Kelayakan Sorot Spotlight
Jujur, saya termasuk barisan sakit hati yang kecewa kala Morgan Freeman menarik amplop Best Picture, dan mengumumkan Spotlight sebagai pe...
https://www.helmantaofani.com/2016/03/kelayakan-sorot-spotlight.html?m=0
Jujur, saya termasuk barisan sakit hati yang kecewa kala Morgan Freeman menarik amplop Best Picture, dan mengumumkan Spotlight sebagai pemenang Academy Awards, beberapa pekan lalu. Saya, belum menonton Spotlight, rooting untuk Mad Max: Fury Road yang malam itu telah menggondol 6 buah Oscar.
Sebagai awak media, wabil khusus koran, saya semestinya berdiri di belakang film yang mengisahkan upaya wartawan Boston Globes mengungkap skandal pelecehan seksual di kalangan pastor. Ini adalah kisah klasik, glorifying nilai jurnalistik, mesiu bagus untuk menangkal isu senjakala suratkabar yang berhembus belakangan. Mengenai "standing on the right side" (bukan dalam konteks kampanye Presiden) dan makna "being there".
Boston, mungkin, bagaikan Padang sebagai kota yang dikuasai sendi-sendi keagamaan. Dalam hal ini Katolik, mengingat bagian besar dari kota pelabuhan itu merupakan keturunan imigran Irlandia. Dua agama di sana adalah Red Sox, klub bisbol setempat, dan tentu saja Katolik. Kisah Spotlight berotasi di kisaran waktu Globes diakuisisi oleh grup The Times yang beraliran...ehm, liberal. Maka, ketika editor in chief yang ditransfer dari (grup) The Times, yang mana Yahudi pula, minta untuk ngrusuhi komunitas Katolik di Boston, tentu sebagian awak lokal merasa gusar.
Wajarkah kondisi ini?
Amat sangat wajar. Bayangkan Anda, sebagai wartawan, diminta untuk mengungkap skandal besar yang bisa mencoreng lembaga keagamaan (Islam) terkemuka di Indonesia?
Tentu akan sangat menimbang baik-buruk, untung-rugi, dan tentu saja kemaslahatan umat. Apakah blow up skandal tepat. Atau biarkan kita memperbaiki in silence tanpa publlik mengetahuinya? Pertanyaan itu adalah enigma jurnalisme yang selalu menghantui setiap sidang redaksi. Itulah lakon utama yang tersaji di dalam Spotlight. Bukan tentang skandalnya, atau upaya peyelidikan jurnalistiknya. Apakah sebuah kasus itu newsworthy atau tidak. Apakah newsworthy saja cukup. Bagaimana efeknya?
Michael Keaton berperan sebagai Walter "Robby" Robinson. Born and bred di Boston. Sekolahnya, sekolah Katolik, pas di seberang kantor Boston Globe. Mirip dengan rerata karyawan dan jurnalis koran, karier Robby habis mengurusi berbagai desk di Globe. Salah satunya adalah desk Spotlight, segmen investigasi yang ada di Globe, bersama dengan Mike Rezendes (Mark Ruffalo), wartawan idealis yang menyenangi penelusuran cerita.
Robby, bagian dari komunitas Boston adalah yang paling terkena pertanyaan film ini. Apakah membela komunitasnya, atau prinsip jurnalisme dan kebenaran. Dengan diangkatnya film ini, di mana liputan Spotlight memenangkan Pullitzer bagi Globe, maka sudah pasti Robby dan Globe memilih untuk menyampaikan kebenaran kepada komunitas. Pahit, tapi obat memang begitu.
Spotlight, sebagai film, sangat lugas bercerita. Dengan konten yang cukup padat dan menantang, screenplay bisa lekas menyambung bagian per bagian sehingga tidak menimbulkan kebosanan. Saya berani bertaruh, porsi persentase penonton yang tertidur di film ini jauh lebih sedikit dibanding Batman Vs Superman.
Bagaimana film ini mengakhiri juga membuktikan kekuatan screenplay yang dibangun. Film tidak dibangun dengan pendekatan suspense/thriller, cenderung cerita datar. Namun dengan pemaparan fakta yang mencengangkan di akhir film mampu memaku sebagian penonton untuk tetap duduk di akhir film. Beberapa tercengang, menyerap fakta, mengamini bahwa kasus yang diungkap Globe ini memang "sesuatu".
Dari sisi akting, saya menggugat mengapa Michael Keaton tak mendapatkan Oscar nod. Dalam penilaian saya, karakter Keaton bisa menampilkan pergumulan batin yang menjadi jiwa film ini. Karakter Robby yang mewakili perasaan warga Boston bisa digambarkan dengan baik oleh Keaton.
Mark Ruffalo, di sisi lain, memang gemilang memainkan Mike Rezendes. Anda bisa YouTube bagaimana Mike Rezendes asli, caranya berbicara, dan akan semakin mengangkat topi untuk Ruffalo. Ia tipe aktor yang bisa tenggelam dalam karakter, menyusul tahun lalu juga gemilang di Foxcatcher.
Rachel McAdams sebetulnya tidak terlalu gemilang, selain beberapa scene yang menggambarkan konflik batinnya (mirip dengan Robby). Maka tak heran ia kalah mengilap dibanding kompetitornya di Best Supporting Actress.
Spotlight menjadi film yang personal buat saya. Film ini mengutarakan detail setting luar biasa. Sebagai keluarga pekerja koran, maka saya bisa meyakinkan bahwa seperti itulah kondisi newsroom.
Adegan awal, pelepasan wartawan senior, paralel dengan adegan yang sering terjadi di newsroom manapun. Sempat terharu juga melihat proses cetak koran ditampilkan di klimaks film. Dialektika analog dan digital sempat mewarnai, sebelum saya diingatkan setting film ini di tahun 2000. Bagi saya, film ini seperti love letter industri koran kepada dunia hiburan.
Newsroom, kondisi ruangan, dialog-dialog yang sama juga masih terjadi dari era boom koran yang menggulingkan Richard Nixon, ke skandal besar yang diulas Globe, hingga sekarang The Independent tutup. Beruntung film mengabadikan memorabilia media ini dalam film-film terbaiknya. Dari All the President's Men, The Insider, hingga Spotlight kini.
Usai menonton Spotlight, saya mulai merelakan Mad Max: Fury Road gagal di nominasi paling bergengsi Academy Awards. Spotlight hanya menggondol satu Oscar, tapi sangat mewakili bagaimana sebuah film bekerja. Produksi yang bagus, skenario lancar, serta akting menawan. Tentunya di belakangnya ada pasukan sutradara dan editor yang berkelas. Best Picture harus bisa bicara dalam segala sisi tersebut.
Saya lega Spotlight mendapatkan spotlight-nya. Secara umum, misi dari film ini penting untuk disampaikan. Bukan perkara agamanya, namun bagaimana enigma jurnalistik itu ada. Secara khusus, film ini bagi saya pribadi juga penting karena mengabarkan kepada dunia bagaimana koran bekerja.
PS: Review ini berwujud draft sejak menonton filmnya pada akhir Februari lalu. Saya baru menemukan draft ini kemudian.
Posting Komentar