Hijrah ke Madinah
https://www.helmantaofani.com/2014/10/hijrah-ke-madinah.html?m=0
Satu hijriah, sama-sama jatuh pada hari Sabtu, 25 Oktober, di Saudi dan Indonesia. Padahal, Zulhijjah dimulai berbeda yang menyebabkan ada selisih sehari dalam pelaksanaan hari raya kurban.
Ketika bulan Muharram muncul, kami harus meninggalkan Makkah menuju Madinah. Momen ini pas dengan mulainya kalender baru hijriah yang dimulai dari kepindahan muslimin dari Makkah ke Madinah. Jadi kami nostalgia perjalanan para Muhajirin, meski sebenarnya peristiwa hijrah dilakukan sekitar bulan Rabiul Awal pada jaman Nabi.
Usai berderai air mata meninggalkan Kabah, setelah tawaf wada, kami segera bertolak ke Madinah. Di sana, rombongan akan mengejar disiplin salat berjamaah sebanyak 40 waktu berturut tanpa putus. Dalam bahasa Arab, 40 disebut arbain, sehingga prosesi yang kami lakukan dikenal dengan salat arbain.
Dalam sehari ada lima waktu salat fardu. Artinya minimal akan ada delapan hari untuk mencapai genap 40. Karena kami berangkat dari Makkah, pada Sabtu subuh kami sudah mulai menghitung salat arbain pertama. Bila lancar, kami akan selesai pada pelaksanaan salat Isya pada Sabtu berikutnya.
Jadilah kegiatan di Madinah diisi dengan menunggu waktu salat (karena tidak boleh terlambat takbir pertama) dan mengisi waktu di antaranya.
Banyak yang mengatakan suasana Madinah yang relatif lebih damai ketimbang Makkah. Mungkin karena di Madinah semua jamaah bergerak dalam ritme yang sama, yaitu di seputar waktu salat fardu, sehingga suasana berkesan lebih teratur dan ada semangat kebersamaan. Waktu sibuk sama, waktu luang juga sama. Mudah membuat janji di Madinah. Antara sesudah subuh atau sesudah isya.
Di Makkah, agendanya heterogen karena aktivitas di Masjidil Haram saja ada beragam. Yang salat, tawaf, umrah (dan sai). Waktunya juga lebih fleksibel karena tidak ada keharusan untuk streak salat di Al Haram sepanjang waktu. Beberapa keyakinan Wahhabi bahkan menyebut salat di Makkah, di mana saja, nilainya sama.
Madinah berbeda. Dari awal tampaknya visi Nabi Muhammad memang menginginkan kekompakan ummah-nya yang mewujud ke dalam kota Madinah.
Dari sisi topologi kota, Madinah juga memungkinkan lebih "satu". Berupa lembah datar di sela lempeng vulkanik, Madinah juga relatif subur sehingga banyak spot hijau di dalam kota. Dulu Madinah masyhur sebagai penghasil kurma - dan sampai sekarang.
Di pagi hari, suhu di Madinah bisa mencapai 19 derajat Celsius. Siang cukup panas karena iklim kering dan angin gurun. Suhu akan kembali turun pada malam hari. Semua menciptakan dimensi yang menarik kala beribadah 5 waktu. Berbeda dengan Makkah yang suhunya relatif stabil.
Madinah adalah manifes kehidupan yang disarikan dari prinsip salat jamaah. Ritme dan bentuk kegiatan orang hampir serupa sehingga membentuk communal sense. Inilah yang kemudian melingkupi warga dan peziarah sehingga mereka merasa nyaman dan damai.
Yang jelas rasa tersebut semakin menegaskan ketepatan langkah yang diambil Nabi untuk hijrah dari Makkah menuju Madinah.
Posting Komentar