Jalan Panjang AC Milan
Usai dua musim penuh prahara, tahun 2016 tidak tampak sebagai musim menjanjikan bagi Milan. Kekuatan sepakbola besar pada dekade 1990-an te...
https://www.helmantaofani.com/2016/05/jalan-panjang-ac-milan.html?m=0
Usai dua musim penuh prahara, tahun 2016 tidak tampak sebagai musim menjanjikan bagi Milan. Kekuatan sepakbola besar pada dekade 1990-an tersebut kini berada dalam sengkarut kepentingan politik, kondisi ekonomi, dan kebijakan efisiensi yang terus menggerus reputasi Setan Merah.
Milan membutuhkan jalan panjang untuk bisa kembali sebagai powerhouse sepakbola Eropa. Jalan tak mudah, namun harus dimulai. Bermula dari musim panas nanti, terkait kebijakan transfer mereka.
Menerka, atau dalam kasus tulisan ini menyarankan, rekrutan Milan di musim 2016/2017 sedikit susah. Pasalnya, banyak batasan yang menyebabkan ruang gerak Rossoneri di bursa transfer musim panas nanti menjadi sangat terbatas.
Pertama, Milan tidak lolos ke Liga Champions. Ini langsung menghajar sektor keuangan yang sudah ngap-ngap dua-tiga tahun terakhir. Apalagi beban gaji masih cukup besar, dengan stok skuat yang besar. Milan gagal "menyingkirkan" beban gaji dari Luis Adriano musim dingin lalu. Jadi, pembelian Milan hampir pasti bergantung pada bagaimana mereka membuka ruang gaji dengan menjual beberapa pemain.
Kedua, program atau visi Milan dengan tumbangnya Sinisa Mihajlovic menjadikan pemain yang tengah berkembang berpikir keras sebelum berlabuh ke Milan. Lebih baik mereka mengincar prestise semusim-dua musim di top 3 liga besar, daripada nasib tak menentu di Milan. Variabel poin ini sangat bergantung pada sosok pelatih yang akan menukangi Milan musim depan. Bila masih bersama Christian Brocchi, melihat preseden Clarence Seedorf dan Filippo Inzaghi, rasanya Milan masih akan mengarungi bahtera kompetisi dengan mabuk laut.
Ketiga, model bisnis Milan selama ini yang cenderung membeli pemain burnout untuk di-revival. Ini membuat sasaran transfer terbuka pada pemain yang gagal menembus skuat utama, habis transfer, atau memang dibuang klub asalnya.
Poin ketiga menjadi memudahkan kita untuk memetakan bidikan Milan. Pemain yang gagal menembus skuat utama bisa ditebak akan ditadah dari klub-klub elit G20. Di sini, Galliani bisa memainkan jurus menjerat pemain dengan peminjaman beropsi permanen. Siapa saja mereka?
Dari Liga Jerman, stok burnout dari Bayern Munich masih cukup mahal. Mario Goetze masih mudah mendapatkan klub elit lain. Javi Martinez dan Franck Ribery yang mungkin, meski nama terakhir tampak rumit lantaran opsi bertahan di Bavaria lebih menguntungkan.
Dari Liga Inggris, Milan bisa menadah pembersihan dari Chelsea. Branislav Ivanovic, Ramires, atau Pedro mungkin menjadi pemain yang siap dipinang. Di luar itu, Milan juga bisa berharap mendapatkan limpahan pemain Manchester City bila Josep Guardiola melakukan pembersihan.
Dari Spanyol, hubungan mesra La Liga dan Serie A bisa berlanjut. Pemain tak terpakai di Real Madrid, Atletico, dan Barcelona siap menjadi rebutan klub Serie A, termasuk Milan. Aset besar mereka sulit dibajak, kecuali Atletico. Tapi jangan berharap Antoine Griezmann. Milan masih punya truf Fernando Torres yang mungkin akan dibarter dengan eks bek Fiorentina di Atleti, Stefan Savic.
Dari Serie A sendiri, pemain yang meroket musim ini menarik radar Milan. Kekuatan prestise Milan masih bisa menarik bintang-bintang Sassuolo, Chievo, atau Udinese. Tapi mereka juga lebih sadar terhadap situasi Milan sehingga akan lebih tricky dalam mendapatkan pemain yang top. Pertukaran masif Milan dan Genoa musim ini adalah contoh. Namun, tidak tertutup Milan mendapatkan bintang lokal macam Domenico Berardi, Nicola Sansone, atau Adam Masina seperti halnya ketika Diavoli memperoleh Giacomo Bonaventura. Sampai di sini, inilah target realistis transfer Milan di musim depan.
Target realistis lain adalah mengambil dari Eropa Timur dan Turki. Terutama untuk pemain asing yang cenderung kurang betah bermain lama di Rusia atau Ukraina. Axel Witsel sudah dirumorkan lama. Masih ada Hulk yang mulai menurun harga pasarnya. Lalu barisan pemain yang meloloskan Shaktar ke semifinal Liga Europa juga bisa menjadi komoditi.
Hanya saja, dengan kemampuan fiskal Milan, paling banter Galliani hanya bisa mendatangkan pemain yang kontraknya tuntas bulan Januari, seperti Keisuke Honda satu setengah musim lalu. Dengan tiga faktor di atas, ruang gerak Milan memang sangat terbatas. Paling bagus adalah memanfaatkan binaan sebagai tonggak prestasi. Milan bisa mengubah model bisnis sebagai klub pembibit bintang dan dijual dengan mahal. Musim ini aset Milan naik dari Gianluigi Donnarumma, kiper 16 tahun yang promosi dari tim yunior. Tapi Milan era Berlusconi bukan klub yang sabar memetik hasil binaan.
Di Serie A, klub bola adalah simbol famili. Dari dulu, hingga sekarang, pertarungan famili ini menjadi kisah yang tak henti mewarnai negeri spaghetti dari berbagai sisi. Dulu famili memelihara seniman, ilmuwan, dan sebagainya. Kemudian klub sepakbola. Masuknya ekonomi Eropa membuat pola itu berantakan. Famili Italia berhadapan langsung dengan kekuatan industri Jerman. Sepakbola yang berkaitan langsung dengan ekonomi menjadi cerminan ketimpangan zona ekonomi Eropa yang telah memakan korban kolaps-nya Yunani. Klub Serie A kini harus beradaptasi meninggalkan pola lama untuk bisa bertarung secara kontinental.
Termasuk Milan tentu.
Usai pemecatan Mihajlovic, bos ultras Milan, Il Barone, menyarankan klub untuk memanggil Paolo Maldini sebagai Direktur Teknik. Ini sebetulnya potensi game changer Milan di bursa transfer.
Kharisma dan nama besar Maldini bisa meyakinkan pemain-pemain "fading away" untuk ikut bergabung, terlepas dari gaji yang mungkin akan sedikit lebih kecil dibanding mereka ke MLS atau Tiongkok. Maldini juga memiliki kapasitas taktik, dengan pengalaman bermainnya, untuk melihat kebutuhan Milan.
Di Italia, posisi Direktur Teknik sangat vital. Ia menentukan kebijakan transfer, daftar buruan, dan kadang memberi intervensi mengenai taktik. Ini adalah separuh fungsi manajer di Liga Inggris (dan Liga Jerman). Bursa Direktur Teknik cukup ramai dalam lima musim belakangan, melejitkan nama-nama seperti Walter Sabatini, Pantaleo Corvino, dan incaran Milan, Sean Sogliano.
Kemungkinan masuknya Maldini juga mungkin akan membawa moril positif di ruang ganti. Skuad Milan paska-Ancelotti (paska-senatori) dianggap terpisah dari "heritage" masa lalu yang sinambung dari era kejayaan trio Belanda. Ini dirasakan Kaka ketika kembali ke Milan dari Real Madrid. Estafet generasi memang tidak berjalan mulus ketika kesannya Milan membuang para veteran macam Massimo Ambrosini. So, masuknya Maldini dalam jajaran manajemen bisa berperan sebagai simbol estafet Milan sekarang dan Milan masa jaya.
Maldini bisa mengarahkan klub untuk yakin dengan proyek jangka panjang. Ia bisa menjadi patron bagi pelatih Milan bila ingin diberi waktu untuk menerjemahkan strategi manajemen. Bisa jadi Brocchi, bila dipertahankan, akan meneruskan kebijakannya dengan lebih banyak menggunakan pemain (alumni) primavera. Lagipula, untuk apa mempromosikan pelatih dari tim yunior apabila ia tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan atau rejuvenasi skuat?
Tidak ada jalan pintas bagi Milan untuk kembali menjadi kandidat scudetto. Juventus terus melesat sebagai klub kaya dengan visi kontinental (ironisnya, ini yang dilakukan Milan satu dekade silam). Mereka menjelma menjadi Bayern Munich versi Serie A di mana Bianconeri menjadi gravitasi kompetisi.
Di bawahnya, Roma berpotensi menjadi Dortmund. Klub ibukota tersebut punya visi yang lumayan modern sejak dimiliki oleh taipan bisnis Amerika, James Pallotta. Bila stadion mereka jadi, maka Roma akan menjadi klub kedua di Italia.
Napoli, sejauh ini, juga didukung manajemen solid. Tapi Partenopei, seperti halnya banyak klub Italia, bergantung pada kebijakan pemiliknya. Bila Aurelio De Laurentiis tidak angot, maka Napoli bisa terus mempertahankan status di papan atas.
Milan, di sisi lain, mulai ditinggalkan pemilik namun belum bisa menjadi unit usaha cemerlang seperti Juventus yang mengadopsi Bundesliga-way. Milan hanya mengandalkan nama besar, yang lambat laun mulai surut. Strategi transfer Galliani, meski aneh dan sering diolok-olok, adalah buah kompromi dari situasi sesungguhnya Milan secara finansial. Alih-alih mendapatkan dukungan dana, pemilik Milan adalah parasit sebenarnya. Ambruknya karier politik dan lesunya bisnis media membuat reputasi Berlusconi hanya bergantung pada klub yang dibelinya pada 1986 ini.
Bagaimana bila Milan dijual? Akan bernasib sama seperti Inter, yang menjadi klub zombie, tanpa karakter akibat ketidak jelasan DNA pemilik. Erik Tohir boleh jadi pemegang saham mayoritas, tapi keberadaannya di Inter tidak menjadi seperti Presiden yang dibutuhkan mayoritas klub-klub Serie A. Hal ini akan menghinggapi Milan apabila rumor pembelian oleh taipan Tiongkok menjadi kenyataan. Para jutawan Asia, seperti Tohir, membeli klub untuk memutar uang (investasi). Mereka menghitung investasi dan laba yang didapat.
Milan membutuhkan pemilik yang berlaku seperti pangeran-pangeran Arab. Klub bola, bagi mereka, adalah kuda-kuda pacu yang mengatrol gengsi. Mereka tidak akan segan untuk menggelontorkan dana guna menghias kuda pacu. Inilah yang dialami oleh PSG dan Manchester City. Tapi aturan baru, Financial Fair Play, membatasi konsep seperti itu.
Tidak ada jalan lain bagi Milan untuk mengarungi masa sulit ini dengan kesabaran dan strategi jangka panjang. Langkah Juventus (yang sudah diikuti Udinese, kemudian Roma) harus diikuti. Milan harus kembali ke proyek untuk mempunyai stadion sendiri, manajemen yang independen, dan keterbukaan.
Hanya, maukah tifosi bersabar?
Milan membutuhkan jalan panjang untuk bisa kembali sebagai powerhouse sepakbola Eropa. Jalan tak mudah, namun harus dimulai. Bermula dari musim panas nanti, terkait kebijakan transfer mereka.
Menerka, atau dalam kasus tulisan ini menyarankan, rekrutan Milan di musim 2016/2017 sedikit susah. Pasalnya, banyak batasan yang menyebabkan ruang gerak Rossoneri di bursa transfer musim panas nanti menjadi sangat terbatas.
Pertama, Milan tidak lolos ke Liga Champions. Ini langsung menghajar sektor keuangan yang sudah ngap-ngap dua-tiga tahun terakhir. Apalagi beban gaji masih cukup besar, dengan stok skuat yang besar. Milan gagal "menyingkirkan" beban gaji dari Luis Adriano musim dingin lalu. Jadi, pembelian Milan hampir pasti bergantung pada bagaimana mereka membuka ruang gaji dengan menjual beberapa pemain.
Kedua, program atau visi Milan dengan tumbangnya Sinisa Mihajlovic menjadikan pemain yang tengah berkembang berpikir keras sebelum berlabuh ke Milan. Lebih baik mereka mengincar prestise semusim-dua musim di top 3 liga besar, daripada nasib tak menentu di Milan. Variabel poin ini sangat bergantung pada sosok pelatih yang akan menukangi Milan musim depan. Bila masih bersama Christian Brocchi, melihat preseden Clarence Seedorf dan Filippo Inzaghi, rasanya Milan masih akan mengarungi bahtera kompetisi dengan mabuk laut.
Ketiga, model bisnis Milan selama ini yang cenderung membeli pemain burnout untuk di-revival. Ini membuat sasaran transfer terbuka pada pemain yang gagal menembus skuat utama, habis transfer, atau memang dibuang klub asalnya.
Poin ketiga menjadi memudahkan kita untuk memetakan bidikan Milan. Pemain yang gagal menembus skuat utama bisa ditebak akan ditadah dari klub-klub elit G20. Di sini, Galliani bisa memainkan jurus menjerat pemain dengan peminjaman beropsi permanen. Siapa saja mereka?
Dari Liga Jerman, stok burnout dari Bayern Munich masih cukup mahal. Mario Goetze masih mudah mendapatkan klub elit lain. Javi Martinez dan Franck Ribery yang mungkin, meski nama terakhir tampak rumit lantaran opsi bertahan di Bavaria lebih menguntungkan.
Dari Liga Inggris, Milan bisa menadah pembersihan dari Chelsea. Branislav Ivanovic, Ramires, atau Pedro mungkin menjadi pemain yang siap dipinang. Di luar itu, Milan juga bisa berharap mendapatkan limpahan pemain Manchester City bila Josep Guardiola melakukan pembersihan.
Dari Spanyol, hubungan mesra La Liga dan Serie A bisa berlanjut. Pemain tak terpakai di Real Madrid, Atletico, dan Barcelona siap menjadi rebutan klub Serie A, termasuk Milan. Aset besar mereka sulit dibajak, kecuali Atletico. Tapi jangan berharap Antoine Griezmann. Milan masih punya truf Fernando Torres yang mungkin akan dibarter dengan eks bek Fiorentina di Atleti, Stefan Savic.
Dari Serie A sendiri, pemain yang meroket musim ini menarik radar Milan. Kekuatan prestise Milan masih bisa menarik bintang-bintang Sassuolo, Chievo, atau Udinese. Tapi mereka juga lebih sadar terhadap situasi Milan sehingga akan lebih tricky dalam mendapatkan pemain yang top. Pertukaran masif Milan dan Genoa musim ini adalah contoh. Namun, tidak tertutup Milan mendapatkan bintang lokal macam Domenico Berardi, Nicola Sansone, atau Adam Masina seperti halnya ketika Diavoli memperoleh Giacomo Bonaventura. Sampai di sini, inilah target realistis transfer Milan di musim depan.
Target realistis lain adalah mengambil dari Eropa Timur dan Turki. Terutama untuk pemain asing yang cenderung kurang betah bermain lama di Rusia atau Ukraina. Axel Witsel sudah dirumorkan lama. Masih ada Hulk yang mulai menurun harga pasarnya. Lalu barisan pemain yang meloloskan Shaktar ke semifinal Liga Europa juga bisa menjadi komoditi.
Hanya saja, dengan kemampuan fiskal Milan, paling banter Galliani hanya bisa mendatangkan pemain yang kontraknya tuntas bulan Januari, seperti Keisuke Honda satu setengah musim lalu. Dengan tiga faktor di atas, ruang gerak Milan memang sangat terbatas. Paling bagus adalah memanfaatkan binaan sebagai tonggak prestasi. Milan bisa mengubah model bisnis sebagai klub pembibit bintang dan dijual dengan mahal. Musim ini aset Milan naik dari Gianluigi Donnarumma, kiper 16 tahun yang promosi dari tim yunior. Tapi Milan era Berlusconi bukan klub yang sabar memetik hasil binaan.
Di Serie A, klub bola adalah simbol famili. Dari dulu, hingga sekarang, pertarungan famili ini menjadi kisah yang tak henti mewarnai negeri spaghetti dari berbagai sisi. Dulu famili memelihara seniman, ilmuwan, dan sebagainya. Kemudian klub sepakbola. Masuknya ekonomi Eropa membuat pola itu berantakan. Famili Italia berhadapan langsung dengan kekuatan industri Jerman. Sepakbola yang berkaitan langsung dengan ekonomi menjadi cerminan ketimpangan zona ekonomi Eropa yang telah memakan korban kolaps-nya Yunani. Klub Serie A kini harus beradaptasi meninggalkan pola lama untuk bisa bertarung secara kontinental.
Termasuk Milan tentu.
Usai pemecatan Mihajlovic, bos ultras Milan, Il Barone, menyarankan klub untuk memanggil Paolo Maldini sebagai Direktur Teknik. Ini sebetulnya potensi game changer Milan di bursa transfer.
Kharisma dan nama besar Maldini bisa meyakinkan pemain-pemain "fading away" untuk ikut bergabung, terlepas dari gaji yang mungkin akan sedikit lebih kecil dibanding mereka ke MLS atau Tiongkok. Maldini juga memiliki kapasitas taktik, dengan pengalaman bermainnya, untuk melihat kebutuhan Milan.
Di Italia, posisi Direktur Teknik sangat vital. Ia menentukan kebijakan transfer, daftar buruan, dan kadang memberi intervensi mengenai taktik. Ini adalah separuh fungsi manajer di Liga Inggris (dan Liga Jerman). Bursa Direktur Teknik cukup ramai dalam lima musim belakangan, melejitkan nama-nama seperti Walter Sabatini, Pantaleo Corvino, dan incaran Milan, Sean Sogliano.
Kemungkinan masuknya Maldini juga mungkin akan membawa moril positif di ruang ganti. Skuad Milan paska-Ancelotti (paska-senatori) dianggap terpisah dari "heritage" masa lalu yang sinambung dari era kejayaan trio Belanda. Ini dirasakan Kaka ketika kembali ke Milan dari Real Madrid. Estafet generasi memang tidak berjalan mulus ketika kesannya Milan membuang para veteran macam Massimo Ambrosini. So, masuknya Maldini dalam jajaran manajemen bisa berperan sebagai simbol estafet Milan sekarang dan Milan masa jaya.
Maldini bisa mengarahkan klub untuk yakin dengan proyek jangka panjang. Ia bisa menjadi patron bagi pelatih Milan bila ingin diberi waktu untuk menerjemahkan strategi manajemen. Bisa jadi Brocchi, bila dipertahankan, akan meneruskan kebijakannya dengan lebih banyak menggunakan pemain (alumni) primavera. Lagipula, untuk apa mempromosikan pelatih dari tim yunior apabila ia tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan atau rejuvenasi skuat?
Tidak ada jalan pintas bagi Milan untuk kembali menjadi kandidat scudetto. Juventus terus melesat sebagai klub kaya dengan visi kontinental (ironisnya, ini yang dilakukan Milan satu dekade silam). Mereka menjelma menjadi Bayern Munich versi Serie A di mana Bianconeri menjadi gravitasi kompetisi.
Di bawahnya, Roma berpotensi menjadi Dortmund. Klub ibukota tersebut punya visi yang lumayan modern sejak dimiliki oleh taipan bisnis Amerika, James Pallotta. Bila stadion mereka jadi, maka Roma akan menjadi klub kedua di Italia.
Napoli, sejauh ini, juga didukung manajemen solid. Tapi Partenopei, seperti halnya banyak klub Italia, bergantung pada kebijakan pemiliknya. Bila Aurelio De Laurentiis tidak angot, maka Napoli bisa terus mempertahankan status di papan atas.
Milan, di sisi lain, mulai ditinggalkan pemilik namun belum bisa menjadi unit usaha cemerlang seperti Juventus yang mengadopsi Bundesliga-way. Milan hanya mengandalkan nama besar, yang lambat laun mulai surut. Strategi transfer Galliani, meski aneh dan sering diolok-olok, adalah buah kompromi dari situasi sesungguhnya Milan secara finansial. Alih-alih mendapatkan dukungan dana, pemilik Milan adalah parasit sebenarnya. Ambruknya karier politik dan lesunya bisnis media membuat reputasi Berlusconi hanya bergantung pada klub yang dibelinya pada 1986 ini.
Bagaimana bila Milan dijual? Akan bernasib sama seperti Inter, yang menjadi klub zombie, tanpa karakter akibat ketidak jelasan DNA pemilik. Erik Tohir boleh jadi pemegang saham mayoritas, tapi keberadaannya di Inter tidak menjadi seperti Presiden yang dibutuhkan mayoritas klub-klub Serie A. Hal ini akan menghinggapi Milan apabila rumor pembelian oleh taipan Tiongkok menjadi kenyataan. Para jutawan Asia, seperti Tohir, membeli klub untuk memutar uang (investasi). Mereka menghitung investasi dan laba yang didapat.
Milan membutuhkan pemilik yang berlaku seperti pangeran-pangeran Arab. Klub bola, bagi mereka, adalah kuda-kuda pacu yang mengatrol gengsi. Mereka tidak akan segan untuk menggelontorkan dana guna menghias kuda pacu. Inilah yang dialami oleh PSG dan Manchester City. Tapi aturan baru, Financial Fair Play, membatasi konsep seperti itu.
Tidak ada jalan lain bagi Milan untuk mengarungi masa sulit ini dengan kesabaran dan strategi jangka panjang. Langkah Juventus (yang sudah diikuti Udinese, kemudian Roma) harus diikuti. Milan harus kembali ke proyek untuk mempunyai stadion sendiri, manajemen yang independen, dan keterbukaan.
Hanya, maukah tifosi bersabar?
Posting Komentar