Revolusi Transportasi Publik
Ujaran Enrique Penalosa mengenai transportasi publik barangkali menjadi ungkapan yang paling sering dikutip. Ia berbunyi: "Negara yan...
https://www.helmantaofani.com/2015/04/revolusi-transportasi-publik.html?m=0
Ujaran Enrique Penalosa mengenai transportasi publik barangkali menjadi ungkapan yang paling sering dikutip. Ia berbunyi: "Negara yang maju bukanlah negara di mana si miskin bisa membeli mobil. Negara yang maju adalah negara di mana orang kaya mau menggunakan transportasi publik."
Anda pernah mendengarnya? Tentu saja. Ujaran itu berulang kali di bawa oleh masyarakat kita ketika berbicara mengenai karut-marut transportasi publik di Indonesia. Terutama di Jakarta, sebagai indikator kaos nasional dalam hal lalu-lintas.
Penalosa adalah (kini mantan) walikota Bogota, ibukota Kolombia. Ia berujar seperti itu ketika memulai proyek bus-lane, yang kemudian diadopsi oleh pemerintah DKI dengan busway-nya (Trans Jakarta). Dulu, proyek ini tampak menyenangkan dan menjanjikan, dengan jalur yang didedikasikan khusus untuk moda bis, dan perhentian yang terencana di setiap halte. Keteraturan ini menjadikan Trans Jakarta sekilas akan mengamini ungkapan Penalosa, yang memaksa migrasi orang kaya ke transportasi publik.
Quo vadis Trans Jakarta setelah memasuki 11 tahun usia? Saya ingat sangat mengandalkan moda ini untuk "mengetahui" Jakarta dari perspektif angkutan publik yang nyaman dan terencana. Dulu, tahun 2004, saya hapal semua halte pemberhentian di koridor satu akibat sering iseng bolak-balik halte Al Azhar hingga Glodok.
Tahun 2011 saya menjadi commuter yang menggunakan jasa Trans Jakarta. Berangkat dari Tebet menuju Slipi Petamburan. Di situlah kaos terasa, yang mungkin mengakibatkan banyak pengguna mengeluhkannya, terlebih meninggalkannya. Boro-boro membuat si kaya melirik berpindah dari mobilnya ke bis.
Trans Jakarta menjadi tidak efektif karena usaha untuk sterilisasi jalur selalu mengalami kendala. Di jalur yang saya tempuh, kami penumpang Trans Jakarta yang sudah sesak dan "pusing-pala-Barbie" di dalam bis, masih harus menghadiri upacara kemacetan massal dari Kuningan, Semanggi hingga lepas Gedung DPR. Di situ, jalur bis menjadi tidak lagi eksklusif dan harus bertemu dengan arus keluar kendaraan dari Tol Dalam Kota (TDK).
Ujung problematika transportasi di Indonesia selalu sama sebenarnya. Konsistensi.
Lalu-lintas adalah masalah behavior engineering, atau rekayasa perilaku. Yang diperlukan sebagai dasar adalah peraturan yang jelas, konsisten, dan mengikat. Pendek kata, draconian law paling efektif diterapkan untuk kasus lalu-lintas. Kemacetan acap berangkat dari pelanggaran aturan lalu-lintas (saya yakin 90% demikian, entah karena kecelakaan, pelanggaran jalur, dan sebagainya).
Subyek hukum pertama yang harus dikenakan draconian law ini adalah transportasi publik. Di mata masyarakat, transportasi publik yang dipercaya adalah mereka yang rapi, terjadwal, aman, dan taat hukum. Primadona sekarang, setelah Trans Jakarta tak lagi terjadwal, rapi, dan aman, adalah KRL yang meski belum seratus persen memenuhi harkat sebagai transportasi nyaman, namun bisa menjawab sebagian masalah. Apalagi komitmen KAI dalam membereskan stasiun dan kereta lumayan bisa dilihat publik sebagai indikasi keseriusan.
Bagaimana dengan transportasi lainnya? Upaya yang dibutuhkan sebetulnya terdengar mudah. Lembagakan penyedia jasa transportasi dalam satu otoritas. Jadi bajaj, angkot, bis, dan bila perlu KRL, ada dalam satu organisasi yang menyediakan solusi tuntas masalah transportasi. Lho, bukannya ada Organda? Ingat, yang kita butuhkan adalah lembaga yang bisa menjalankan (operasional) secara terpadu, bukan mafia kelompok atau sekadar perkumpulan yang hanya membicarakan tarif.
Dengan lembaga terpadu, akan mudah juga menyesuaikan kebijakan dan peraturan, beserta implementasi hukumnya bila terjadi pelanggaran. Yang terjadi saat ini, kebijakan, aturan, dan kelitan hukum bermuara kepada pemilik armada yang mempunyai pandangan dan siasat berbeda. Belum lagi skema setoran yang membuat angkot-angkot dari satu perusahaan saling sikut-menyikut.
Kemudian, bila penyedia jasa bisa ditertibkan, PR berikut adalah dari sisi pengguna. Paling sederhana adalah membuat aturan stop transportasi publik yang hanya bisa di halte. Ada banyak guna dari selalu stop di halte ini yang tidak disadari oleh pengguna.
Yang pertama, stop di halte akan membuat perjalanan lebih bisa direncana. Karena tidak sering berhenti (untuk mengangkut dan menurunkan), maka estimasi waktu tiba di halte lebih bisa diprediksi. Mirip dengan KRL yang hanya bisa berhenti di stasiun.
Yang kedua, stop di halte juga akan membuat penumpang lebih aman. Tempat naik-turun sudah bisa dipastikan, dan hampir akan menjadi magnet atensi pengguna transportasi sehingga yang berkumpul di halte adalah orang-orang dengan tujuan yang sama. Pengawasan oleh otoritas keamanan juga bisa lebih mudah karena terlokalisir. Kasus rampok dan rampas yang terjadi di angkot, beberapa faktor juga disebabkan oleh mudahnya naik dan turun di sembarang tempat.
Yang ketiga, stop di halte juga akan membiasakan pengguna untuk berjalan kaki menuju tempat tujuan. Di lingkup revolusi mental, ini penting karena akan menumbuhkan kesadaran mengenai ruang publik bagi pejalan kaki (pedestrian). Di samping itu, kebiasaan ini juga tentunya akan menyehatkan.
Setelah pengaturan dari sisi penyedia dan pengguna jasa, barulah pertimbangan mengenai infrastruktur bisa masuk. Dengan dua engineering itu, tentu kita berharap ujaran Penalosa akan terwujud dengan migrasi orang kaya untuk menggunakan transportasi publik. Bila terwujud, beban jalan berkurang dari mobil pribadi, dan belum tentu dibutuhkan penambahan infrastruktur (flyover, pelebaran jalan, dan sebagainya). Wilayah dan ruang untuk infrastruktur bisa dikonsentrasikan untuk penambahan ruang publik dan perbaikan sarana transportasinya.
Sekarang ini logikanya agak terbalik dengan otoritas selalu memberi umpan (feed) berupa infrastruktur. Apakah itu jalan layang, separator, pelebaran jalan, dan sebagainya yang ujung-ujungnya membuat nafsu penggunaan mobil pribadi makin tinggi. Kejadian ini malah menjadi antiteori Penalosa di mana indikator kesuksesan adalah negara membuat orang miskin makin bernafsu memiliki mobil, sedangkan orang kayanya juga berambisi menambah mobil.
Anda pernah mendengarnya? Tentu saja. Ujaran itu berulang kali di bawa oleh masyarakat kita ketika berbicara mengenai karut-marut transportasi publik di Indonesia. Terutama di Jakarta, sebagai indikator kaos nasional dalam hal lalu-lintas.
Penalosa adalah (kini mantan) walikota Bogota, ibukota Kolombia. Ia berujar seperti itu ketika memulai proyek bus-lane, yang kemudian diadopsi oleh pemerintah DKI dengan busway-nya (Trans Jakarta). Dulu, proyek ini tampak menyenangkan dan menjanjikan, dengan jalur yang didedikasikan khusus untuk moda bis, dan perhentian yang terencana di setiap halte. Keteraturan ini menjadikan Trans Jakarta sekilas akan mengamini ungkapan Penalosa, yang memaksa migrasi orang kaya ke transportasi publik.
Quo vadis Trans Jakarta setelah memasuki 11 tahun usia? Saya ingat sangat mengandalkan moda ini untuk "mengetahui" Jakarta dari perspektif angkutan publik yang nyaman dan terencana. Dulu, tahun 2004, saya hapal semua halte pemberhentian di koridor satu akibat sering iseng bolak-balik halte Al Azhar hingga Glodok.
Tahun 2011 saya menjadi commuter yang menggunakan jasa Trans Jakarta. Berangkat dari Tebet menuju Slipi Petamburan. Di situlah kaos terasa, yang mungkin mengakibatkan banyak pengguna mengeluhkannya, terlebih meninggalkannya. Boro-boro membuat si kaya melirik berpindah dari mobilnya ke bis.
Trans Jakarta menjadi tidak efektif karena usaha untuk sterilisasi jalur selalu mengalami kendala. Di jalur yang saya tempuh, kami penumpang Trans Jakarta yang sudah sesak dan "pusing-pala-Barbie" di dalam bis, masih harus menghadiri upacara kemacetan massal dari Kuningan, Semanggi hingga lepas Gedung DPR. Di situ, jalur bis menjadi tidak lagi eksklusif dan harus bertemu dengan arus keluar kendaraan dari Tol Dalam Kota (TDK).
Ujung problematika transportasi di Indonesia selalu sama sebenarnya. Konsistensi.
Lalu-lintas adalah masalah behavior engineering, atau rekayasa perilaku. Yang diperlukan sebagai dasar adalah peraturan yang jelas, konsisten, dan mengikat. Pendek kata, draconian law paling efektif diterapkan untuk kasus lalu-lintas. Kemacetan acap berangkat dari pelanggaran aturan lalu-lintas (saya yakin 90% demikian, entah karena kecelakaan, pelanggaran jalur, dan sebagainya).
Subyek hukum pertama yang harus dikenakan draconian law ini adalah transportasi publik. Di mata masyarakat, transportasi publik yang dipercaya adalah mereka yang rapi, terjadwal, aman, dan taat hukum. Primadona sekarang, setelah Trans Jakarta tak lagi terjadwal, rapi, dan aman, adalah KRL yang meski belum seratus persen memenuhi harkat sebagai transportasi nyaman, namun bisa menjawab sebagian masalah. Apalagi komitmen KAI dalam membereskan stasiun dan kereta lumayan bisa dilihat publik sebagai indikasi keseriusan.
Bagaimana dengan transportasi lainnya? Upaya yang dibutuhkan sebetulnya terdengar mudah. Lembagakan penyedia jasa transportasi dalam satu otoritas. Jadi bajaj, angkot, bis, dan bila perlu KRL, ada dalam satu organisasi yang menyediakan solusi tuntas masalah transportasi. Lho, bukannya ada Organda? Ingat, yang kita butuhkan adalah lembaga yang bisa menjalankan (operasional) secara terpadu, bukan mafia kelompok atau sekadar perkumpulan yang hanya membicarakan tarif.
Dengan lembaga terpadu, akan mudah juga menyesuaikan kebijakan dan peraturan, beserta implementasi hukumnya bila terjadi pelanggaran. Yang terjadi saat ini, kebijakan, aturan, dan kelitan hukum bermuara kepada pemilik armada yang mempunyai pandangan dan siasat berbeda. Belum lagi skema setoran yang membuat angkot-angkot dari satu perusahaan saling sikut-menyikut.
Kemudian, bila penyedia jasa bisa ditertibkan, PR berikut adalah dari sisi pengguna. Paling sederhana adalah membuat aturan stop transportasi publik yang hanya bisa di halte. Ada banyak guna dari selalu stop di halte ini yang tidak disadari oleh pengguna.
Yang pertama, stop di halte akan membuat perjalanan lebih bisa direncana. Karena tidak sering berhenti (untuk mengangkut dan menurunkan), maka estimasi waktu tiba di halte lebih bisa diprediksi. Mirip dengan KRL yang hanya bisa berhenti di stasiun.
Yang kedua, stop di halte juga akan membuat penumpang lebih aman. Tempat naik-turun sudah bisa dipastikan, dan hampir akan menjadi magnet atensi pengguna transportasi sehingga yang berkumpul di halte adalah orang-orang dengan tujuan yang sama. Pengawasan oleh otoritas keamanan juga bisa lebih mudah karena terlokalisir. Kasus rampok dan rampas yang terjadi di angkot, beberapa faktor juga disebabkan oleh mudahnya naik dan turun di sembarang tempat.
Yang ketiga, stop di halte juga akan membiasakan pengguna untuk berjalan kaki menuju tempat tujuan. Di lingkup revolusi mental, ini penting karena akan menumbuhkan kesadaran mengenai ruang publik bagi pejalan kaki (pedestrian). Di samping itu, kebiasaan ini juga tentunya akan menyehatkan.
Setelah pengaturan dari sisi penyedia dan pengguna jasa, barulah pertimbangan mengenai infrastruktur bisa masuk. Dengan dua engineering itu, tentu kita berharap ujaran Penalosa akan terwujud dengan migrasi orang kaya untuk menggunakan transportasi publik. Bila terwujud, beban jalan berkurang dari mobil pribadi, dan belum tentu dibutuhkan penambahan infrastruktur (flyover, pelebaran jalan, dan sebagainya). Wilayah dan ruang untuk infrastruktur bisa dikonsentrasikan untuk penambahan ruang publik dan perbaikan sarana transportasinya.
Sekarang ini logikanya agak terbalik dengan otoritas selalu memberi umpan (feed) berupa infrastruktur. Apakah itu jalan layang, separator, pelebaran jalan, dan sebagainya yang ujung-ujungnya membuat nafsu penggunaan mobil pribadi makin tinggi. Kejadian ini malah menjadi antiteori Penalosa di mana indikator kesuksesan adalah negara membuat orang miskin makin bernafsu memiliki mobil, sedangkan orang kayanya juga berambisi menambah mobil.
Posting Komentar