Kisah Toleransi Akhir Tahun
Hari-hari akhir tahun, sudah pasti di media sosial akan ramai dengan topik diskusi (atau perdebatan) mengenai toleransi lintas agama. Ap...
https://www.helmantaofani.com/2014/12/kisah-toleransi-akhir-tahun.html?m=0
Hari-hari akhir tahun, sudah pasti di media sosial akan ramai dengan topik diskusi (atau perdebatan) mengenai toleransi lintas agama. Apalagi kalau bukan mengenai ucapan selamat Natal?
Secara pribadi, saya perlu merilis statement bahwa menurut pendapat pribadi, mengucapkan Natal ke teman kita yang menganut Nasrani tidak akan membuat seorang muslim menjadi murtad. Kalau mengucapkannya ke sesama muslim baru kurang ajar. Semua yang pada konteksnya akan mendapatkan konteksnya. Iman itu masalah hati, dan dengan ucapan tidak akan mengurangi kadar iman Anda (insyaallah).
Polemik ini lebih menarik di mata saya dalam konteks makro. Indonesia, yang mayoritas muslim (konon 80% lebih warganya beragama Islam), di tengah pergaulan dunia yang 65% Nasrani. Dunia yang dipimpin oleh sebuah negara dengan komposisi penduduknya 85% Nasrani pula. Jadi, Islam di Indonesia adalah mayoritas semu, apalagi dengan globalisasi yang meleburkan sekat negara. We're citizen of the world. Tapi realita ini yang nampaknya membentur.
Di satu sisi, muslim Indonesia sebagai warga dunia menjadi minoritas. Mereka yang pernah melihat dunia, atau memiliki pergaulan lintas negara biasanya sadar akan hal ini. Di sisi lain, muslim Indonesia menjadi mayoritas di negara sendiri. Yang memegang teguh kredo ini adalah mayoritas warga Indonesia yang katakanlah kuper dalam pergaulan dunia. Dan realita ini dipahami sepotong-potong oleh pihak. Pihak pertama menelurkan pandangan liberal, sedangkan pihak kedua membuahkan pandangan konservatif. Ini adalah siklus alamiah yang juga terjadi di Amerika Serikat.
Saya baru saja selesai membaca buku Moving the Mountain, buku karya Imam Faisal Abdur Rauf. Imam Faisal merupakan tokoh muslim Amerika Serikat yang sempat terkenal karena berniat membangun Cordoba Center di dekat situs tragedi 9/11 di New York. Perkara ini sempat hangat dengan isu "ground zero mosque", padahal yang akan dibangun Imam Faisal adalah forum lintas agama.
Dalam Moving the Mountain, Imam Faisal bercerita mengenai kehidupan keagamaannya, Islam sunni, dalam pluralitas dan konservatisme masyarakat Amerika Serikat. Setelah sempat tinggal di Malaysia, Imam Faisal yang keturunan Mesir ini pindah mengikuti ayahnya yang menjadi imam di Amerika Serikat. Ia tinggal di New York, dan harus menerima kenyataan bahwa Islam adalah hal yang asing di sana. Bersama ayahnya, dan kemudian ia sendiri, ia mempromosikan Islam sebagai "next of kin" dan dua agama samawi yang terlebih dahulu besar di AS, Yahudi dan Nasrani.
Ketika Samuel Huntington meramal clash agama sebagai pengganti clash ideologi (demokrasi vs komunis) di awal 1990, Imam Faisal memulai perjuangannya dalam menyiarkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Sebagaimana agama lainnya, Islam membawa nilai positif. Berjuang "behind enemy line" menuntut sang imam untuk mengadaptasi strategi perjuangannya menjadi lebih liberal dan menyesuaikan dengan tingkat pemahaman warga Amerika Serikat mengenai Islam saat itu.
Tentu perjuangannya makin berat ketika terjadi peristiwa 9/11 dan rentetan terorisme yang mengatasnamakan agama. Citra yang ia bangun runtuh seketika, dan ia kembali berjuang untuk mengampanyekan Islam. Dalam pandangannya, Islam ekstrimis itu merupakan minoritas yang tidak bisa mencerminkan pendapat mayoritas muslim. Kaum mayoritas Islam rata-rata berpandangan sama dan sangat tekstual terhadap Al Quran serta sunnah Rasul. Mereka disebutnya ortodoks. Beberapa yang sering dikutip adalah umat Islam Indonesia (dan Malaysia) yang dianggapnya ortodoks lantaran mereka menerima agama ini secara tekstual, dalam bahasa Arab yang kadang tidak dipahami artinya, tetapi menjalankan dengan penuh kepatuhan.
Setengah dari buku Moving the Mountain cukup menarik untuk memahami urgensi bersikap liberal dalam beragama. Diskusi mengenai liberalisme beragama ini cukup hangat di Indonesia karena ada motornya, yaitu Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan tokohnya Ulil Absar Abdala. Seperti pembahasan di atas, tokoh JIL rata-rata memiliki pergaulan dunia, dengan banyak di antara mereka merupakan lulusan sekolah luar negeri. Mungkin mereka mengalami apa yang dialami oleh Imam Faisal, tinggal di mana Islam adalah minoritas dan harus mengalami kesulitan untuk menjalankan agama secara ortodoks.
Di Indonesia, JIL kerap "bertengkar" dengan penganut Islam ortodoks. Menyambung ke topik di awal tulisan, momen akhir tahun ini kerap jadi pemicu. Dalam padangan JIL, Islam perlu memperlihatkan wajah yang toleran. Salah satunya dengan mengucapkan selamat Natal kepada para pemeluk Nasrani sebagai wujud komitmen kita menjaga kebebasan beragama. Islam adalah agama tanpa paksaan.
Sementara di wajah yang lain, penganut Islam ortodoks menentang pemberian ucapan Natal karena berpotensi mengganggu keyakinan mereka. Natal adalah selebrasi merayakan Yesus. Dalam jurang besar Islam dan Nasrani, memaknai Yesus adalah pembeda besarnya. Orang Islam ortodoks takut bila mereka mungkin bisa mengimani Yesus sebagaimana orang Nasrani apabila mengucapkan selamat Natal, sehingga mewujudkan dosa terbesar Islam yaitu sirik.
Antara JIL dan Islam ortodoks sering bertemu di tengah, melalui media sosial, dalam bentuk debat. Meski dari komentar-komentar, lebih menjurus kepada pertengkaran. Masing-masing membawa argumennya, dan tidak jarang menjadi panas sehingga kehilangan pijakan kedamaian. Terus terang, sebagai orang Islam, saya kadang merasa malu melihat sesama muslim ini saling tengkar meributkan hal yang tidak prinsipil ini. Maksud saya, bila memang bertemu di tengah, tinggal saling ricek. Mengutip apa yang dikatakan Ulil, tidak masalah tidak mengucapkan, mau mengucapkan juga tidak apa.
Dalam era cyber-bullying, tidak semudah itu islah terjadi. Perdebatan masih menjalar di akar rumput. Bisa dicek dari komentar-komentar para "pengikut"-nya dalam boks komentar atau riwayat kicauan. Masalahnya menjadi kembali ke kutub masing-masing. Yang sering saya sesalkan, para bandwagon ini kerap memperkeruh suasana dengan pendapat-pendapat mereka yang tidak kontekstual. Di kubu JIL, para bandwagon-nya antara lain penganut agama lain, ateis, liberalis atau leftists kasual (biasannya warga urban yang berdiri abu-abu, mengaku Islam tetapi berharap kelonggaran yang sangat besar). Mereka inilah yang menguasai media sosial saat ini. Dari sinilah cyber bullying dan distorsi persepsi mulai bermain.
Sesuai misinya, JIL itu bagus. Menunjukkan sikap positif dan toleran dari Islam sehingga bisa mewujudkan fatwa agama itu mengajarkan kebaikan bukan kebencian. Tapi, JIL dan simpatisan liberalisme beragama acap kurang peka dalam mengkomunikasikan, justru terutama kepada orang-orang yang seiman (ortodoks bin konservatif). Selagi mengkomunikasikan konsep toleransi ke kaum beda iman, mereka malah tidak merangkul golongan ortodoks-nya. Kadang (yang ortodoks) malah dianggap bodoh, tidak tercerahkan, atau parno. Dalam beberapa kasus, para ortodoks bin konservatif ini tidak pernah diperhitungkan perspektifnya, dan dianggap sekunder atau belum tercerahkan.
Mengutip satu komentar di sebuah forum, ada sarkasme menarik menanggapi muslim Indonesia, yang bermukin di Perth, kala "menyerang" Yusuf Mansyur dalam kasus polemik berdoa di sekolah.
"Saya nurut saja, karena penulisnya tinggal di luar negeri. Suara orang yang tinggal di luar Indonesia itu suara Tuhan."
Ini gayut dengan kejadian belum lama di mana saya tergelitik membaca tweet yang disampaikan oleh warga Indonesia yang bermukim di Amerika Serikat. Ia kebetulan (dalam bio Twitter) merupakan pengurus NU di negara Paman Sam. Kelihatannya ia lulusan Pesantren dulunya. Ia berkomentar: "Banyak orang berpendidikan tinggi yang ketika agamis tiba-tiba jadi dogmatis dan pekok."
Padahal ortodoks itu belum tentu ekstrimis atau bigot. Pemaksaan idealisme yang ditolak itulah yang menelurkan virus ekstrimisme.
Saya ingat film Kabayan Saba Kota, dan kisah-kisah yang mewarnai episode urbanisasi. Orang kota selalu merasa lebih tahu, lebih tercerahkan, lebih modern dan kekinian dibanding orang desa atau kampung. Orang kota acap sinis ke orang kampung, melarang ini-itu kebiasaan yang dianggap kampungan. Orang kota sering bilang ke orang kampung, "Jangan malu-maluin ya, kalau di kota." Hak atau perspektif pikir orang kampung dinihilkan.
Cara komunikasinya sudah bermasalah karena (adanya anggapan) tidak setara. Orang kota merasa lebih advanced, gaul, dan merasa di atas orang kampung. Kalimat yang sering keluar antara lain, "Aduh, maaf ya. Temen saya ini baru dateng dari kampung. Wajar kalau malu-maluin."
Dalam banyak kasus, yang dijelaskan sebagai konsep toleransi itu justru menjelek-jelekkan golongan sendiri ke kaum lain. Komunikasinya juga tidak fokus mengungkapkan nilai positif agama, tapi malah menunjukkan kelemahan kaum sendiri. Dalam konteks buku Moving the Mountain, saya mulai bisa membaca alur seperti itu dalam separuh akhir buku.
Dalam perjalanannya mengampanyekan Cordoba House, Imam Faisal membuat apa yang dinamakan Shariah Index (SI). In short, SI adalah skor relevansi sebuah budaya atau hukum dalam kacamata syariah Islam. SI mengukur segala hukum dalam interpretasi Imam Faisal mengenai tafsir hukum syariah. Menurutnya, konstitusi Amerika yang dibangun dari piagam kemerdekaan mempunyai SI tinggi. Sebaliknya, hukum Qanun seperti di Aceh justru mempunyai indeks rendah.
Saya penasaran bagimana ia akan menilai hukum Indonesia. Di sini, kaum beragama lain yang ortodoks bisa bebas menjalankan agamanya. Mereka tidak ada obligasi untuk mengikuti hukum agama mayoritas (karena memang tidak menjadi hukum). Bir bisa dijual bebas pada negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Memandang dalam konteks sebagai satu negara, saya berani memproklamasikan bahwa Indonesia adalah "negara Islam" paling toleran di muka bumi. Bila indeks toleransi sama dilakukan di Amerika Serikat, Imam Faisal tak perlu repot membuat Cordoba Center.
Tetapi rahmat yang besar ini acap dirusak dengan "noda toleransi" yang tidak seberapa. Misalnya seperti meributkan masalah ucapan. Seolah bila tidak mengucapkan akan merusak toleransi. Dan yang mengucapkan akan dikutuk masuk neraka tingkat tujuh. Dan sedihnya, noda ini sering juga dibesar-besarnya seperti hendak membuka borok intoleransi di mata dunia.
2 komentar
Keren kesimpulan akhirnya, kenapa kita mesti meributkan.
i'm very fond of your thoughts, its kind of amusing the demand for complete tolerance collides with your intolerance of differing options.
Posting Komentar