Ngopi untuk Hidup
Penayangan film "Filosofi Kopi" menjadikan kopi sebagai topik yang tengah seru diperbincangkan. Sebetulnya fenomena ini sudah bi...
https://www.helmantaofani.com/2015/04/ngopi-untuk-hidup.html?m=0
Penayangan film "Filosofi Kopi" menjadikan kopi sebagai topik yang tengah seru diperbincangkan. Sebetulnya fenomena ini sudah bisa diendus sejak sekitar 10 tahun silam ketika tren "ngopi" dari luar masuk ke Indonesia melalui Starbucks.
Dulu, tahun 2004, saya sempat bercita-cita membuat kedai kopi di sekitar kampus UNS. Karena, waktu itu, di Solo belum ada kultur ngopi yang di-hipster-kan di kalangan mahasiswa. Rencana ini sempat kita bahas sambil ngopi pula, sesaset Indocafe Coffeemix yang cukup trendi pada masanya.
Perkenalan saya dengan kopi merentang jauh ke belakang. Saya lahir di tengah surga kebun kopi, di Parakan, Temanggung. Sebagai informasi, pemerintah kolonial mengakhiri rel perkebunannya di Parakan karena bagi mereka "this is it". Tanah yang paling cocok untuk kultivasi kopi, sebelum tanam paksa ganti halauan ke tembakau.
Kopi yang saya konsumsi berasal dari sekitar. Robusta Jawa, bahan kopi paling diekspor dari Indonesia, tidak sebeken arabica lantaran tidak dipopulerkan Starbucks. Tapi bagi warga Temanggung, sambil ngemil ketan bubuk, kopi item plus gula adalah teman rokok di pagi hari.
Ketika kuliah, kebiasaan ngopi item hilang. Selain tidak hits (identik dengan kebiasaan orang tua), saat itu di Solo lebih beken teh. Macem-macem teh, dari teh balap, teh tjangkir, hingga teh omo. Yang terakhir ini biasa dikonsumsi di hik/angkringan, hasil higienisitas kurang dari abang penjualnya.
Sebagai mahasiswa arsitektur yang terkenal lembur (hey, berima), kebutuhan kafein dulu digantikan oleh hadirnya minuman penambah energi. Jadilah liver saya bermasalah, sehingga menyetop joss dan sebangsanya itu. Es kopimiks menjadi pelarian berikut, selalu dikonsumsi setiap hari. Waktu itu sudah merasa jumawa, seperti layaknya coffee-snobs. Angkat kaki di kantin kampus dan "ngopi".
Pengalaman bekerja di kota besar, Surabaya, membawa saya ke jenis kopi lain. Di sini mulai berkenalan dengan "fancy coffee" dalam artian olahan kopi ala kafe yang berdasar pada preferensi Starbucks. Frappuccino dan segala jenis es-esan kopi. Beberapa gerai kopi mulai dicoba. Favorit kita adalah Coffee Toffee. Yang dipesan? Blend kopi dan kakao, entah apa namanya, yang jelas manis.
Sepertinya sahih pendapat yang mengatakan kopi bagian dari persahabatan. Pindahnya saya ke Jakarta membuka ruang sosial yang lebih lebar. Kembali nongkrong seperti jaman kuliah, tetapi venuenya di kafe. Di sini saya mulai berkenalan dengan single origin dan cara-cara menyeduh kopi. Antara lain, terima kasih untuk Kopitiam Oey-nya Pak Bondan yang pertama mengenalkan kepada vietnam drip.
Sedikit demi sedikit mulai mencoba kopi pait (tanpa gula dan susu). Sering beberapa kali berlagak coffee snobs, pesen espresso. Pas tahu yang keluar cuman seuprit dan pahit, bah! Tapi itu ongkos belajar. Sebab saya jadi mengerti aftertaste layaknya mengulum koka-kola di mulut sepanjang hari.
Sejak pindah dan mengisi rumah, saya mulai mengumpulkan perangkat seduh sendiri. Yang pertama adalah french press. Menyusul kemudian mokapot, hasil jalan-jalan ke Italia yang membuka mata tentang kopi pahit bertekanan. Dan yang terakhir dibeli adalah mesin espresso. Ini juga dilengkapi dengan grinder-grinder manual, toples air-tight, dan timbangan dapur. Semua demi mencoba.
Kini, setiap pagi saya selalu menyiapkan cappuccino dengan mesin espresso. Setiap pekan, saya juga meluangkan waktu membuat cold brew menggunakan french press. Ketika iseng, atau mempunyai biji kopi baru, kadang saya cupping dengan mokapot.
Saya belum sepenuhnya tahu kriteria kopi yang enak, menggunakan scoring standar Q-grader atau coffee-aficionado lain. Belum jadi kebiasaan juga bar-hopping, ngetes dan ngobrol dengan barista seperti banyak kawan-kawan. Tapi setidaknya saya mulai bisa mengecap kopi segar dan tidak. Atau karena setiap hari berlatih, cappuccino yang tepat atau tidak.
Sekarang ini kalau berkeliling kafe paling standar pesen cappuccino untuk membandingkan metode. Mesin espresso yang saya punya ecek-ecek sih, tetapi lumayan lah bekal belajar.
Tidak, saya tidak bercita-cita menjadi barista atau Q-grader. Cukup bisa membuat kopi enak untuk diri sendiri dulu. Saya juga tidak ingin menjadi coffee-snob. Bagi saya, surga "ngopi" yang pernah terjadi adalah ketika menikmati secangkir susu, yang di-steam, dan diberi taburan Nescafe. Itu saya konsumsi tiap hari selama sekitar seminggu di Madinah.
Pemahaman yang saya banggakan kini cukuplah mengerti betapa (ngaku) menikmati kopi (hanya) dari sesaset kopimiks itu sangat salah.
Dulu, tahun 2004, saya sempat bercita-cita membuat kedai kopi di sekitar kampus UNS. Karena, waktu itu, di Solo belum ada kultur ngopi yang di-hipster-kan di kalangan mahasiswa. Rencana ini sempat kita bahas sambil ngopi pula, sesaset Indocafe Coffeemix yang cukup trendi pada masanya.
Perkenalan saya dengan kopi merentang jauh ke belakang. Saya lahir di tengah surga kebun kopi, di Parakan, Temanggung. Sebagai informasi, pemerintah kolonial mengakhiri rel perkebunannya di Parakan karena bagi mereka "this is it". Tanah yang paling cocok untuk kultivasi kopi, sebelum tanam paksa ganti halauan ke tembakau.
Kopi yang saya konsumsi berasal dari sekitar. Robusta Jawa, bahan kopi paling diekspor dari Indonesia, tidak sebeken arabica lantaran tidak dipopulerkan Starbucks. Tapi bagi warga Temanggung, sambil ngemil ketan bubuk, kopi item plus gula adalah teman rokok di pagi hari.
Ketika kuliah, kebiasaan ngopi item hilang. Selain tidak hits (identik dengan kebiasaan orang tua), saat itu di Solo lebih beken teh. Macem-macem teh, dari teh balap, teh tjangkir, hingga teh omo. Yang terakhir ini biasa dikonsumsi di hik/angkringan, hasil higienisitas kurang dari abang penjualnya.
Sebagai mahasiswa arsitektur yang terkenal lembur (hey, berima), kebutuhan kafein dulu digantikan oleh hadirnya minuman penambah energi. Jadilah liver saya bermasalah, sehingga menyetop joss dan sebangsanya itu. Es kopimiks menjadi pelarian berikut, selalu dikonsumsi setiap hari. Waktu itu sudah merasa jumawa, seperti layaknya coffee-snobs. Angkat kaki di kantin kampus dan "ngopi".
Pengalaman bekerja di kota besar, Surabaya, membawa saya ke jenis kopi lain. Di sini mulai berkenalan dengan "fancy coffee" dalam artian olahan kopi ala kafe yang berdasar pada preferensi Starbucks. Frappuccino dan segala jenis es-esan kopi. Beberapa gerai kopi mulai dicoba. Favorit kita adalah Coffee Toffee. Yang dipesan? Blend kopi dan kakao, entah apa namanya, yang jelas manis.
Sepertinya sahih pendapat yang mengatakan kopi bagian dari persahabatan. Pindahnya saya ke Jakarta membuka ruang sosial yang lebih lebar. Kembali nongkrong seperti jaman kuliah, tetapi venuenya di kafe. Di sini saya mulai berkenalan dengan single origin dan cara-cara menyeduh kopi. Antara lain, terima kasih untuk Kopitiam Oey-nya Pak Bondan yang pertama mengenalkan kepada vietnam drip.
Sedikit demi sedikit mulai mencoba kopi pait (tanpa gula dan susu). Sering beberapa kali berlagak coffee snobs, pesen espresso. Pas tahu yang keluar cuman seuprit dan pahit, bah! Tapi itu ongkos belajar. Sebab saya jadi mengerti aftertaste layaknya mengulum koka-kola di mulut sepanjang hari.
Sejak pindah dan mengisi rumah, saya mulai mengumpulkan perangkat seduh sendiri. Yang pertama adalah french press. Menyusul kemudian mokapot, hasil jalan-jalan ke Italia yang membuka mata tentang kopi pahit bertekanan. Dan yang terakhir dibeli adalah mesin espresso. Ini juga dilengkapi dengan grinder-grinder manual, toples air-tight, dan timbangan dapur. Semua demi mencoba.
Kini, setiap pagi saya selalu menyiapkan cappuccino dengan mesin espresso. Setiap pekan, saya juga meluangkan waktu membuat cold brew menggunakan french press. Ketika iseng, atau mempunyai biji kopi baru, kadang saya cupping dengan mokapot.
Saya belum sepenuhnya tahu kriteria kopi yang enak, menggunakan scoring standar Q-grader atau coffee-aficionado lain. Belum jadi kebiasaan juga bar-hopping, ngetes dan ngobrol dengan barista seperti banyak kawan-kawan. Tapi setidaknya saya mulai bisa mengecap kopi segar dan tidak. Atau karena setiap hari berlatih, cappuccino yang tepat atau tidak.
Sekarang ini kalau berkeliling kafe paling standar pesen cappuccino untuk membandingkan metode. Mesin espresso yang saya punya ecek-ecek sih, tetapi lumayan lah bekal belajar.
Tidak, saya tidak bercita-cita menjadi barista atau Q-grader. Cukup bisa membuat kopi enak untuk diri sendiri dulu. Saya juga tidak ingin menjadi coffee-snob. Bagi saya, surga "ngopi" yang pernah terjadi adalah ketika menikmati secangkir susu, yang di-steam, dan diberi taburan Nescafe. Itu saya konsumsi tiap hari selama sekitar seminggu di Madinah.
Pemahaman yang saya banggakan kini cukuplah mengerti betapa (ngaku) menikmati kopi (hanya) dari sesaset kopimiks itu sangat salah.
1 komentar
Hahaha iyya..
bertahun-tahun lalu saya juga menganggap kopi sachet adalah kopi-kopi terbaik di dunia, apalagi yang bermerek Nescafe.
tapi setahun belakangan ini, bergaul dengan Q grader, barista dan pecinta kopi saya mulai tahu mana jalan yang benar.
dan betapa kita orang Indonesia yang kaya dengan kopi ini malah lebih sering dimanjakan dengan kopi KW 3 dalam bentuk sachet.
btw, saya masih utang kopi Wamena. tapi selama di Papua saya malah gak nemu kopi yang enak. katanya kopi Wamena yang enak malah lebih sering diimpor ke luar pulau karena mereka belum banyak yg tahu bagaimana mengolah kopi yang baik dan benar.
Posting Komentar