The Hobbit: Niralur dan Klise
Saya teringat celetukan spontan penonton di sebelah saya, sekitar dua tahun silam, mengenai film The Hobbit: An Expected Journey . Ia berkat...
https://www.helmantaofani.com/2014/12/the-hobbit-niralur-dan-klise.html?m=0
Saya teringat celetukan spontan penonton di sebelah saya, sekitar dua tahun silam, mengenai film The Hobbit: An Expected Journey. Ia berkata tepat setelah adegan akhir film memperlihatkan Lonely Mountain di latar belakang.
"Yaelah, capek-capek nonton 3 jam, gunungnya masih jauh aja!"
Intinya, film pertama dari tiga seri itu sangat membosankan dan berakhir tidak sesuai harapan.
Lalu film kedua lumayan menyelamatkan. Masih dengan formula kejar-kejaran, tetapi berakhir dengan pemunculan Smaug di dalam Erebor. Setidaknya penggemar jagad Tolkien bisa melihat kemunculan naga, meski di episode kedua ini banyak bid'ah-nya, berupa munculnya tokoh-tokoh yang di kisah aslinya tidak ada. Namun secara film, The Hobbit: Desolation of Smaug cukup oke dan menaikkan grafik kesenangan dibanding pendahulunya. [Baca review saya di sini]
Film ketiga, mestinya menjadi yang paling seru. Film kedua meninggalkan gumaman tanggung, kala Smaug lepas dari Erebor dan terbang bebas menuju Dale. Bagaimana nasib Bard dan penduduk Dale? Inilah yang menjadikan orang menanti setahun untuk menonton episode finale dari trilogi yang dipaksakan ini.
Mungkin antara ekspektasi tinggi dan stok naskah tak sejalan. Bagi saya yang pernah membaca The Hobbit, perang di padang Erebor itu memang bukan finale yang panjang. Ia sekelumit kisah yang mewarnai kisah petualangan Bilbo dan 12 kurcaci. Jadi apa materi yang bisa dibahasagambarkan oleh Peter Jackson?
Sayang, without further-spoiler-ado, memang tidak ada materi selain perang. Dan ini menjadikan The Hobbit: Battle of Five Armies menjadi plotless flick. Film niralur. Datar. Twist yang diberikan semuanya klise. Ditunjang dengan dialog-dialog yang rata-rata cheesy malah membenamkan film ini menjadi meaningless.
Beberapa scene yang cukup menarik antara lain adegan bid'ah (tidak ada dalam versi bukunya) yang menampilkan perkelahian Galadriel, Saruman, Elrond, dan ringwraith. Karakter scene-stealer bagi saya malah kehadiran binatang-binatang berupa rusa, babi, dan domba gunung. Silahkan cari mereka di film ini, saya yakin Anda juga akan terkesan.
Karena scene yang tertinggal adalah adegan dengan karakter efek visual yang oke, saya jadi berpikir. Jangan-jangan dari dulu menonton Lord of the Rings series juga hanya karena ingin melihat visualisasi novel Tolkien. Dulu in awe, melihat hobbit, peri, kurcaci, goblin, orc, treebeard, dan makhluk-makhluk yang dalam novel hanya bisa dibayangkan. Peri bagi saya masih tampak seperti Peter Pan sebelum Legolas dan Galadriel menjadi image baru.
Di The Hobbit, edisi pertama, mungkin saya tidak menemukan pembaruan karakter aneh yang ingin ditonton adaptasi visualnya. Baru di film kedua ada Smaug yang membangkitkan lagi minat. Nah di film ketiga, nyaris tidak ada yang baru selain rusa, babi, dan domba tadi.
Tiba di kesimpulan, saya masih berpendapat hal yang sama dengan keberatan ketika mengulas film yang kedua. Bahwa dosa besar Jackson ada dua hal.
Pertama, ia terlalu terobsesi menyambungkan The Hobbit (film) dengan Lord of the Rings (film). Ini kasus yang sama dengan Star Wars, ketika menjadikan film lain sebagai acuan untuk diikuti. The Hobbit tidak dibiarkan untuk mencari jalannya sendiri untuk menjadi film outstanding. Apalagi pemaksaan karakter agar in-line dengan trilogi LOTR lumayan mengganggu bagi fans Tolkien.
Kedua, keputusan untuk memecah menjadi tiga. Seperti halnya rata-rata review, sebagai kisah anak-anak dengan plot sederhana, The Hobbit sebenarnya bisa tuntas dalam satu film. Berpanjang plot malah akan mengganggu.
"Yaelah, capek-capek nonton 3 jam, gunungnya masih jauh aja!"
Intinya, film pertama dari tiga seri itu sangat membosankan dan berakhir tidak sesuai harapan.
Lalu film kedua lumayan menyelamatkan. Masih dengan formula kejar-kejaran, tetapi berakhir dengan pemunculan Smaug di dalam Erebor. Setidaknya penggemar jagad Tolkien bisa melihat kemunculan naga, meski di episode kedua ini banyak bid'ah-nya, berupa munculnya tokoh-tokoh yang di kisah aslinya tidak ada. Namun secara film, The Hobbit: Desolation of Smaug cukup oke dan menaikkan grafik kesenangan dibanding pendahulunya. [Baca review saya di sini]
Film ketiga, mestinya menjadi yang paling seru. Film kedua meninggalkan gumaman tanggung, kala Smaug lepas dari Erebor dan terbang bebas menuju Dale. Bagaimana nasib Bard dan penduduk Dale? Inilah yang menjadikan orang menanti setahun untuk menonton episode finale dari trilogi yang dipaksakan ini.
Mungkin antara ekspektasi tinggi dan stok naskah tak sejalan. Bagi saya yang pernah membaca The Hobbit, perang di padang Erebor itu memang bukan finale yang panjang. Ia sekelumit kisah yang mewarnai kisah petualangan Bilbo dan 12 kurcaci. Jadi apa materi yang bisa dibahasagambarkan oleh Peter Jackson?
Sayang, without further-spoiler-ado, memang tidak ada materi selain perang. Dan ini menjadikan The Hobbit: Battle of Five Armies menjadi plotless flick. Film niralur. Datar. Twist yang diberikan semuanya klise. Ditunjang dengan dialog-dialog yang rata-rata cheesy malah membenamkan film ini menjadi meaningless.
Beberapa scene yang cukup menarik antara lain adegan bid'ah (tidak ada dalam versi bukunya) yang menampilkan perkelahian Galadriel, Saruman, Elrond, dan ringwraith. Karakter scene-stealer bagi saya malah kehadiran binatang-binatang berupa rusa, babi, dan domba gunung. Silahkan cari mereka di film ini, saya yakin Anda juga akan terkesan.
Karena scene yang tertinggal adalah adegan dengan karakter efek visual yang oke, saya jadi berpikir. Jangan-jangan dari dulu menonton Lord of the Rings series juga hanya karena ingin melihat visualisasi novel Tolkien. Dulu in awe, melihat hobbit, peri, kurcaci, goblin, orc, treebeard, dan makhluk-makhluk yang dalam novel hanya bisa dibayangkan. Peri bagi saya masih tampak seperti Peter Pan sebelum Legolas dan Galadriel menjadi image baru.
Di The Hobbit, edisi pertama, mungkin saya tidak menemukan pembaruan karakter aneh yang ingin ditonton adaptasi visualnya. Baru di film kedua ada Smaug yang membangkitkan lagi minat. Nah di film ketiga, nyaris tidak ada yang baru selain rusa, babi, dan domba tadi.
Tiba di kesimpulan, saya masih berpendapat hal yang sama dengan keberatan ketika mengulas film yang kedua. Bahwa dosa besar Jackson ada dua hal.
Pertama, ia terlalu terobsesi menyambungkan The Hobbit (film) dengan Lord of the Rings (film). Ini kasus yang sama dengan Star Wars, ketika menjadikan film lain sebagai acuan untuk diikuti. The Hobbit tidak dibiarkan untuk mencari jalannya sendiri untuk menjadi film outstanding. Apalagi pemaksaan karakter agar in-line dengan trilogi LOTR lumayan mengganggu bagi fans Tolkien.
Kedua, keputusan untuk memecah menjadi tiga. Seperti halnya rata-rata review, sebagai kisah anak-anak dengan plot sederhana, The Hobbit sebenarnya bisa tuntas dalam satu film. Berpanjang plot malah akan mengganggu.
1 komentar
tapi buat yang belom pernah baca bukunya, filem ini dan segala kemegahan visual effectnya sangat menghibur lho..
Posting Komentar