Oh Tidak, Spanyol Lagi
Bagi Italia, tak ada lawan yang lebih disegani dalam jagad sepakbola selain dua negara: Argentina dan Spanyol. Jerman, Brasil, Inggris, a...
https://www.helmantaofani.com/2016/06/oh-tidak-spanyol-lagi.html?m=0
Bagi Italia, tak ada lawan yang lebih disegani dalam jagad sepakbola selain dua negara: Argentina dan Spanyol. Jerman, Brasil, Inggris, atau Perancis tak pernah membuat orang Italia gentar. Tapi Argentina dan Spanyol selalu mendapatkan respek spesial.
Bukan perkara kekalahan 0-4 di final Piala Eropa 2012 saja. Fakta bahwa Italia tak pernah menang dari Spanyol di kompetisi resmi sejak 1994 membuka berbagai analisa mengapa Azzurri seolah tunduk di depan talenta-talenta La Roja.
Musim ini, di Serie A, peran pemain Spanyol memegang kunci bagi beberapa klub papan atas. Alvaro Morata di Juventus, dan barisan gemilang Spanyol di Napoli (Pepe Reina, Raul Albiol, dan Jose Callejon). Di Fiorentina ada Borja Valero yang jadi dirijen. Ini terjadi beberapa musim terakhir, setelah Guardiola-effect melanda. Sebelumnya, di Italia, pemain Spanyol seperti menjadi candaan. Paling sukses adalah Luis Helguera, saudara pemain Madrid, Ivan. Ia relatif bertahan lama di Italia bersama Udinese, Fiorentina, dan Vicenza.
Italia juga terkena demam tiki-taka. Persuaan di level negara pertama dengan possession football dan umpan pendek ala Spanyol terjadi pada Piala Eropa 2008. Di perempat final, Italia bisa membendung Spanyol, tapi takluk di adu pinalti. Spanyol lantas menjadi juara, awal dari hegemoni mereka menyapu semua gelar internasional hingga 2012.
Bagi Italia, yang bermain nyaris dengan gaya antitesis tiki-taka, zonal marking dan umpan-umpan panjang, bermain menghadapi Spanyol sangat menguras mental dan fisik. Ini terjadi juga di level klub, yang dibuktikan dengan sulit menangnya klub Italia atas klub Spanyol beberapa musim belakangan. Napoli, musim ini, takluk dari Athletic Bilbao pada playoff Liga Champions.
Gaya bermain Spanyol ini mengingatkan kepada gaya tim Hungaria pada dekade 1950-an. Pilar tim Magyar, seperti Ferenc Puskas, akhirnya berpindah kewarganegaraan dan sempat membela Spanyol. Warisan tak terduganya adalah tradisi sepakbola, yang lantas disempurnakan - dalam karma yang sempurna - oleh Johan Cruyff dan kemudian Josep Guardiola. Total Football Belanda yang masyhur di 1970-an diturunkan dari gaya Magyar juga, dengan menjaga possession dan umpan-umpan pendek.
Gaya Magyar ini sebetulnya menginspirasi gaya catenaccio awal yang dipopulerkan oleh Nereo Rocco bersama Trieste. Di klub semenjana itu, Rocco membentuk tim dari barisan pertahanan yang bermain tiki-taka, memainkan possession hingga ke tengah lapangan, masuk zona musuh. Dari situ, umpan panjang dilepaskan, mengagetkan lawan yang bersiap untuk memberikan pressure. Skenarionya mirip dengan gol Emmanuele Giaccherini ke gawang Belgia pada pertandingan pertama Piala Eropa 2016.
Trieste tidak dikaruniai dengan gelandang yang bisa memainkan bola. Oleh karena itu, Rocco memainkan sepakbola direct yang mengandalkan umpan-umpan lambung dari bek kepada penyerang. Masalah kemudian muncul bila tidak memiliki penyerang andal.
Italia pada dekade 1960-an menemukan jalan pintas dengan mengontrak pemain-pemain keturunan Italia dari Argentina seperti Omar Sivori. Di kaki mereka, catenaccio menjadi sempurna, yang disabdakan Rocco sebagai sepakbola simpel dengan hanya butuh kiper bagus serta striker tajam.
Tradisi mengimpor penyerang dari Argentina terus berlanjut. Kehadiran mereka menjadi simbol kebutuhan skill, yang makin diperkuat dengan berkibarnya Maradona pada era 1980-an. Puncaknya adalah Piala Dunia 1990 ketika Italia takluk dari Argentina melalui drama adu pinalti.
Dua peristiwa berselang 18 tahun menjadi babak cinta sepakbola Italia pada dua negara yang berbeda. Usai kekalahan 1990, klub Serie A berbondong mendatangkan pemain-pemain Argentina. Sedangkan pada 2008, giliran pemain Spanyol yang banyak dibidik oleh klub Italia.
Sepakbola Italia menaruh respek yang terlalu besar pada kedua negara tersebut, sehingga ketika dihadapkan, ia seperti pemain yunior yang diminta menghadapi seniornya. Problemnya adalah di mentalitas, bahwa negara yang mereka hadapi merupakan pemasok stranieri yang menjadi andalan di berbagai klub.
Di episode kesekian laga lawan Spanyol, edisi tahun ini adalah masa inferioritas tertinggi Italia atas Spanyol. Betapa tidak, talenta gemilang Spanyol yang berjaya di Italia nyaris tidak berguna di skuad Matador. Sehari-hari, Lorenzo Insigne kehilangan tempat di lini depan oleh Jose Callejon yang bahkan gagal bersaing dengan David Silva. Di level kiper, portiere terbaik kedua di Serie A, Pepe Reina, juga gagal masuk ke timnas. Bek Napoli, Raul Albiol yang menjadi benteng kokoh klub peringkat dua Serie A juga tidak sebanding dengan Gerard Pique sehingga tidak masuk timnas.
Oleh karena itu, segenap warga Italia mengutuk nasib yang membuat mereka harus bertemu dengan Spanyol di babak kedua Piala Eropa 2016. Italiani, masih memandang Spanyol dengan respek yang kelewat besar. Ini adalah PR bagi Conte untuk memberi keyakinan bagi anak buahnya bahwa mereka bisa mengalahkan Spanyol. Bila kelewat respek, mereka berpotensi dihabisi lagi seperti kejadian final Piala Eropa sebelumnya.
Posting Komentar