Cerita dari Secangkir Kopi
Seperti biasa, ritual pagi saya dimulai dengan membuka stok kopi, memanaskan mesin espresso, lalu menyeduh secangkir cappuccino (biasanya...
https://www.helmantaofani.com/2015/05/cerita-dari-secangkir-kopi.html?m=0
Seperti biasa, ritual pagi saya dimulai dengan membuka stok kopi, memanaskan mesin espresso, lalu menyeduh secangkir cappuccino (biasanya dua cangkir, satu lagi untuk istri saya). Hal yang sama juga saya lakukan Kamis (7/5) kemarin.
Biasanya saya menyeduh stok pre-ground coffee yang ada untuk mesin espresso. Namun pagi itu saya tergerak untuk membuka kopi Aroma yang baru saya beli malam sebelumnya. Jadi dalam pagi itu, saya menyeduh satu kopi yang diimpor dari Italia, dan satu lagi diimpor dari Banceuy, Bandung, tempat produksi Aroma.
Karena mempersiapkan sendiri, ketika menyeruput minuman yang terseduh, saya bisa membayangkan bagaimana bahan-bahan ini berjumpa. Biji kopi dari Bandung, sebuah mesin espresso produksi Italia, dan susu segar menerus tradisi Belanda. Semua berawal dari Ethiopia.
Orang Ethiopia punya resep jitu untuk membuat mereka tetap alert, waspada, meski badan lelah. Ramuan ini dibawa oleh penggembala yang harus menggelandang ternak melewati gurun dan ladang garam berhari-hari. Karena identik sebagai suplemen pekerja keras, beberapa budak Habsyi keturunan Ethiopia juga menyimpannya sebagai "ramuan berkhasiat" ala dukun Panoramix.
Majikan para budak itu akhirnya mengetahui adanya "ramuan berkhasiat". Diam-diam, mereka sering menyeduh lalu meminumnya. Sesekali, ketika berhaji ke Mekkah, mereka bagi ramuannya kepada jamaah haji lainnya. Sehingga, singkat kata, ramuan ini kemudian sampai ke Levant dan Turki.
Pedagang dan pedayung kapal niaga Venesia dikenalkan dengan ramuan ini ketika berdagang dengan bangsa Arab. Lalu mereka membawanya ke Eropa, disebut sebagai " anggur muslim". Di Venesia, beberapa pedagang Eropa lainnya mencicipi ramuan itu dan penasaran. Mereka menduga asal-usul ramuan itu pastilah dari India.
Di Goa, India, pedagang Belanda menemukan ramuan tersebut. Tetapi yang membawanya adalah pedagang Arab asal Hadramaut. Ia lalu bertanya, apakah si pedagang Arab bisa membawakan resep dan bahannya. Segepok emas bayarannya.
Setelah mendapatkan bahan, pedagang Belanda coba memproduksi ramuan tersebut di Friesland. Tapi hasilnya tidak seperti yang pernah ia rasakan. Maka bahan dan ramuannya dibawa ke perusahaan dagang yang memiliki aset tanah nun jauh di sana. Di Hindia Belanda.
Seorang pembibit berjanji akan mencoba mengembangkan bahan ramuan berkhasiat itu. Sesampainya di Hindia Belanda, ia mencoba menanam di selatan Batavia. Sukses tapi sedikit kurang, kata orang-orang Belanda. Ia lalu pergi lagi ke selatan, mencari dataran tinggi. Mencoba di Buitenzorg hingga menepi ke Preanger.
Bertahun-tahun ramuan Preanger menghidupi gulden perusahaan dagang Hindia Belanda. Bahkan menjadi yang terbesar, sehingga memicu negara lain mempunyai ladang ramuan berkhasiat mereka. Biasanya ditanam di negeri koloni mereka.
Di Hindia Belanda sendiri, ladang ramuan dibiakkan di tempat-tempat lain. Kebanyakan di Sumatera yang lebih luas. Produksi dari Sumatera ini kemudian menjadi gerhana bagi ramuan Preanger. Beberapa petani di Preanger malah beralih ke tanaman untuk meracik ramuan lainnya.
Ramuan Preanger, menemui takdirnya sebagaimana empunya di Ethiopia. Cairan hitam ini beredar di kalangan pekerja sebagai penyemangat. Hanya segelintir pedagang yang masih bersedia meracik ramuan ini di Pasundan. Dari segelintir itu, salah satunya gigih bertahan di Banceuy, Bandung.
Kegigihannya membawa ramuan berkhasiat ini terhidang di sebuah meja makan yang terletak tak jauh dari perkebunan selatan Batavia. Di meja, 4 abad kemudian, ramuan ini kembali dipertemukan dengan Venesia dan Friesland.
Dalam secangkir cappuccino, perjalanan panjang ini terekam.
Posting Komentar