Memori Konser Muse
Lantaran sudah lewat tiga hari, saya akan coba menceritakan konser Muse ini dalam metode yang berbeda dibanding biasanya. Dalam penul...
https://www.helmantaofani.com/2015/09/memori-konser-muse.html?m=0
Lantaran sudah lewat tiga hari, saya akan coba menceritakan konser Muse ini dalam metode yang berbeda dibanding biasanya. Dalam penulisan ini, memori akan saya rangkai berdasarkan urutan setlist yang dibawakan Matt Bellamy cs di Singapore Indoor Stadium, Sabtu (26/9) lalu.
Drill Sergeant/Psycho
Setelah menunggu sekitar sejam dari aksi band pembuka, The Ruse, layar LCD yang menjadi latar panggung menyala dengan gambar sersan militer yang berteriak memerintah kadet. Di tiket, tidak tertera adanya informasi band pembuka. Jadi, saya sebetulnya mengira bahwa jam mulai 8 PM yang tertera di tiket adalah jadwal Muse naik panggung. Jam 9.30, Muse baru mulai dan membuka dengan lagu yang selalu mengawali konser di tur album Drones, Psycho. Saya mengenalinya sebagai ekstensi lagu Stockholm Syndrome. Riff-nya sering dimainkan Muse kala menutup lagu dari album Absolution tersebut.
Reapers
Muse, trio asal Devon, Inggris, mengatasi keterbatasan personil dengan memanfaatkan skill, teknologi (sound), dan beat rapat untuk memberi kesan lebar (broad) pada musik mereka. Tiga album terakhir, mereka malah mendekati band progresif dengan membuat album konsep. Terakhir adalah Drones, yang dirilis 2015. Lagu-lagu dari album tersebut, yang bercerita mengenai bayang perang dunia ketiga, mendominasi setlist konser Muse. Namun mereka tetap bermain skill, sound, dan beat rapat. Seperti di lagu ini yang dimulai dengan fingering gitar dari Matt.
Plug In Baby
Usai membuka dengan dua lagu baru, respon meriah muncul kala intro Plug In Baby didengungkan. Beat yang jadi andalan Muse tak akan bohong. Secara historis, Muse sendiri dibangun di sekitar diskusi perkusi antara Dominic Howard (drummer) dan Chris Wolstenholme (bass, dulunya penabuh drum juga). Jadi, grup ini memang piawai menciptakan beat-beat yang sangat menggugah sejak muncul dengan debut album Showbiz di tahun 1999. Plug In Baby adalah testimoni signatur musik Muse yang muncul di era awal (dari album Origin of Symmetry).
Resistance
Signatur musik Muse pasca album Black Holes and Revelations agak berubah. Masih mengandalkan beat, namun porsi melodi (terutama yang atmosferik, alias membangun suasan) mulai mendominasi. Singel pertama dari album The Resistance ini adalah sampel mudahnya.
The 2nd Law: Unsustainable/Dead Inside
Keputusan memajang nomor-nomor yang mungkin tak terlalu populer bagi penonton awam di awal konser selalu menjadi safe bet. Tapi saya cukup kaget dengan animo penonton Singapura yang bisa mengikuti semua lagu. Mungkin beberapa di antara mereka (terutama yang asing dengan materi paska The Resistance seperti saya) belajar dulu dari setlist yang ada di dua konser sebelumnya (Shanghai (21/9) dan Bangkok (23/9)). Muse memang menganut pakem setlist yang cukup fix sepanjang tur. Mungkin karena erat kaitannya dengan dukungan multimedia yang memang sudah disiapkan untuk digunakan di berbagai venue.
Interlude/Hysteria
Matt, Dom, dan Chris adalah trio musisi yang sangat mumpuni secara skill. Dom membuat beat, kemudian Chris mengisi ritem dengan bas-nya, baru kemudian Matt suplai aliran melodi. Baik melalui aneka vokalnya (register utama atau falsetto-nya), melalui shredding (seperti di Reapers), atau ala Tom Morello dengan menggeber berpanjang intro dan outro seraya memainkan efek. Contoh sahih dari teori itu adalah lagu Hysteria, yang dalam konser selalu diselia oleh improvisasi gitar yang memamerkan sound distortif oleh Matt. Anyway, ini momen erupsi kedua di venue saat lagu ini. Saya suka dengan penonton Singapura yang tampak have fun. Fans atau bukan, cukup gila bila tak mengikuti beat dan melodi lagu ini. Minimal mengacungkan jari atau menganggukkan kepala,
Citizen Erased
Pangkal dari konsep trilogi album Resistance/The 2nd Law/Drones adalah dari lagu ini (secara tema dan musik). Muse tertarik dengan konsep pemusnahan masal yang menjadi bayangan perang dunia ketiga di era teknologi. Ini masih selaras dengan "colongan" tema sci-fi dan politik yang ada di Black Holes and Revelations. Jejaknya bisa ditelusuri lebih dalam lagi dari album Origin of Symmetry.
Feeling Good
Interlude sebenarnya adalah ketika Muse membawakan lagu yang beken oleh Nina Simone (belakangan Michael Buble) ini. Selain vokal Bellamy, tentu yang ditunggu adalah beat yang ditebalkan oleh Dom dan Chris. Matt membawakan di atas piano, dan memvariasikan satu verse menggunakan toa. Multimedia latar berubah menjadi atmosfer pagi yang damai.
Munich Jam/Madness
Ibarat pepatah "there's a calm before the storm", maka yang meningkahi Feeling Good adalah jamming instrumen yang memadukan penguasaan sound, riff ketat, beat, serta akrobat lighting yang koordinatif. Semua elemen itu, dikurangi riff ketat, kemudian dilanjutkan oleh lagu Madness dari album The 2nd Law. Di sini, ponsel baru berguna. Beberapa mengambil foto Matt yang menyanyi di atas pit yang menjulur (catwalk). Penonton lain menyalakan torch di ponsel untuk membangun suasana. Bagi saya, salah satu bintang utama konser ini adalah penonton Singapura.
Supermassive Black Hole
Merujuk pada setlist Shanghai dan Bangkok, ini adalah momen dimulainya rangkaian klimaks yang akan menutup show. Susah untuk tidak ikut berdansa robotik mengikuti intro lagu ini. Meski sejak awal saya sudah berdiri, mengabaikan kursi tempat duduk, ketika lagu ini saya jadi turun ke area jalan (perimeter) yang agak lega. Beberapa penonton (tribun) lain juga mulai meninggalkan tempat duduk mereka.
Time is Running Out
Anthem Muse ini dihiasi oleh countdown betulan yang terpampang di latar panggung. Dan mereka bisa tepat menyelesaikan pada saat hitungan countdown berakhir. Muse memang bermain super-rapi, sehingga penikmat konser yang menharapkan adanya interaksi dan improvisasi boleh jadi agak kecewa. Tapi saya maklum, karena bahan jualan mereka bukan interaksi, melainkan tempo. Saat lagu ini, seperti yang diduga, koor paling masif terdengar dari sekitar 10.000 penonton di Indoor Stadium.
Starlight
Dari tribun, pemandangan paling menggetarkan adalah melihat lautan tepuk tangan dari seluruh audiens mengikuti ketukan beat Dom Howard di intro lagu (yang barangkali) paling beken dari Muse. Lagu ini sekali lagi mempertahankan tempo dan momentum bagus, dengan koor massal masih terjadi dan makin membahana.
Uprising
Erupsi pecah di lagu yang mengakhiri set utama ini. Secara personal, saya berpendapat tempo yang mereka berikan melalui pemilihan setlist memang berhasil. Balon-balon raksasa bermunculan dari panggung, mirip suasana ketika penutup konser Metallica. Ketika pecah, konfeti muncul dan menambah meriah suasana. Hingga Muse pamit untuk encore, penonton Singapura masih berusaha memecahkan balon-balon yang ada. Catatan khusus untuk penonton, meski telat lama, mereka tetap bisa bersenang-senang. Menunggu lama pasca band pembuka, ada inisiatif penonton untuk membuat mexican wave yang disambut antusias. Mungkin itu yang digunakan sebagai pemanasan, sehingga sepanjang konser tangan mereka aktif bergerak, tak banyak yang terpaku pada layar monitor ponsel.
Encore/Mercy
Masih dalam suasana pesta, confetti muncul kembali. Kali ini disemburkan dari panggung bersamaan dengan asap yang keluar. Ketika rehearsal efek, banyak penonton Singapura yang masih bercanda mengenai haze, alias kabut asap kirimn dari Indonesia. Kawan saya bercerita mengenai haze yang mencapai indeks tinggi pada hari Rabu. Hal ini sempat disebutkan juga oleh The Ruse, band pembuka, yang mengatakan hari itu (Sabtu), haze udah ngga mengganggu, beda dengan kemarin-kemarin.
Knights of Cydonia
Chris mengawali lagu penutup dengan bermain harmonika, mengikuti koboi (yang diperankan Charles Bronson) di film Once Upon a Time in America. Ini adalah penanda bahwa berikutnya, lagu berkuda dari Matt cs akan menutup pesta. Dan ya, Knights of Cydonia yang - sekali lagi - menghamba kepada beat dan filler melodi membuat suasana penutup makin meriah. Penonton tribun makin banyak yang turun ke perimeter dasar untuk ikut meloncat dan bernyanyi.
Usai lagu, yang berarti menutup konser, Matt dan Dom menyampaikan terima kasih kepada penonton. But that's all, no group bow, dan greeting tambahan. Interaksi mereka memang sangat minimal. Bisa dibilang mereka tampil dengan dingin dan make sure the job done. Tapi rasanya penonton akan tetap puas lantaran suguhan utama mereka mirip dengan nuansa EDM. Dengan beat yang bagus, serta permainan tempo, penonton tetap bisa larut ke dalam konser tanpa harus digawangi dengan bercakap atau improvisasi berlebih.
Pukul sebelas malam tepat, Muse mengakhiri show mereka. Dan penonton yang mengandalkan MRT bergegas menuju stasiun yang untungnya menempel dengan kompleks olahraga ini. Bagi saya, yang baru pertama menonton di Indoor Stadium, highlight oke lainnya adalah dari sisi venue. Kemudahan akses, kemegahan kompleks, dan akustik yang bagus turut mendukung pengalaman konser yang mengesankan.
Konser Muse ini, bagi saya, adalah konser terbaik yang saya tonton tahun ini. Ada tiga hal kunci. Yang pertama adalah penonton Singapura (definitely lebih bagus dibanding penonton Indonesia). Sangat reaktif dan menikmati show. Yang kedua adalah venue. Good acoustic, stage, location, serta no hassle.
Terakhir tentu dari band sendiri, yang meski boleh dibilang bermain text-book, namun tetap bisa menghadirkan suguhan maksimal. Top notch dari sisi menjaga tempo dengan pemilihan setlist (walau fixed seperti konser sebelumnya), yang dalam skala makro meminjam istilah dari lagu Muse sendiri, juga bersifat uprising.
Kredit foto: Wisnu HY
Posting Komentar