Anxiety - Desire Pemilih Pilkada DKI
https://www.helmantaofani.com/2017/02/anxiety-desire-pemilih-pilkada-dki.html
Kamu fasis!
Kamu kafir!
Kamu tidak peduli orang lain!
Kamu intoleran!
Kamu pro kapitalis!
Kamu buta karena agama!
Apapun itu, tuduhan itu menyakitkan hati. Saya pikir kita bertengkar atas asumsi yang tidak saling diverifikasi. Mengapa sih kita mendukung calon A, dan calon B. Saya tahu, kamu punya alasan. Tapi apakah kamu tahu alasan saya? Maukah kamu mendengar?
Saya mengutip apa yang dikatakan Alejandro Gonzales Innaritu pada film "Babel". If you want to be understood, listen. Kalau kamu ingin dimengerti, cobalah belajar mendengar (orang lain).
Sebetulnya kita semua menetapkan pilihan atas dasar niat yang sama. Yaitu ingin hidup yang lebih baik. Hanya saja, jalannya mungkin berbeda. Prioritasnya beda. Tergantung pada apa yang dibilang Hermawan Kertajaya sebagai anxiety and desire masing-masing golongan. Anxiety and desire ini muncul dari hati nurani. Jarang disampaikan secara langsung, karena kadang orang juga tak tahu mengenai anxiety and desire-nya sendiri.
Pendukung pasangan calon 2, mempunyai anxiety and desire yang berbeda dengan pendukung pasangan calon lain. Saya coba mendedah psikografi anxiety and desire dari stereotipikal pendukung pasangan calon Pilkada DKI.
Pemilih Pasangan Calon 2
Anxiety:
- Ketakutan akan birokrasi dan pelayanan yang korup
- Kekhawatiran akan mendapatkan diskriminasi sebagai golongan minoritas
Desire:
- Keinginan melihat Jakarta yang maju, setara dengan kota besar lain di manca negara (terutama Asia Tenggara)
Pemilih Pasangan Calon 1 dan 3
Anxiety:
- Kekhawatiran akan pengaruh negatif gaya hidup terbuka kota besar bagi generasi muda
- Kekhawatiran tidak menjadi bagian (atau pihak yang tersingkir) dari akselerasi pembangunan Jakarta
Desire:
- Keinginan setara secara ekonomi (belum tentu kebutuhan pokok, lebih ke gaya hidup) terutama dengan idealisme citra "warga kota" (kelas menengah atas)
Dari psikografi tersebut, sebetulnya apa yang kita tengkarkan sehari-hari hanyalah sebuah kosmetik. Topeng untuk menutupi masalah sebenarnya, yang bukan secara langsung tentang agama, penggusuran, reklamasi, transportasi, dan sebagainya.
Cobalah berbicara memahami kebutuhan orang lain. Jangan-jangan kita sudah zalim karena tidak mendengar.
Post Note: Kalau mau tetap melihat dari perspektif yang sudah dibentuk (masing-masing), monggo. Ngga heran juga The Beatles sampai ngomong "try to see it my way" agar "we can work it out".
Kamu kafir!
Kamu tidak peduli orang lain!
Kamu intoleran!
Kamu pro kapitalis!
Kamu buta karena agama!
Apapun itu, tuduhan itu menyakitkan hati. Saya pikir kita bertengkar atas asumsi yang tidak saling diverifikasi. Mengapa sih kita mendukung calon A, dan calon B. Saya tahu, kamu punya alasan. Tapi apakah kamu tahu alasan saya? Maukah kamu mendengar?
Saya mengutip apa yang dikatakan Alejandro Gonzales Innaritu pada film "Babel". If you want to be understood, listen. Kalau kamu ingin dimengerti, cobalah belajar mendengar (orang lain).
Sebetulnya kita semua menetapkan pilihan atas dasar niat yang sama. Yaitu ingin hidup yang lebih baik. Hanya saja, jalannya mungkin berbeda. Prioritasnya beda. Tergantung pada apa yang dibilang Hermawan Kertajaya sebagai anxiety and desire masing-masing golongan. Anxiety and desire ini muncul dari hati nurani. Jarang disampaikan secara langsung, karena kadang orang juga tak tahu mengenai anxiety and desire-nya sendiri.
Pendukung pasangan calon 2, mempunyai anxiety and desire yang berbeda dengan pendukung pasangan calon lain. Saya coba mendedah psikografi anxiety and desire dari stereotipikal pendukung pasangan calon Pilkada DKI.
Pemilih Pasangan Calon 2
Anxiety:
- Ketakutan akan birokrasi dan pelayanan yang korup
- Kekhawatiran akan mendapatkan diskriminasi sebagai golongan minoritas
Desire:
- Keinginan melihat Jakarta yang maju, setara dengan kota besar lain di manca negara (terutama Asia Tenggara)
Pemilih Pasangan Calon 1 dan 3
Anxiety:
- Kekhawatiran akan pengaruh negatif gaya hidup terbuka kota besar bagi generasi muda
- Kekhawatiran tidak menjadi bagian (atau pihak yang tersingkir) dari akselerasi pembangunan Jakarta
Desire:
- Keinginan setara secara ekonomi (belum tentu kebutuhan pokok, lebih ke gaya hidup) terutama dengan idealisme citra "warga kota" (kelas menengah atas)
Dari psikografi tersebut, sebetulnya apa yang kita tengkarkan sehari-hari hanyalah sebuah kosmetik. Topeng untuk menutupi masalah sebenarnya, yang bukan secara langsung tentang agama, penggusuran, reklamasi, transportasi, dan sebagainya.
Cobalah berbicara memahami kebutuhan orang lain. Jangan-jangan kita sudah zalim karena tidak mendengar.
Post Note: Kalau mau tetap melihat dari perspektif yang sudah dibentuk (masing-masing), monggo. Ngga heran juga The Beatles sampai ngomong "try to see it my way" agar "we can work it out".
Posting Komentar