Sama dan Setara di Mina
Di Mina, saya mengingat masa-masa menjalani kehidupan di Pesantren Al Iman, Muntilan, Kabupaten Magelang dulu. Dinamika berbagi hidup de...
https://www.helmantaofani.com/2014/10/sama-dan-setara-di-mina.html
Di Mina, saya mengingat masa-masa menjalani kehidupan di Pesantren Al Iman, Muntilan, Kabupaten Magelang dulu. Dinamika berbagi hidup dengan santri lain yang menciptakan persaudaraan, selaras dengan konteks kutbah wada (akhir) yang dilakukan Muhammad di Arafah.
Garis besar kutbah perpisahan Nabi adalah wasiatnya akan umat Islam. Ia berwasiat cukup banyak tentang persamaan hak dan kesetaraan. Saya pikir ini gayut dengan konsep wukuf dan ibadah di Masya'ir Haram (Muzdalifa dan Mina).
Manasik didasarkan pada perilaku Rasul ketika menjalani ibadah haji satu-satunya. Di Arafah, ia memilih duduk diam di bawah batthatu dan berwukuf. Pengikutnya duduk bebas di sekitarnya. Sama dan setara.
Jamaah kini juga sama. Pada dasarnya bisa duduk di mana saja asal masih di batas padang Arafah. Yang berdiam di tenda seperti kami juga mendapatkan fasilitas sama. Kami kepanasan bersama, kehausan bersama. Sama dan setara.
Usai wukuf, Muhammad memimpin umatnya ke Mina. Dalam perjalanan, ia mabit atau menginap di Muzdalifa. Istirahat di alam terbuka dan di tengah jalan berlaku untuk semua umat. Sama dan setara.
Jamaah kini juga sama. Muzdalifa adalah area di tepi jalan raya Mina - Arafah berupa area sempit berbatas pagar berjaring. Tiap 50 meter ada dua palang besi berukuran 1,5 meter untuk keluar masuk. Lebarnya sekitar 75 meter memanjang mengikuti jalan.
Sepanjang area itu jamaah dari berbagai penjuru dunia menginap semalam. Tak beratap, tidur di padang pasir sambil menunggu mendapatkan setidaknya larut malam. Anda bisa duduk atau berbaring di sebelah siapa saja. Sama dan setara.
Tujuan Nabi adalah ke Mina untuk prosesi melempar tiga jumrah dan berkurban. Mina adalah lembah yang diapit bukit, terdekat untuk menampung sekitar 10.000 muslimin jamaah haji di era Nabi. Di sana mereka mendirikan tenda dan melalui prosesi yang sama.
Kini Mina menjadi kota tenda yang bisa menampung 4 juta manusia. Mina seperti rahim, kata Nabi, bisa membesar menampung berapapun jamaahnya. Visi itu ada ketika muslimin berjumlah puluhan ribu, bukan jutaan seperti sekarang. Tapi tetap akurat.
Di Mina kami menginap di tenda dengan rombongan kami. Lebih nyaman karena ber-AC, serta dipisah antara lelaki dan perempuan. Kami akan tinggal bersama 4 hari dan 3 malam.
Di sinilah kehidupan saling sama dan setara menemukan makna. Berbagi alas tidur dengan yang lain membuat kami saling mengenal. Serunya mengantri kamar mandi juga mengingatkan saya ke kehidupan pesantren dulu. Untuk sesaat, individu-individu yang berbeda ini dituntut bekerja sama demi kenyamanan bersama. Sama dan setara.
Nabi membutuhkan ukhwah untuk mempertahankan dan memperluas syiar (wasiat akhirnya). Ia memberikan langsung pendidikan ukhwah, dibangun di atas prinsip kesetaraan, melalui manasik haji. Sekali lagi menjadi garis bawah mengapa jamaah berihram di Arafah.
Sama dan setara.
Posting Komentar