Buih Steinbeck untuk Pohon Tua
Kala John Steinbeck menulis The Grapes of Wrath, ia menceritakan penderitaan rakyat yang terlupakan akibat Great Depression di era 1930...
https://www.helmantaofani.com/2015/06/buih-steinbeck-untuk-pohon-tua.html
Kala John Steinbeck menulis The Grapes of Wrath, ia menceritakan penderitaan rakyat yang terlupakan akibat Great Depression di era 1930-an. Mengambil perspektif buruh tani, Tom Joads, karya Steinbeck ini menginisiasi bersemainya musik rakyat (folk). Gelombang tema Steinbeck bertahan hingga dekade berikut.
The Grapes of Wrath membuahkan hadiah Nobel di bidang sastra baru pada tahun 1962. Terhitung 22 tahun ketika magnum opus Steinbeck beroleh Pullitzer sarat kontroversi. Dari era Woody Guthrie di 1940-an, The Grapes of Wrath terus menginspirasi hingga munculnya Joan Baez dan musisi muda Robert Allan Zimmerman pada 1960-an.
Zimmerman, kemudian beken dengan nama Bob Dylan (lebih merakyat ketimbang identitas Yahudinya), lantas dianggap komunis lantaran banyak menyuarakan lagu yang senafas dengan The Grapes of Wrath. Maklum, masa-masa itu merupakan puncak Perang Dingin yang kemudian akan diikuti dengan krisis militer di Vietnam. Suara Dylan memberi perlawanan yang kemudian menjadi arah tema lagu-lagu folk. Semua berawal dari empati kepada sosok petani dalam The Grapes of Wrath.
"Tapi petani sekarang sudah punya Kawasaki Ninja," kata Dadang SH Pranoto, alias Dankie, alias Pohon Tua, dalam konser Dua Senja Pohon Tua di Pavillun 28, Jakarta, Sabtu (6/6) kemarin. Dankie adalah generasi kesekian yang turut meramaikan skena folk di Indonesia tiga tahun belakangan. Pertama melalui Dialog Dini Hari, disamping "dayjob"-nya sebagai gitaris band rock Navicula. Kemudian kini, rilisan pribadinya di luar Dialog Dini Hari dan Navicula.
Karya Dankie menginspirasi Wustuk untuk membuat novella sehingga terciptalah kolaborasi yang ditandai dengan konser Dua Senja Pohon Tua. Konser tersebut digagas untuk meluncurkan bundel novella Dua Senja Pohon Tua yang ditulis Wustuk, dan album Dankie. Keduanya kebetulan bercerita mengenai kisah rakyat kebanyakan. Namun temanya tak lagi perlawanan ideologis, melainkan sikap terhadap tekanan hidup.
Dikisahkan Wustuk, penulisan novella yang ia sebut sebagai prosa liris ini merupakan proses resiprokal dirinya dan Dankie. Wustuk menulis interpretasinya terhadap empat lagu Dialog Dini Hari, disambut lagu (baru) dari Dankie. Keduanya bertemu dalam karakter Pohon Tua yang menjadi lakon dalam novella Dua Senja Pohon Tua.
"Dua Senja Pohon Tua ditulis sebagai reaksi yang diambil karakter Pohon Tua (dalam novella - pen) atas tekanan hidup," jelas Wustuk. Melawan dan berdamai dengan kenyataan pada dasarnya tetap menunjukkan keinginan untuk survive. Konklusi semacam itu yang tampaknya membalut bundel, disampaikan dalam narasi Wustuk atau lagu dari Dankie. Inilah tema folk milenial, tujuh dekade setelah Steinbeck namun manusia tetap berjuang hidup.
Delapan lagu dalam album solo Dankie, berjudul Kubu Carik, menjadi soundtrack adisional bagi novella - meski tidak bertaut langsung jalan cerita. Soundtrack inti, sudah tentu tiga lagu Dialog Dini Hari yang menjadi judul bab dalam novella: Pohon Tua Bersandar, Pagi, dan Tentang Rumahku. Materi ini yang menjadi inti setlist yang dikisahkan Dankie via konser Dua Senja Pohon Tua.
Di awal pertunjukan, dilagukan beberapa lagu Eddie Vedder yang mungkin dikonsep sebagai pengantar tema, antara lain: Just Breathe, Man of the Hour, dan Society. Setelah "pemanasan" tersebut, barulah lagu-lagu dari Kubu Carik dibawakan, ditambah beberapa dari Dialog Dini Hari yang memang bergenre sama.
Menyeling di antara lagu-lagu dari album solo Kubu Carik, terdapat Times They Are A-Changin' dan Blowing in The Wind milik Bob Dylan. "Ini lagu favorit saya sepanjang masa," kata Dankie. Dylan menulis "come senators, congressmen, please heed the call", sementara Dankie menyampaikan kancil yang terdesak oleh saga cicak dan buaya sebagai pesan dari kaum yang terlupakan.
Folk adalah musik yang menjadi pelarian rasa frustrasi. Sama seperti Ebiet G Ade yang mematenkan frasa "tanya pada rumput bergoyang", Dylan juga memberi sugesti jawaban kosong. "The answer, my friend, is blowing in the wind." Mungkin celah inilah yang membuat karakter Pohon Tua di novella memilih untuk melihat sisi-sisi positif dari sebuah keterpurukan.
Dari Dylan hingga Dankie. Musik folk, pada dasarnya, masih berkisah tentang perjuangan hidup. Dari Steinbeck hingga Wustuk. Dulu narasi Steinback menggelorakan gelombang, ditangkap dalam wujud buih ombak oleh Wustuk, lalu dihidupkan dalam karakter Pohon Tua. Nafasnya sama. Menyuarakan perlawanan dengan mengajak untuk melihat ke konsep kehidupan yang lebih besar. Tak mesti menghantam, bisa saja menyingkir dan melihat hal lain yang lebih bisa memaknai apa yang kita dapat.
Mengutip kesimpulan yang ada di dalam novella Dua Senja Pohon Tua, "Ku Harus Tetap Hidup", esensi perjuangan itu tetaplah bertahan hidup. Bukankah itu pula yang diperjuangkan keluarga Joads ketika keluar dari Oklahoma? Dari Joad hingga Pohon Tua. Dari dulu hingga sekarang.
Posting Komentar