Jalan Derita Haji
Suffering make the best supplication. Penderitaan akan memunculkan doa terbaik. Dalam banyak agama dan kepercayaan, hal ini sering dieja...
https://www.helmantaofani.com/2014/10/jalan-derita-haji.html?m=0
Suffering make the best supplication. Penderitaan akan memunculkan doa terbaik. Dalam banyak agama dan kepercayaan, hal ini sering diejawantahkan menjadi ritual-ritual.
Dalam agama Islam, barangkali kita sering mendengar khasiat dari doa orang yang teraniaya (atau menderita). Ini tampak "mengamini" konsep di atas. Bila demikian, maka bisa disimpulkan bahwa ibadah haji di tahun ini nilainya hanya secuil dari haji di jaman dahulu.
National Geographic merilis foto haji tahun 1950-an menunjukkan alam Hijaz yang sama sekali berbeda dari sekarang. Nabi Ibrahim dalam Al Quran menyebut tanah Hijaz, terutama Makkah sebagai uncultivated land alias tandus setandus-tandusnya. Sampai sekarang juga masih terlihat sebenarnya, hanya saja fasilitas sudah cukup membantu melupakan fakta bahwa Makkah adalah kota di tengah gurun pasir.
Suhu di luar boleh saja 40-an derajat, tapi dengan ribuan pendingin udara, temperatur di dalam Masjidil Haram, termasuk mataf atau arena tawaf tetap dingin. Bayangkan pada tahun 1950 yang masih masjid terbuka.
Masa'a atau arena sa'i juga sangat nyaman karena lantai marmer dan pendingin udara. Masa'a sudah di-annex menjadi satu dalam kompleks Masjidil Haram. Dulu, sa'i berarti hiking di dua bukit yang terpisah 400 meter di tempat terbuka.
Ibadah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina jaman dahulu juga pasti terbayang berat. Untuk itulah Nabi membuat skema pergerakannya pada waktu malam dan pagi. Semua lokasi itu berada dj tengah bukit cadas dan sejatinya juga gurun pasir.
Sekarang, wilayah Arafah sudah coba dihijaukan dengan pohon Sukarno. Listrik sudah masuk, permukaan tanah juga rata. Tapi masih tetap suffering juga, lantaran sebatas itu saja. Kita masih berbagi panas yang sama (mungkin lebih panas) dibanding tahun 1950-an.
Mungkin karena masih terasa suffering itu ibadah wukuf menjadi sangat cetar membahana meninggalkan kesan bagi jamaah. Suffering make the best supplication.
Di Mina, kemajuan teknologi juga membuat segalanya dimudahkan. Melontar jumrah kini nyaman. Ada terowongan ber-AC dan dilengkapi travelator. Tendanya juga ber-AC, air disediakan.
Mengutip cerita para "haji kapal", mabit di Mina dulu harus pintar-pintar hemat air. Untuk ke jamarat sesuai waktu fadilah (selepas zuhur) juga perjuangan berat naik turun bukit.
Kakek saya dulu kebetulan ada yang "haji kapal". Total ia meninggalkan kampung halaman selama setengah tahun. Ini tergolong cepat pada masanya lantaran sebagian besar memutuskan untuk bertahan dulu di Tanah Suci dengan belajar agama. Ahmad Dahlan dan Hasyim Asyari contohnya.
Dengan segala kemudahan haji era sekarang, saya sering merenung kesulitan dan tantangan yang dihadapi pada "haji kapal". Mereka sungguh-sungguh "earn" titel hajinya. Dalam penderitaan mereka menemukan jalan Tuhan.
Lagipula, jaman dulu juga lebih mudah membabat manasik haji seperti contoh Nabi. Tawaf, membelai Rukun Yamani, mencium Hajar Aswad, salat sunat di Hijir Ismail, salat sunat di belakang Maqam Ibrahim, serta meratap di Multazam.
Sekarang, melakukan salah satu dari itu membutuhkan strategi tempur sedetil operasi Zero Dark Thirty. Bersaing dengan bodi besar bangsa Afrika serta calo Hajar Aswad.
Tapi barangkali di situlah jalan derita bagi jamaah masa kini agar menjadi doa yang makbul. Lupakan titel haji bila bibir belum berdarah terkena sikut efendi dari Mali ketika antri menuju Multazam.
Posting Komentar