Ode untuk Inzaghi
Dengan tubuh relatif pendek dan underweight , alias kerempeng, Filippo Inzaghi menjadi bahan tertawaan ketika dirinya masuk ke akademi se...
https://www.helmantaofani.com/2016/10/ode-untuk-inzaghi.html?m=0
Dengan tubuh relatif pendek dan underweight, alias kerempeng, Filippo Inzaghi menjadi bahan tertawaan ketika dirinya masuk ke akademi sepakbola Piacenza. Body balance-nya juga kurang bagus, sering jatuh, sehingga dipanggil Pippo oleh kawan-kawannya sesuai dengan karakter Goofy dalam serial Mickey Mouse milik Disney.
Beruntung si kerempeng punya determinasi dan hasrat bermain yang sangat tinggi. "Saya rela dipasang pada posisi manapun," kenang Inzaghi. "Sebagai kiper sekalipun, yang penting bisa bermain." Atas tekadnya ini ia acap dipasang di tim Piacenza, bermain sebagai striker. Dalam postur seragam anak-anak usia 17 tahun, Pippo tampak bisa menyamarkan kekurangan bentuk tubuhnya. Tapi prestasinya dalam mencetak gol tak bisa ditutupi. 13 gol yang ia cetak dalam dalam masa petualangannya di Verona membuat AC Parma melirik dirinya.
Di Parma, selain postur tubuh, bakatnya mengundang komentar dari rekan setimnya. Sayang bukan pujian positif.
"Ketika ia berlatih pertama kali, kami semua terkejut," kata Luigi Apolloni, rekannya di Parma. "Ia sangat payah mengontrol bola sebagai striker."
Sebagai klub yang naik daun di medio 1990-an, Parma bukan lahan tepat bagi Pippo. Ia tak berhasil menembus skuad utama, untuk kemudian dilego ke Atalanta. Di klub Bergamo inilah ia menemukan sosok Emiliano Mondonico.
"Saya bilang kepadanya, tanpa skill dan fisik, bekal satu-satunya adalah kecepatan," ujar Mondonico.
Celakanya, Pippo juga hanya memiliki kecepatan rata-rata.
"Tanpa kecepatan, bagaimana caranya kamu akan menjadi yang pertama di muka gawang?" tegur Mondonico.
Sejak saat itu Mondonico mewajibkan rezim latihan yang "aneh" bagi Inzaghi. Ia memasang empatbelas patok setinggi dua meter, dililit busa dan diletakkan dalam jarak sekitar 50 cm satu sama lain. Tugas Pippo adalah lari zig-zag maju dan mundur melalui celah antar patok.
"Itu mengembangkan kemampuan insting untuk menghindari bek lawan. Yang dilatih adalah kelincahannya," terang Mondonico.
Di babak baru bersama Atalanta, Pippo mengembalikan performa dengan mencetak 24 gol dalam semusim di Serie A. Dalam liga yang dihuni oleh Ciro Ferrara, Giuseppe Bergomi, dan Paolo Maldini, prestasi ini sungguh luar biasa. Bos Juventus, Marcello Lippi meminta Inzaghi untuk menggantikan Christian Vieri yang hijrah ke Atletico Madrid.
Atalanta keberatan, tetapi melihat figur yang disodorkan Juventus, iman mereka goyah juga. 20 juta pounds keluar untuk membeli Inzaghi sebagai striker utama dalam klub yang pernah dihuni Fabrizio Ravanelli dan Gianluca Vialli.
Dalam sejarahnya, reputasi striker Juventus adalah fisik dan teknikal. Marcelo Zalayeta, pemain Uruguay bertubuh 186 cm, jago dribel dan kuat di udara. Rekannya adalah maskot Juventus, prodigi skill bernama Alessandro Del Piero. Di belakangnya masih ada Michele Padovano dan Nicola Amoruso. Di Parma Inzaghi gagal menembus, maka di Juventus bagaimana nasibnya?
Juve saat itu adalah monster di benua Eropa usai mendominasi Liga Champions dengan tiga kali lolos ke final. Pelatihnya, Marcello Lippi, mengembangkan skema permainan yang ditopang playmaker jenius - khas Juventus - bernama Zinedine Zidane. Ia butuh pemain non teknikal dalam skuad yang terlalu banyak fantasista. Gelandang bertahan mereka adalah pemain teknik jebolan Ajax, Edgar Davids.
Ketika tiba di markas latihan Juventus, Inzaghi meminta kepada staf untuk membuat patok yang sama dengan apa yang digunakannya di Bergamo. Kali ini dipasang menempel gawang dengan jarak lebih sempit, sekitar 30 cm.
Ia akan berlari dengan tubuh terikat ban dari titik kick off, menuju gawang. Tidak berhenti, tetapi menabrak patok sehingga dirinya masuk ke dalam gawang.
"Di Juventus, garis permainan lebih tinggi. Bek naik ke atas, sehingga striker akan menerima bola di daerah 6 meter atau bahkan tepat di garis gawang," kenang Angelo Di Livio. "Inzaghi menyadari hal ini, dan ia menaikkan garis batas permainannya sampai ke gawang."
Metode ini memperkuat pesan Mondonico agar ia bisa tiba pertama di muka gawang. Konsep ini juga berekses naiknya probabilitas dirinya disemprit wasit karena offside. Sekaligus efektif, terbukti, dengan raihan 18 gol di musim perdananya. Banyak faktor antara lain disebabkan konsentrasi bek dan gelandang lawan yang tersita oleh deret fantasista Juventus.
Ketika Zidane pindah pada tahun 2001, Juventus membeli Pavel Nedved sebagai gantinya. Sebagai pemain sayap, orientasi permainan Juve banyak memanfaatkan sisi lapangan. Striker harus sering turun menjemput bola, manakala tidak menanti umpan silang, mengambil dari gelandang bertahan. Ruang lebar yang tercipta antara striker dan gelandang sentral menjadi celah yang harus ditutup.
Dengan gayanya yang mengutamakan tiba pertama di muka gawang, Inzaghi menjadi lebih sering menggantung sejajar bek terakhir lawan. Ketika permainan tidak mengalir kepadanya, ia acap tampak nol kontribusi.
"Orang sering menganggap ketika Pippo menempel itu tidak berpengaruh pada permainan," kenang Jaap Stam. "Padahal, bila kita lengah, ia akan menghukum kita dengan gol-gol krusial."
Ketika bola dilambungkan dari belakang, bek lawan wajib menyundul sempurna. Bila ia gagal, maka Inzaghi akan terlepas sendirian one on one dengan kiper. Konsep ini dilatih oleh Pippo.
"Inzaghi akan meminta saya menendang bola secara acak dari tepi lapangan. Jatuhnya bola bisa dimana saja, dan dia tetap mengejarnya," ujar Alessandro Birindelli.
Inzaghi bahkan memodifikasi mesin penembak bola tenis untuk mempelajari arah jatuh bola. Ia mempertajam firasat menebak arah bola. Ketika bola menempel sepatu Alessio Tacchinardi untuk ditendang dari garis pertahanan Juventus Inzaghi sudah bergerak ke arah gawang. Ini adalah keputusan offside sepersekian detik. Dari footage RAI, 68% offside call ke Inzaghi adalah salah!
"Kami sudah mengetahui pemain yang secara tradisional offside. Dalam kondisi 50-50, biasanya kami akan mengangkat bendera," aku Gianni De Nova, hakim garis di Serie A yang aktif dari 1995 hingga 2003.
Inilah yang memicu ungkapan born offside dari Sir Alex Ferguson. Yang terjadi di lapangan, Inzaghi sedang meneror psikologis bek dan hakim garis.
Sorotan atas gaya permainan membuat fans Juve gerah. Mereka selalu ingin pemain teknikal atau fisik dalam tim Nyonya Tua. Kompetitor Juventus mempunyai Andriy Shevchenko, Christian Vieri, dan Gabriel Batistuta. Untuk itu Juve membeli David Trezeguet, striker Perancis untuk diplot sebagai striker utama.
Inzaghi ditawarkan ke Bayern Munich dan Milan. Nama terakhir baru saja membeli Manuel Rui Costa dari Fiorentina. Rui Costa adalah tipikal playmaker ortodoks, dalam istilah Italia disebut trequartista, yang berjalan hingga pertiga lapangan akhir. Ini karakter mirip dengan Zidane di Juventus. Pemain yang akan memperpendek jarak Pippo menjemput bola. Tanpa pikir panjang Pippo memilih Milan.
Di Milan, ia harus bersaing dengan Oliver Bierhoff, striker fisik dengan daya lompat eksplosif. Ketika Milan memutuskan membeli Rui Costa, artinya mereka akan bermain di tengah. Jenis permainan ini menguntungkan Pippo.
Metode latihan Mondonico masih dibawa ke Milanello. Serta menebak bola, kali ini ditemani oleh Andrea Pirlo, gelandang yang baru direkrut dari Brescia. Di sana, Pirlo sering berlatih mengambil set piece, dibimbing oleh eks pemain Milan dan Juventus, Roberto Baggio.
Bersama Pirlo, latihan Pippo bertambah. Ia dijadikan media pantul oleh Pirlo. Pirlo melatih akurasi, Pippo melatih mengarahkan orientasi bola. Teknik ini sempat dicoba oleh mereka, dan membuahkan dua kali gol melawan Parma dan Inter pada musim 2001/2002. Pada tahun 2007, musim kelima Pirlo dan Pippo di Milan, metode ini malah membuahkan gelar Liga Champions Eropa ketujuh bagi Rossoneri.
Di Milan, Inzaghi sejatinya bukan protagonista. Shevchenko, Kaka, kemudian Pirlo sendiri, dan bahkan Gattuso, dipandang sebagai pemain kunci. Apalagi dirinya kerap cedera dan mengurangi waktu tampil. Tapi tifosi selalu melihat determinasi dan daya juang Pippo setara dengan mereka melihat Gattuso. Berapapun menit bermain, Pippo akan berlari sekencang ia menjadi starter.
"Pemain seperti Rivaldo hanya bermain sepenuh hati ketika melawan klub besar dan menjadi starter," kata Pirlo. "Bila ia turun di menit 80, kita hanya akan melihatnya berjalan kaki."
Tahun 2011, pada partai terakhirnya sebagai pemain, Pippo masih berlari kencang dan mencetak gol. Ia merayakan dengan cara yang sama seperti dengan gol pertamanya di Atalanta yang ia cetak ketika melawan Empoli.
Ketika itu, Damiano Zenoni menembak bola dari luar kotak pinalti. Bola memantul ke punggung kiper, dan jatuh ke lutut Inzaghi lantas masuk ke gawang.
"Ia merayakan layaknya mencetak gol di final Piala Dunia," kenang Zenoni.
Tak ada yang mencintai gol seperti Inzaghi. Tak ada yang tak mungkin bagi Pippo. Tak ada sesuatu itu terlalu kecil baginya.
Baginya, pesimisme itu pemalas.
Posting Komentar