sana. Bedanya, drama sudah terjadi dua hari lebih cepat.
Tuhan melalui Nabi pastilah sadar mengenai potensi drama-drama seperti ini di tiap episode haji. Oleh karena itu jamaah haji diwajibkan untuk memastikan urusan domestik terselesaikan sebelum menjalani ibadah. Salah satu yang penting adalah memastikan keluarga yang ditinggalkan tercukupu, sejahtera, dan tak terbebani.
Jadi, salah satu ritual tradisi yang cukup vital adalah pelepasan jamaah (walimatus safar). Secara tidak langsung, ini adalah pengingat kepada lingkungan dan kerabat mengenai tanggung jawab jamaah yang akan berangkat.
Seperti fungsi nikah yang merupakan ibadah sosial, haji juga memerlukan maklumat bahwa sang jamaah akan meninggalkan rumah dan keluarganya. Ia mendeklarasikan niat untuk tidak membebani keluarganya dengan hutang bilamana ia punya.
Dulu, haji merupakan perilous journey. Waktu tempuhnya bisa mencapai setahun dari Indonesia. Orang menyebut haji kapal. Oleh karenanya, titel haji sungguh spesial dulu. Ibnu Batutah dan Ahmad Dahlan barangkali adalah dua contoh pelaku sejarah yang mengambil manfaat dari panjangnya perjalanan haji. Sulitnya perjalanan haji membuat mereka memanfaatkan betul masa-masa tandang dari rumah, baik dengan mengembara (Ibnu Batutah) atau berguru di Makkah (Ahmad Dahlan).
Sekarang, aviasi mempermudah hubungan dunia. Travelling bukan privilese orang berada saja. Haji juga demikian. Orang bisa saja berangkat dan merencanakan mandiri, itinerari haji yang meliputi sekitar seminggu di kisaran Idul Adha. Atau bisa juga mengikuti biro perjalanan dari skala kecil sampai masif, yang diselenggarakan Kementerian Agama. Yang terakhir ini, seperti halnya kami, disebut haji kuota.
Demikian lantaran jatah Indonesia, salah satu kontingen terbesar jamaah haji, dibatasi kuota. Dengan kemudahan aviasi, keterbukaan perjalanan, maka haji juga tak lagi menjadi privilese orang tertentu. Semua orang dimudahkan untuk menunaikan rukun Islam kelima ini.
Karena mudah, maka orang bisa segera mendaftar. Eksesnya tentu kuota haji yang lekas penuh di tiap tahun perjalanan. Di ibukota, jamaah yang mendaftar pada 2014 harus menunggu hingga 2025!
Oleh karena itu, kami termasuk beruntung mengalami periode tunggu hanya 5 tahun.
Mudahnya haji, secara logika, mestinya memicu niat orang untuk berbondong mendaftar. Syarat haji hanya dua, yakni mampu secara fisik dan materi. Saya berpikir bahwa kelas menengah muda pastilah gampang memenuhi syarat tersebut. Tetapi ketika melihat sekitar, rasanya syarat tak resmi haji juga masih sahih disematkan. Kalau belum terpanggil, ya belum akan haji.
Itulah mengapa haji, dalam kondisi yang mudah seperti sekarang, masih tetaplah merupakan perjalanan istimewa bagi kami. Bila kami bangga dengan perjalanan ke Italia tempo hari, apa salahnya juga bahagia dengan perjalanan haji?
Disamping itu, sebagai homo modernis, kami adalah potret digital native yang menjadikan social media sebagai salah satu habitat hidup. Untuk haji kali ini saja kami tak mengadakan walimatus safar, sebagaimana lazimnya jamaah. Walimatus safar kami adalah kalimat mohon doa restu yang dikirim melalui email blast dan Facebook.
Riya-kah? Apapun pandangan orang, bagi kami haji adalah ibadah sosial. Seperti halnya menikah, orang harus tahu sebagai bentuk koreksi dan konsekuensi menjalankan ibadah sosial.
Orang yang menikah, ketika berbuat asusila dengan yang bukan pasangannya, akan mendapat sanksi agama dan sanksi sosial. Di mata masyarakat, si A adalah pasangan si B.
Demikian juga dengan haji. Supaya perjalanan tak sia-sia, usai ibadah, masyarakat akan menjadi kontrol sosial tanggung jawab gelar hajinya.
Sebelum ke sana, perjalanan panjang harus ditapaki dan kami baru saja masuk ke kotak start. Mulai besok, dalam kondisi sudah berpisah dengan keluarga, fokus dan atensi akan beralih ke Mekah.
Sebagaimana ucapan ketika meninggalkan rumah, kami berserah dengan menyebut nama Tuhan. Semoga perjalanan ini menjadi bekal hidup yang positif di masa mendatang bagi kami, keluarga, dan lingkungan.
Posting Komentar