Gelut Penonton Film
Ekses dari polarisasi pendapat mengenai film Batman Vs Superman: Dawn of Justice (BVS) semakin membuktikan apa yang saya tulis mengenai ...
https://www.helmantaofani.com/2016/03/gelut-penonton-film.html?m=0
Ekses dari polarisasi pendapat mengenai film Batman Vs Superman: Dawn of Justice (BVS) semakin membuktikan apa yang saya tulis mengenai ekspektasi orang menonton film adaptasi komik. Di tulisan lalu saya menulis tiga hal yang membentuk skala dan ekspektasi penonton kala disuguhi film adaptasi komik: visualisasi, aksi, dan cerita.
Bagi penggemar komik, mereka memang ingin melihat visualisasi saja. Aksi nomer dua, baru cerita. Yang penting bagi mereka adalah apakah visualisasinya masih sesuai pakem yang mereka paham. Mana keterkaitan dengan versi komik. Lalu easter eggs yang hanya comik geek yang tahu. Biasanya, di genre film ini memang bertebaran detail-detail yang menghubungkan cerita film dan komik. Hanya penggemar yang tahu, penonton awam halal untuk luput. Itu sebabnya detail semacam itu ditaruh di sub-scene (scene yang tidak memengaruhi jalan cerita, macam deleted scenes, easter eggs, dan sebagainya).
Jenis kedua, penonton umum (casual moviegoers) berharap mengenai adegan aksi. Mereka set ekspektasi film yang rame, seru, dan bakbikbuk. Film adalah escape, hiburan. Tidak perlu mikir. Film adaptasi komik memang sering dianggap penyaluran ekspektasi itu. Maka, ketika film yang diharapkan buat rame-ramean ternyata mengandung plot yang kompleks, pendalaman karakter, dan sebagainya, bisa jadi ini menjadi poin negatif. Komplain ini awam muncul dalam BVS yang mengatakan filmnya membosankan karena terlalu banyak cerita.
Jenis ketiga, penggemar film umum (avid moviegoers). Katakanlah, jalan pikiran hemisfer ini selaras dengan jalan pikiran kritikus film. Mereka memandang kekuatan utama film adalah dari sisi cara bercerita. Ada (setidaknya) tiga elemen penting film. Tujuan film, seni peran, dan cara bercerita (ini termasuk pace, level of detail, tekstur, dan juga logika skenario). Faktor penting bagi golongan ini adalah skenario (screenplay) dan akting.
Screenplay bisa dibayangkan sebagai teknik bercerita. Anda diminta membacakan dongeng dari buku setebal 75 halaman oleh ananda, dalam waktu hanya 3 menit. Tentu ini akan memengaruhi kecepatan Anda berbicara (pace), bagaimana Anda memotong bagian cerita (level of detail) dan menyambungkannya (logika skenario).
Adegan A ada karena akan memengaruhi adegan B. Adegan B fungsinya sebagai titik balik film sehingga penonton bisa menerima keputusan untuk menghadirkan adegan C. Itu adalah logika skenario. Dasar kritik film (apapun filmnya) adalah memahami logika skenario.
Kembali ke kasus BVS, bagi penggemar komik, film ini bagus secara visualisasi. Departemen seni dan produksinya bekerja dengan standar film Hollywood papan atas. Halus CGI, kostum meyakinkan, gambar pun indah. Lebih detail lagi, banyak easter eggs yang membuat senang penggemar komik. Serta salah satu faktor pendongkrak adalah kehadiran Gal Gadot yang banyak dirayakan sebagai highlight film. Berapa banyak Anda menjumpai status di media sosial yang menyatakan Gal Gadot sebagai elemen paling dikenang dari BVS?
Bagi penggemar umum, konsensus BVS agak mirip dengan Man of Steel. Berpanjang kisah dan kurang "rame". Bagi kritikus film, logika skenario BVS kurang bagus. Dwigolongan ini kemudian terlibat dalam perang status dengan golongan sebelumnya, yang tak kalah seru dibanding gelut Superman melawan Doomsday di media sosial.
Posting Komentar