Meluruskan Niat, Memantapkan Hati
Bagaimana bercerita perjalanan ibadah untuk multi-golongan? Saya rasa susah. Tapi berkaca pada keyakinan bahwa semua agama sejatinya meng...
https://www.helmantaofani.com/2014/09/meluruskan-niat-memantapkan-hati.html
Bagaimana bercerita perjalanan ibadah untuk multi-golongan? Saya rasa susah. Tapi berkaca pada keyakinan bahwa semua agama sejatinya mengajarkan kebaikan, maka saya pikir menarik juga untuk bercerita tentang ibadah dalam bahasa yang universal.
Yang ingin saya ceritakan adalah ibadah haji. Bagi yang awam terhadap agama Islam, haji merupakan pilar kelima yang harus dijalankan seorang muslim selain kalimat kesaksian Islam, salat, puasa, dan zakat. Haji diwajibkan setidaknya sekali seumur hidup bagi yang mampu secara fisik dan materi. Saya rasa penting juga diungkapkan bahwa haji juga mengikat kepada yang mampu secara batin.
Saya mendaftar haji pada 2009 silam, mengikuti "haji kuota" yang diselenggarakan pemerintah RI. Terus terang, panggilan mendaftar bukan murni dari hati saya. Ayah saya, sesuai rencananya, paripurna dari tugas negara pada 2012, lalu pada 2013 ia hendak "melapor" kepada Tuhan tentang tugasnya dengan membawa serta anak, istri, dan menantunya sebagai salah satu bentuk laporan pertanggung-jawaban. Ketika ditanya, saya dan istri langsung mengiyakan rencana berhaji pada 2013.
Ayah tinggal di Temanggung, kampung halaman saya. Sedangkan saya merantau, waktu itu, di Surabaya. Di Surabaya antrian haji kuota sudah mencapai 2017. Untuk mengejar 2013, maka kami memutuskan pindah KTP, mudik ke kampung, dan mendapatkan jatah kuota pada 2013 - tepat seperti hitungan ayah.
Tahun demi tahun berlalu, karena lama, rasanya kami tidak terlalu menghayati bahwa kami akan berhaji pada 2013. Masa berlalu, tiba-tiba anak kami sudah dua. Pada 2013, mereka berusia 2 dan 4 tahun, yang kata orang sedang lucu-lucunya. Di sinilah pentingnya mampu batin yang saya kutip di atas. Membayangkan 40 hari berpisah dengan para bayi itu membuat kami nervous.
Tuhan mensyaratkan orang yang pergi haji juga iklas melepas posesi keluarga yang ditinggalkan. Agaknya kami belum siap waktu itu. Ditambah lagi, salah satu kakak ipar saya yang juga akan pergi bersama mendapati dirinya hamil sehingga keberangkatannya ditangguhkan ke 2014.
Ketidaksiapan ini rupanya menjadi satu dan lain hal alasan kami tertunda keberangkatan hajinya. Tahun lalu ada pemotongan kuota 20% dari pemerintah Arab Saudi terhadap jamaah Indonesia. Masjidil Haram, destinasi haji, tengah direnovasi dan kapasitasnya berkurang 20%. Kami kebetulan termasuk ke dalam 20% yang terkena potong, sehingga harus mundurkan keberangkatan ke tahun ini, 2014.
Dari Agustus tahun lalu hingga Agustus tahun ini, perkenankan saya menggunakan istilah ini, kami belum merasa dipanggil. Seruan utama dalam haji adalah kalimat "Kami memenuhi panggilan-Mu, ya Tuhan."
Akan tetapi segala proses berlangsung dan mendapatkan kepastian berangkat bersama kloter 68 (kelompok terbang terakhir) Jawa Tengah, mulai 25 September atau 10 hari sebelum Idul Adha. Kabar ini dipastikan di awal September, bersamaan dengan keberangkatan kloter awal dari Indonesia. Sejak saat itulah panggilan mulai menggaung.
Saya yang tidak bisa mengikuti manasik di kampung membekali diri dengan membaja literatur dan menonton dokumenter haji. Literatur pertama yang saya baja adalah "Hadj" karya muslim Amerika, Michael Wolfe. Sebelum belajar manasik, saya ingin mendapatkan perspektif orang-orang yang menemukan panggilan ini dengan cara yang lebih sulit dibanding saya.
Wolfe adalah mualaf yang berayah Yahudi dan berbunda Nasrani. Ia melengkapi kepingan "ahli kitab" yang disebut dalam Al Quran. Dari buku Wolfe saya membaca banyak tentang memantapkan panggilan dan melebur dalam ritual haji di Mekah. Tiba-tiba haji mulai menarik bagi saya. Dalam satu masa, saya mencoba mencari makna perjalanan ini. Untuk apa? Everybody needs reason.
Buku kedua yang saya baca adalah panduan haji dari Quraish Shihab. Dari sekian buku haji, saya memilih buku ini karena banyak tinjauan historisnya. Ini sangat berguna untuk setidaknya kita memahami tentang apa yang akan kita jalani, dari sisi dasarnya. Supaya tidak hanya berwujud ritual semata, tapi memberi dimensi yang lebih dalam.
Buku ketiga barulah buku petunjuk haji. Saya memilih terbitan luar yang berisi informasi singkat untuk menghindari debat-debat fikih (yurisprudensi agama) antar-mahzab yang kerap mewarnai literatur lokal. Sebuah buku saku singkat berisi panduan ringkas makin memantapkan niat saya. Bahwa haji sebetulnya merupakan ritual sederhana. Nyaris tak ada hafalan doa, dan juga bisa dilakukan dengan relatif mudah.
Bekal ketiganya membuat kondisi saya kini, mudah-mudahan, siap menjalankan ibadah sesuai ketentuan. Segala ujian, dengan landasan atas nama-Nya akan bisa dilalui. Ujian pertama tentu saja esok, ketika yang dulu menjadi beban akan dilalui. Meninggalkan anak-anak yang saat ini sudah mulai berkata, "Mau ikut haji."
Sesuai wasiat Nabi, bahwa kita meninggalkan keluarga dengan baik, kelak akan kembali dengan baik. Rasanya itu sangat menguatkan. Kembali ke kredo, pada dasarnya semua anjuran agama itu baik, saya tentu mengharap hasil positif sepulangnya dari Tanah Suci nantinya.
1 komentar
Selamat menunaikan ibadah haji, Man.
semoga semua dilancarkan. Bisa kembali dan berkumpul dengan keluarga dan menjadi person yang lebih baik.
Aminn
Posting Komentar