Menulis Wajah Skena
Tahun 1988, ketika skena musik Seattle mulai bergerak, Jonathan Poneman dan Bruce Pavitt, duo di balik label Sub Pop, berencana mengabarka...
https://www.helmantaofani.com/2014/11/menulis-wajah-skena.html?m=0
Tahun 1988, ketika skena musik Seattle mulai bergerak, Jonathan Poneman dan Bruce Pavitt, duo di balik label Sub Pop, berencana mengabarkannya ke dunia. Yang dipilih adalah wartawan media musik Inggris, Melody Maker, yang bernama Everett True. Di saat banyak media berpengaruh dari Amerika Serikat, seperti Rolling Stone, mengapa True dan Melody Maker?
Majalah Inggris, seperti halnya kultur mereka, sangat jago mengemas bahasa hiperbola. Istilah "hype" dipatenkan melalui model penulisan media Britania. Sampai sekarang, ada alasan khusus mengapa sepakbola Inggris yang prestasinya tak sekeren Barcelona atau Real Madrid masih menjadi kiblat idola bola dunia.
Inggris juga menghormati kultur DIY dan bisa memasarkannya. Muncul nama Vivienne Westwood yang bisa mengawinkan gaya urakan punk dengan fesyen di era The Sex Pistols. Mereka juga relatif lebih terbuka terhadap hal baru, dari sisi seni, sebagai bentuk pemberontakan terhadap kungkungan kultur konservatif. Hal ini justru agak terbalik dengan bekas koloni mereka, Amerika Serikat, yang memuja liberalisme tapi masih konservatif dalam hal seni.
Singkat cerita, masuk akal mengapa True kemudian disewa oleh Pavitt dan Poneman. Sub Pop tentu berharap kabar ke dunia mengenai skena Seattle adalah bombastis, larger than life, dan tentunya bisa mengakselerasi hype-nya ke seluruh dunia. Minimal Inggris dan Amerika.
Ketika tulisan True dimuat di Melody Maker, benar saja, atensi segera diarahkan ke Seattle. Band-band di sana menjadi sorotan. Dari sekian band yang dipromosikan, ada satu-dua yang menonjol secara kualitas, sisanya seperti halnya punk, payah. Butuh angle khusus dari penulis untuk bisa meng-ekspose wajah satu-dua tersebut, dan menempatkan sisanya di kaum penggembira. Mengacu ke istilah "the scene and the pit", True butuh wajah the scene, sebelum mengekspose the pit-nya.
The scene harus diceritakan, the pit harus dirasakan.
All hell breaks loose. Wajah skena Seattle diterima pasar, lalu "the pit"-nya juga keciprat getah. Grunge mendunia dan menjadi tren global. Masuk ke Indonesia pada medio 1990-an, lalu mengakar dan tinggal sampai sekarang. Hanya saja, yang masuk ke sini adalah "the pit"-nya, tanpa ada wajah "the scene" yang bisa menyelamatkan. Bisa dibilang selama medio 1990-an hingga medio 2000-an, skena grunge lokal lumayan garing diceritakan lantaran absennya the scene ini.
Berselang sedekade, grunge di Indonesia tampak mulai bangkit. Beberapa band digadang menjadi the scene. Medio 2000-an, pergerakan beberapa band grunge potensial mulai masuk ke interskena, atau (malah) sedikit tercebur ke komunikasi mainstream. Bila menjadikan preseden Seattle tahun 1988, maka skena ini tinggal membutuhkan juru pena untuk mengkomunikasikan kepada khalayak mainstream. Mereka butuh mencari Everett True dan Melody Maker.
Mungkin skena ini sudah menemukan True-nya. Dalam wujud pengamat dan penikmat musik, Eko "Wustuk" Prabowo. Pengamatan dari pinggir panggung diwujudkan dalam catatan-catatan yang dimuat dalam blog-nya sejak medio 2000-an. Pada tahun 2014 ini, catatan tersebut kemudian dikumpulkan dalam satu literatur pustaka yang dikemas ciamik, dengan tata letak serius dan desain sampul yang sangat oke.
Membaca tulisan Wustuk, memang mengingatkan kepada jurnalisme Britania Raya. Semangat untuk mengangkat, dengan gaya yang kadang larger than life. Sangat tepat bagi skena yang selama ini mati suri. Yang diangkat di buku tersebut, mungkin akan digugat oleh (sebagian) pegiat skena grunge, karena coverage-nya tidak menyeluruh. Tapi sekali lagi, skena ini butuh bahan cerita. Dan dari keterbatasan the scene, butuh orang seperti Wustuk yang bisa bercerita sekaligus sebagai kehumasannya (PR). Apalagi literatur musik sangat jarang, dan nyaris literatur grunge tidak ada. Skena ini juga butuh ekspose ke luar. Dan yang paling baik adalah mengulas the scene-nya terlebih dahulu, seperti kisah sukses True dan Seattle scene.
Buku berjudul "Saya Ada Di Sana" ini buah dari kehadiran penulis dalam aneka konser yang digelar di berbagai level arena. Dari konser mini di kafe hingga festival. Fokusnya ada pada pengalaman yang dialami penulis, menggunakan pengamatan dari sudut pandang penikmat atau penonton. Medium ini barangkali akan menarik bagi sesama penikmat musik, terutama yang berasal dari luar skena, untuk turut merasakan euforia yang dialami penulis ketika menghadiri konser.
Bagi musisi, tulisan Wustuk juga merupakan PR bagus, karena ekspose eksklusif. Tetapi dengan menyematkan sub-tagline "Buku Grunge Lokal" menjadikan buku ini selamat dari catatan (yang terlalu) pribadi (tentang) kehadiran Wustuk di bibir panggung. Masih ada benang merah tema yang diungkapkan, barangkali juga berguna bagi pembaca yang awam terhadap grunge untuk mengenal sekilas identitas skena ini.
Bagi skena sendiri, mestinya juga melihat pustaka ini sebagai salah satu artefak yang mencatat mula dokumentasi dan konsep PR ke luar. Wustuk sudah melakukan separuh apa yang dilakukan True. Mengulas the scene, dalam bahasanya (yang kebetulan mirip), dan menyampaikan kepada khalayak. Tinggal medium-nya yang diharapkan bisa seluas Melody Maker.
Inisiasi awal buku ini hanya akan dipublikasikan dalam format e-books melalui kanal seperti Scoop dan Wayang Force. Karena kultur buku sebagai literatur fisik masih mengemuka, bila beredar dalam lingkup digital mungkin efeknya tak akan seluas Melody Maker. Terbukti ketika edisi print on demand-nya dirilis, banyak pertanyaan bagaimana cara mendapatkannya.
Kini bola ada di tangan skena grunge lokal, atau mungkin Anda yang menggemari panggung-panggung musik. Buku ini berkesempatan untuk dicetak melalui kampanye crowd-funding yang digalang via Wujudkan. Anda bisa menyumbang (atau pre-sale) dengan harapan wave-nya besar dan nantinya terwujud.
Bila berhasil terbit massal, maka sebagai penggemar musik grunge, saya berharap efeknya sama dengan ketika True menulis tentang skena Seattle. The scene yang ditulis, direspon bagus, dan akhirnya bisa juga mengekspos the pit-nya, yaitu skena grunge yang lebih luas.
Jaman mungkin berubah, dari 1988 ke 2014. Platform mungkin berubah juga, dari analog ke digital. Tetapi sejarah mengalami daur. Apalagi dalam sejarah kultur seperti musik, mekanismenya sama. Skena butuh media. Media butuh massa. Massa akan menghidupi skena.
Anda bisa membantu buku Wustuk menjadi media massa melalui tautan ke Wujudkan ini.
Majalah Inggris, seperti halnya kultur mereka, sangat jago mengemas bahasa hiperbola. Istilah "hype" dipatenkan melalui model penulisan media Britania. Sampai sekarang, ada alasan khusus mengapa sepakbola Inggris yang prestasinya tak sekeren Barcelona atau Real Madrid masih menjadi kiblat idola bola dunia.
Inggris juga menghormati kultur DIY dan bisa memasarkannya. Muncul nama Vivienne Westwood yang bisa mengawinkan gaya urakan punk dengan fesyen di era The Sex Pistols. Mereka juga relatif lebih terbuka terhadap hal baru, dari sisi seni, sebagai bentuk pemberontakan terhadap kungkungan kultur konservatif. Hal ini justru agak terbalik dengan bekas koloni mereka, Amerika Serikat, yang memuja liberalisme tapi masih konservatif dalam hal seni.
Singkat cerita, masuk akal mengapa True kemudian disewa oleh Pavitt dan Poneman. Sub Pop tentu berharap kabar ke dunia mengenai skena Seattle adalah bombastis, larger than life, dan tentunya bisa mengakselerasi hype-nya ke seluruh dunia. Minimal Inggris dan Amerika.
Ketika tulisan True dimuat di Melody Maker, benar saja, atensi segera diarahkan ke Seattle. Band-band di sana menjadi sorotan. Dari sekian band yang dipromosikan, ada satu-dua yang menonjol secara kualitas, sisanya seperti halnya punk, payah. Butuh angle khusus dari penulis untuk bisa meng-ekspose wajah satu-dua tersebut, dan menempatkan sisanya di kaum penggembira. Mengacu ke istilah "the scene and the pit", True butuh wajah the scene, sebelum mengekspose the pit-nya.
The scene harus diceritakan, the pit harus dirasakan.
All hell breaks loose. Wajah skena Seattle diterima pasar, lalu "the pit"-nya juga keciprat getah. Grunge mendunia dan menjadi tren global. Masuk ke Indonesia pada medio 1990-an, lalu mengakar dan tinggal sampai sekarang. Hanya saja, yang masuk ke sini adalah "the pit"-nya, tanpa ada wajah "the scene" yang bisa menyelamatkan. Bisa dibilang selama medio 1990-an hingga medio 2000-an, skena grunge lokal lumayan garing diceritakan lantaran absennya the scene ini.
Berselang sedekade, grunge di Indonesia tampak mulai bangkit. Beberapa band digadang menjadi the scene. Medio 2000-an, pergerakan beberapa band grunge potensial mulai masuk ke interskena, atau (malah) sedikit tercebur ke komunikasi mainstream. Bila menjadikan preseden Seattle tahun 1988, maka skena ini tinggal membutuhkan juru pena untuk mengkomunikasikan kepada khalayak mainstream. Mereka butuh mencari Everett True dan Melody Maker.
Mungkin skena ini sudah menemukan True-nya. Dalam wujud pengamat dan penikmat musik, Eko "Wustuk" Prabowo. Pengamatan dari pinggir panggung diwujudkan dalam catatan-catatan yang dimuat dalam blog-nya sejak medio 2000-an. Pada tahun 2014 ini, catatan tersebut kemudian dikumpulkan dalam satu literatur pustaka yang dikemas ciamik, dengan tata letak serius dan desain sampul yang sangat oke.
Membaca tulisan Wustuk, memang mengingatkan kepada jurnalisme Britania Raya. Semangat untuk mengangkat, dengan gaya yang kadang larger than life. Sangat tepat bagi skena yang selama ini mati suri. Yang diangkat di buku tersebut, mungkin akan digugat oleh (sebagian) pegiat skena grunge, karena coverage-nya tidak menyeluruh. Tapi sekali lagi, skena ini butuh bahan cerita. Dan dari keterbatasan the scene, butuh orang seperti Wustuk yang bisa bercerita sekaligus sebagai kehumasannya (PR). Apalagi literatur musik sangat jarang, dan nyaris literatur grunge tidak ada. Skena ini juga butuh ekspose ke luar. Dan yang paling baik adalah mengulas the scene-nya terlebih dahulu, seperti kisah sukses True dan Seattle scene.
Buku berjudul "Saya Ada Di Sana" ini buah dari kehadiran penulis dalam aneka konser yang digelar di berbagai level arena. Dari konser mini di kafe hingga festival. Fokusnya ada pada pengalaman yang dialami penulis, menggunakan pengamatan dari sudut pandang penikmat atau penonton. Medium ini barangkali akan menarik bagi sesama penikmat musik, terutama yang berasal dari luar skena, untuk turut merasakan euforia yang dialami penulis ketika menghadiri konser.
Bagi musisi, tulisan Wustuk juga merupakan PR bagus, karena ekspose eksklusif. Tetapi dengan menyematkan sub-tagline "Buku Grunge Lokal" menjadikan buku ini selamat dari catatan (yang terlalu) pribadi (tentang) kehadiran Wustuk di bibir panggung. Masih ada benang merah tema yang diungkapkan, barangkali juga berguna bagi pembaca yang awam terhadap grunge untuk mengenal sekilas identitas skena ini.
Bagi skena sendiri, mestinya juga melihat pustaka ini sebagai salah satu artefak yang mencatat mula dokumentasi dan konsep PR ke luar. Wustuk sudah melakukan separuh apa yang dilakukan True. Mengulas the scene, dalam bahasanya (yang kebetulan mirip), dan menyampaikan kepada khalayak. Tinggal medium-nya yang diharapkan bisa seluas Melody Maker.
Inisiasi awal buku ini hanya akan dipublikasikan dalam format e-books melalui kanal seperti Scoop dan Wayang Force. Karena kultur buku sebagai literatur fisik masih mengemuka, bila beredar dalam lingkup digital mungkin efeknya tak akan seluas Melody Maker. Terbukti ketika edisi print on demand-nya dirilis, banyak pertanyaan bagaimana cara mendapatkannya.
Kini bola ada di tangan skena grunge lokal, atau mungkin Anda yang menggemari panggung-panggung musik. Buku ini berkesempatan untuk dicetak melalui kampanye crowd-funding yang digalang via Wujudkan. Anda bisa menyumbang (atau pre-sale) dengan harapan wave-nya besar dan nantinya terwujud.
Bila berhasil terbit massal, maka sebagai penggemar musik grunge, saya berharap efeknya sama dengan ketika True menulis tentang skena Seattle. The scene yang ditulis, direspon bagus, dan akhirnya bisa juga mengekspos the pit-nya, yaitu skena grunge yang lebih luas.
Jaman mungkin berubah, dari 1988 ke 2014. Platform mungkin berubah juga, dari analog ke digital. Tetapi sejarah mengalami daur. Apalagi dalam sejarah kultur seperti musik, mekanismenya sama. Skena butuh media. Media butuh massa. Massa akan menghidupi skena.
Anda bisa membantu buku Wustuk menjadi media massa melalui tautan ke Wujudkan ini.
Posting Komentar