Pesona Sunday Rider
https://www.helmantaofani.com/2017/04/pesona-sunday-rider.html?m=0
Setelah tiga seri, Valentino Rossi secara mengejutkan memimpin klasemen pembalap. Ia yang berusia 38 tahun berada di atas sensasi tahun ini, Maverick Vinales, dan juara bertahan Marc Marquez. Rossi belum memenangkan satupun seri, tidak pernah meraih pole position, tapi masih membuat MotoGP sebagai balapan yang menarik ditonton.
Mantan pembalap hebat Wayne Rainey menjuluki Valentino Rossi sebagai "Sunday Rider". Julukan itu disematkan Rainey karena Rossi hanya tampak "serius membalap" pada hari balapan yang biasanya jatuh di hari Minggu. Jumat dan Sabtu, pada saat kualifikasi, ia tidak pernah tampil maksimal.
Luca Cadalora, yang pernah menjadi mentornya di Yamaha, juga bilang Rossi membawa karakter bocah Italia yang senang bermain. Balapan bagi Rossi adalah permainan yang dinikmati, bonusnya bisa dimenangkan, memecahkan beberapa rekor, atau menjadi juara dunia. Rossi tidak ambisius. Bila (ia) demikian, mungkin ia sudah pindah ke Superbike atau Formula 1 ketika Casey Stoner memecah dominasinya.
Rossi ingin bermain di sirkuit, bersama dengan orang lain. Ia ingin orang lain (dalam hal ini pembalap lain), ikut aturannya dalam memandang balapan ini bersenang-senang. Attitude “Sunday Rider”-nya membuatnya acap tercecer beberapa grid dari pole position, tapi ia senang melakukannya. Menyalip satu demi satu sampai tidak ada yang bisa disalip. Ia tidak suka menjadi dominan, melesat dari start hingga finis (flag to flag). Tanpa overtake, apa gunanya membalap bersama orang lain?
Gelora bermain Rossi ini sempat disalahartikan ketika insiden dengan Marc Marquez di Sepang, dua tahun lalu. Banyak yang menuding Rossi ambisius, menghalalkan segala cara untuk bisa menang. Machiavellian adalah sifat umum lain dari orang Italia. Tapi tidak untuk Rossi. Rossi hanya menganggap Marquez terlalu "serius", setelah ia tidak suka dengan Jorge Lorenzo yang juga terlalu "serius". Dulu Casey Stoner tidak klik dengan Rossi karena terlalu "serius".
Marquez, yang (dianggap) menghalang-halangi duelnya dengan Lorenzo dianggap mencederai prinsip bersenang-senang tersebut. Marquez seharusnya membiarkannya bermain dengan Lorenzo karena ia dan rekan setimnya itu tengah berebut gelar. Ada sesuatu yang menyenangkan, tapi dihalangi oleh anak lain yang tidak ada urusannya. Rossi pikir Marquez ada di "kubu"-nya, pembalap yang bersenang-senang, bukan untuk (selalu) menang.
Komplotan Rossi adalah para "il giochi bambini" lainnya. Cal Crutchlow, Andrea Iannone yang nekad, mengingatkan pada karibnya yang lain, mendiang Marco Simoncelli. Rossi mengidolai Norifumi Abe, daredevil Jepang yang namanya sempat ia adopsi menjadi Rossifumi. Bila mempunyai rival yang seperti ini, Rossi tidak akan segan memuji mereka.
"Menyenangkan di belakang (Gary) McCoy," kata Rossi tentang salah satu rivalnya di paruh pertama dekade 2000-an. "Melihat McCoy sliding adalah kenikmatan sendiri."
Rossi adalah pribadi antroposentris. Segala raihan, kesuksesan dan kegagalan bersumber pada penunggangnya. Ia tidak pernah menyalahkan motor, band, sirkuit, atau aspek lainnya atas raihannya. Motor harus dibuat sesuai dengan rider-nya. Selalu ada waktu untuk membangun dan menyesuaikan mesin, motor, dan ban. Yang penting, manusianya terlibat. Ia cinta dengan kendaraannya.
Bila menuruti ambisi, Rossi tak akan pindah dari Honda ke Yamaha, yang waktu itu "bukan apa-apa". Ia punya segalanya di Honda, dan harus membangun tim dari "scratch" di pabrikan Jepang lainnya. Tapi akhirnya ia pindah dan membesarkan Yamaha dengan semangat Sunday Rider-nya. Buat apa balapan dengan rider manusia bila segalanya sudah disediakan?
Rossi adalah satu-satunya penyintas yang membalap dari era 500 cc hingga menjadi MotoGP. Olahraga ini, terutama penyelenggaranya (Dorna), berhutang banyak kepada Rossi, terutama gaya Sunday Rider-nya menarik banyak fan untuk berpaling dari Formula 1 sebagai balapan paling banyak ditonton di dunia.
Di Jumat dan Sabtu, tidak ada yang peduli dengan kualifikasi. Buat apa menonton balapan tanpa overtake?
Posting Komentar